Dalam Kondisi Pandemi COVID-19 yang melanda seluruh dunia seperti saat ini, seharusnya seluruh negara di dunia menerapkan darurat nasional di masing-masing negaranya untuk mencegah penyebaran pandemi ini. Penerapan keadaan darurat nasional tersebut berlaku untuk seluruh negara di dunia baik yang belum memiliki penderita COVID-19 maupun yang sudah memiliki penderita COVID-19 dan tengah menanggulangi penyebaran pandemi ini di negaranya.
Kondisi kedaruratan menjadi urgensi untuk diterapkan karena kondisi yang dialami seluruh dunia hari ini belum pernah dialami oleh manusia sebelumnya dan belum ditemukannya obat untuk menyembuhkan ataupun vaksin untuk mencegah masifnya penyebaran pandemi ini membuat keberadaannya menjadi mengerikan. Selain itu, penetapan kondisi darurat ini diperlukan pula untuk mempersiapkan kondisi normal baru sebagai dampak dari terjadinya pandemi ini.
Hingga hari ini, telah banyak negara di dunia yang menerapkan kondisi darurat terkait pandemi COVID-19 ini sebagai upayanya untuk mengendalikan Pandemi COVID-19 dan segala dampak yang timbul dan akan ditimbulkan sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya.
Contoh yang paling gamblang dapat dilihat adalah Amerika Serikat. Sejak 11 Maret 2020, 12 negara bagian di Amerika Serikat telah menetapkan kondisi darurat. Penetapan kondisi darurat ini seiring berjalannya waktu diikuti oleh negara-negara bagian lainnya. Sampai pada puncaknya, kondisi darurat secara nasional ditetapkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 14 Maret 2020 dilansir dari mediaindonesia.com.
Kondisi darurat yang diterapkan pemerintah Amerika Serikat sebenarnya sama dengan pemerintahan lain pada umumnya yaitu berbentuk Karantina Wilayah ataupun PSBB. Di mana sebagian besar pusat kegiatan ditutup, namun pusat perbelanjaan dan toko obat serta instansi pelayanan kesehatan dan pemerintahan tetap berjalan.
Selain itu, Jepang dapat dijadikan contoh dalam penerapan kondisi darurat yang berbeda. Seperti yang dilansir oleh cnnindonesia.com, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe menyatakan kondisi darurat yang diterapkan oleh Jepang bukan berbentuk karantina wilayah ataupun PSBB.
Hal ini dikarenakan dalam peraturan tersebut pemerintah Jepang hanya menghimbau warganya untuk tinggal di rumah, sedangkan pemerintah sendiri tidak memiliki otoritas hukum untuk memaksakan kegiatan bisnis untuk tutup. Terdapat beberapa daerah di Jepang yang berada di dalam kondisi darurat seperti Tokyo dan Osaka.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menetapkan kondisi kedaruratan kesehatan Pandemi COVID-19. Melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2O19 (COVID-19), Pemerintah menetapkan Corona Virus Disease 2O19 (COVID-19) sebagai jenis penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Selain itu, pemerintah pada masa awal penyebaran pandemi COVID-19 ini juga telah mengeluarkan Peraturan Pengganti Pemerintah Undang-Undang (Perppu) No.1 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan
Terdapat satu hal yang menjadi tanda tanya dalam Perppu tersebut yaitu peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pertimbangan dalam keputusan tersebut tidak mencakup salah satu dasar konstitusi terkait kondisi kedaruratan dan undang-undang kedaruratan yang dimiliki Indonesia yaitu pasal 12 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 (UUD RI 1945). Hal ini mencerminkan belum dijiwainya kondisi kedaruratan dalam keputusan tersebut. Hukum Tata Negara (HTN) Darurat sendiri telah diatur keberadaannya pada pasal 12 dan 22 ayat 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
Pasal 12 menyatakan bahwa Presiden menyatakan keadaan bahaya keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa presiden adalah elemen yang berwenang dalam menentukan negara dalam keadaan darurat di mana segala kondisi dan situasinya menyesuaikan dengan ketentuan yang ada di dalam undang-undang turunan dari pasal tersebut.
Dalam pasal Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 tersebut disebutkan bahwa Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Maksudnya adalah dalam kondisi kegentingan yang memaksa, Presiden dapat menetapkan peraturan pemerintah yang bertindak sebagai pengganti undang-undang untuk menjadi landasan instrumen yang dimiliki negara dalam bertindak dan mengambil kebijakan.
Menurut Prof. Jimly Ashiddiqie dalam Kuliah Umum mengenai HTN Darurat yang diselenggarakan Pusat Studi HTN Fakultas Hukum UI pada tanggal 30 April 2020, Frasa kegentingan yang memaksa adalah kondisi di mana terdapat kondisi darurat yang melanda negara di mana diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut secara cepat. Kondisi darurat yang bersifat sementara karena adanya suatu kondisi abnormal yang terjadi seperti Pandemi COVID-19 ini.
Sedangkan, dalam realita praktisnya Perppu ini diterapkan dalam kondisi di mana presiden merasa terdapat suatu kondisi kegentingan secara ketatanegaraan ataupun secara regulasi terkait suatu problematika di mana jika presiden mengikuti proses birokrasi pembuatan undang-undang akan memakan waktu yang lama, sedangkan peraturan tersebut diperlukan secepat mungkin.
Hal ini sebenarnya bukan hal yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar. Namun, merupakan perkembangan kebijakan yang terjadi karena adanya dinamika yang hadir dalam proses ketatanegaraan yang ada. Dalam konteks pandemi COVID-19 yang harusnya menggunakan kedua pasal tersebut, sayangnya pasal 12 UUD RI 1945 tidak dimasukkan ke dalam kedua peraturan perundang-undangan terkait COVID-19.
Ditambah dengan fakta bahwa Presiden Joko Widodo baru mengeluarkan Keputusan Presiden terkait penetapan situasi darurat nasional terhadap Pandemi COVID-19 setelah Perppu dikeluarkan merupakan kesalahan dalam kaidah ketatanegaraan. Menurut Prof. Jimly Asshidiqie, Kesalahan tersebut dikarenakan Perppu yang semestinya mengatur kondisi darurat yang ditetapkan oleh presiden justru hadir terlebih dahulu sebelum kondisi darurat yang menjadi latar belakang terbitnya perppu tersebut diberlakukan.
Terkait peraturan tentang kondisi darurat yang dimiliki oleh Indonesia sendiri, belum terdapat Undang-Undang yang mengatur secara komperhensif permasalahan ini. Indonesia hanya memiliki Perppu No.23 Tahun 1959 tentang keadaan darurat di mana kontennya tentu sudah ketinggalan zaman dan juga tidak lagi relevan dengan situasi saat ini.
Menurut Prof. Jimly Asshidiqie, sebenarnya sudah muncul RUU tentang kondisi darurat di tahun 1998, namun pembahasannya dihentikan. Hal ini dikarenakan munculnya penolakan dari aktivis-aktivis demokrasi pada zaman itu dan juga semangat reformasi pada saat itu. Selain itu, terdapat trauma dengan kata kedaruratan yang diidentikkan dengan otoriterianisme.