Jumat, April 26, 2024

Kedudukan Artificial Intelligence sebagai Subjek Hukum

Karina Octaviana Dwi Rahmawati
Karina Octaviana Dwi Rahmawati
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Pesatnya perkembangan teknologi menghasilkan sebuah Kecerdasan Buatan yang disebut Artificial Intelligence (AI). Tidak sedikit yang menganggap AI adalah robot buatan. Hal itu terjadi karena banyak animasi dalam film atau cerita yang mengekspresikan demikian. Sebagai contoh film The Terminator (1984), Robo Cop (1987), AI: Artificial Intelligence (2001), A Space Odyssey (2001), I Robo (2004), Avangers : Age of Ultron (2012), Her (2013), Ex Machina (2014). 

AI adalah simulasi proses kecerdasan manusia oleh sebuah teknologi yang dinamakan machine learning, terutama sistem komputer. Seiring berjalannya waktu, AI akan mengalami kemajuan yang lebih pesat dibanding manusia. Namun, perkembangan AI menjadi tantangan baru yang harus dihadapi, seperti pesan yang disampaikan oleh Presiden Indonesia, Joko Widodo, pada November 2018 dalam pembukaan Indonesia Science Expo (ISE).

AI sendiri dikategorikan menjadi dua, yakni AI lemah dan AI kuat. AI lemah atau Artificial Narrow Intelligence (ANI) merupakan AI yang dirancang dan dilatih untuk menyelesaikan tujuan tertentu.

Sedangkan, AI kuat atau Artificial General Intelligence (AGI) menggambarkan pemrograman yang dapat mereplikasi kemampuan kognitif otak manusia. Begitu AGI berfungsi seperti manusia, Ia dapat mencapai kecerdasan super dengan waktu singkat. Pada suatu titik AGI menjadi jutaan kali lebih cerdas dari manusia di dunia. Hingga suatu hari, dunia akan mengalami singularitas teknologi atau ledakan kecerdasan. Akan tetapi, bagaimana kedudukan hukum pada AI?

AI dapat melakukan tindakan hukum yang sama seperti manusia. Hal ini dibuktikan dengan berbagai fenomena. Pada tahun 2016, Microsoft mengembangkan AI chatter bot yang bernama “Tay”. Tay digambarkan sebagai gadis remaja. Tay dikembangkan untuk meningkatkan layanan dengan kemampuan berbahasa milenial yang mampu berinteraksi dengan manusia.

Akan tetapi, Tay menyimpan dan tidak dapat memisahkan data sehingga menyebabkan kontroversi, yakni ketika bot memposting unggahan ofensif yang menghasut dan menyinggung di laman Twitter. Peristiwa itu menyebabkan Microsoft menutup layanan hanya dalam 16 jam setelah peluncuran.

Adapun AI yang memungkinkan manusia berkomunikasi dengan robot, misalnya virtual reality atau fitur speech recognition bernama Siri pada Apple, Cortana pada Microsoft, Google talk pada Google, dan fitur chat box pada bot e-commerce. Dewasa ini, AI mampu membuat beberapa Avatar dan menjawab pertanyaan yakni Midjourney, Dall-e, ChatGPT.

Di bidang hukum, juga terjadi perkembangan AI, yakni Hakim AI dan Pengacara AI. Di Hangzhou-China, sejak 2017 telah diluncurkan Hakim AI yang terbatas pada sengketa hukum yang memiliki aspek digital, seperti sengketa hak cipta, jual-beli online, dan klaim liabilitas produk e-commerce.

Selain itu, AI lebih akurat dalam menemukan masalah hukum dibandingkan pengacara. Guru Besar Hukum Stanford University, Duke University School of Law dan University of Southern California dalam menganalisis hasil kompetensi memahami kontrak menyatakan bahwa pertama kalinya Pengacara AI mengalahkan 20 pengacara manusia terlatih di Amerika dalam mengidentifikasi perjanjian dan menganalisa informasi.

Pengacara AI bernama LawGeex mencapai 94 persen keakuratan dengan jangka waktu 26 menit dalam mengidentifikasi 30 sengketa hukum. Sedangkan, pengacara manusia rata-rata membutuhkan waktu 66 menit lebih lama. Adapun, kemunculan AI yang memberikan bantuan hukum di Inggris, yaitu DoNotPay Chat yang telah melayani lebih dari 1.000 bantuan hukum. Apakah dengan fenomena tersebut AI yang dapat melakukan tindakan hukum bisa dikatakan memiliki kedudukan sebagai subjek hukum?

Secara teoritis, subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Subjek hukum terbagi menjadi dua, yakni subjek hukum orang dan subjek hukum bukan orang.

Subjek hukum orang adalah manusia sebagai natuurlijke persoon. Natuurlijke persoon adalah orang yang mempunyai hak dan kewajiban, harta dan hutang. Artinya, orang yang dimaksud secara pribadi bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Sedangkan, subjek hukum non orang atau rechts persoon yakni badan hukum.

Recht persoon sama dengan natuurlijke persoon tetapi perbedaan utama didasarkan pada “orang” yang secara alami adalah manusia. Rechts persoon adalah sebuah organisasi yang memiliki hak dan memikul kewajiban namun tidak semua organisasi merupakan badan hukum.

Tidak dapat dipungkiri, saat ini telah ditemukan AI yang menyerupai manusia. Pada tahun 2017, robot cantik bernama Sophia mendapatkan kewarganegaraan Arab Saudi yang diberikan oleh Riyadh, Ibukota Arab Saudi.

Hal serupa terjadi di tahun yang sama, Pemerintahan Jepang memberikan izin tinggal kepada robot bernama Shibuya Mirai melalui peraturan khusus. Secara konseptual, AI tidak dapat disamakan dengan manusia karena AI tidak memiliki sifat humanis. Manusia memang tidak memiliki kemampuan memproses informasi seperti kecepatan cahaya selayaknya komputer.

Manusia juga mungkin tidak dapat mengidentifikasi permasalahan secara akurat dalam waktu yang singkat. Akan tetapi, manusia dapat merencanakan dan memikirkan solusi untuk menyelesaikan masalah dengan bijak, manusia memiliki perasaan, etik, dan moral yang tidak dapat diajarkan pada kecerdasan buatan melalui bahasa pemrograman.

Hal tersebut menimbulkan perdebatan mengenai kedudukan hukum AI. AI dapat diberlakukan selayaknya entitas hukum dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Bila AI tergolong sebagai subjek hukum maka AI memiliki hak dan kewajiban hukum, sebagaimana manusia sebagai individu dan badan hukum. Sehingga, AI dapat mengikat kontrak dan bertanggung jawab atas tindakannya.

Namun, kedudukan hukum AI di Indonesia belum diatur secara khusus pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) belum mampu mengakomodir kehadiran AI. Begitupun dengan pengaturan mengenai hak cipta sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dengan demikian, legalitas AI belum memiliki perlindungan hukum, khususnya di Indonesia.

Menurut para ahli, kedudukan hukum AI masih bervariasi dan terus berkembang. Sebagian ahli berpendapat bahwa AI adalah subjek hukum dengan hak dan tanggung jawab yang sama seperti manusia. Hal demikian didasarkan pada argumen bahwa AI dapat bertindak secara mandiri dalam membuat keputusan yang berpengaruh bagi manusia sehingga AI mempertanggungjawabkan sendiri perbuatannya.

Di sisi lain, sebagian ahli berpendapat bahwa AI tidak perlu memiliki status subjek hukum yang sama dengan manusia. Mereka berpendapat bahwa AI adalah objek hukum. Ketika AI melakukan pelanggaran, maka yang harus bertanggung jawab adalah pencipta atau pengguna AI.

Berdasarkan pendapat diatas, dapat disadari bahwa kedudukan AI sebagai subjek hukum merupakan permasalahan yang kompleks dan kontroversial. Oleh karena itu, masih perlu pengkajian lebih lanjut dalam menentukan kedudukan hukumnya. Regulasi hukum harus mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan teknologi agar mewujudkan kepastian dan perlindungan hukum bagi lingkungan dan masyarakat.

Karina Octaviana Dwi Rahmawati
Karina Octaviana Dwi Rahmawati
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.