Sabtu, Mei 18, 2024

Stigma Masyarakat Terhadap Anak Pesantren yang Selalu Alim

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional, yang telah memainkan peran penting dalam membentuk karakter dan identitas agama bagi banyak orang di Indonesia, apalagi bagi anak yang masih dibawah umur maupun remaja.

Biasanya, anak-anak yang bersekolah atau menempuh pendidikan di pesantren seringkali digadang-gadang memiliki pengetahuan agama yang bagus dan perilaku yang lebih baik, terutama bisa dibilang memiliki iman kokoh. Namun, sebenarnya pujian dan penghargaan terhadap kealiman mereka, seringkali tersembunyi stigma negatif dari masyarakat terhadap anak pesantren yang selalu dianggap “alim”.

Stigma ini muncul karena stereotip yang melekat pada anak pesantren bahwa mereka cenderung kaku dalam pergaulan, tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, dan kurang memiliki pengetahuan di luar bidang agama. Pandangan negatif ini seringkali memengaruhi cara masyarakat memandang dan berinteraksi dengan anak pesantren, baik di lingkungan sosial maupun di tempat kerja.

Ditambah lagi, banyak masyarakat di Indonesia sekarang ini sudah banyak yang terdoktrin dengan idealisme dari negara-negara lain. Hal tersebut sangat berkebalikan dengan anak pesantren, yang sudah pasti memiliki pikiran yang masih tradisional dan berpegang teguh dalam nilai-nilai keagamaannya.

Banyak masyarakat modern juga yang meremehkan anak-anak pesantren karena masih memiliki pengetahuan-pengetahuan yang tradisional, atau tidak mengikuti banyaknya perkembangan zaman.

Salah satu asumsi yang seringkali muncul adalah bahwa anak pesantren yang terlihat teguh dalam kealimannya dianggap kurang mampu dalam beradaptasi dengan budaya populer atau tren masa kini. Para anak pesantren pun juga dianggap ketinggalan zaman dan sulit untuk bergaul dengan orang-orang di luar lingkungan pesantren. Akibatnya, mereka seringkali dijauhi atau bahkan diejek oleh teman-teman sebaya mereka yang merasa lebih “modern”.

Tidak hanya itu, anak pesantren juga seringkali menjadi bahan ejekan karena penampilan dan perilaku mereka yang dianggap terlalu serius atau konservatif. Misalnya, mereka mungkin diejek karena memakai pakaian yang lebih menutup atau karena tidak mau ikut serta dalam aktivitas yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai agama yang mereka anut. Semua ini dapat membuat anak pesantren merasa tidak nyaman atau bahkan merasa dihina dalam lingkungan sosial mereka.

Stigma terhadap anak pesantren yang selalu alim juga dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kemampuan mereka di luar bidang agama. Meskipun mereka mungkin memiliki pengetahuan agama yang mendalam, seringkali dianggap bahwa mereka kurang memiliki pengetahuan atau keterampilan dalam bidang-bidang lain seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, atau bahkan keterampilan sosial. Padahal kenyataannya, banyak anak pesantren yang memiliki potensi dan minat di luar bidang agama, namun stigma ini dapat menjadi penghalang bagi mereka untuk mengembangkan diri di bidang-bidang tersebut.

Selain itu, stigma terhadap anak pesantren yang selalu alim juga dapat mempengaruhi peluang mereka di dunia kerja. Banyak perusahaan atau institusi yang mungkin ragu untuk merekrut anak pesantren karena khawatir mereka tidak akan mampu beradaptasi dengan lingkungan kerja yang beragam dan berubah-ubah. Akibatnya, anak pesantren seringkali kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan minat mereka, meskipun sebenarnya mereka memiliki potensi yang besar untuk berkontribusi dalam berbagai bidang.

Maka dari itu, anak pesantren pun mau tidak mau, biasanya akan melanjutkan tujuan mereka menjadi guru agama atau ustadz. Padahal kenyataannya, para anak-anak di pesantren pun juga mendapatkan pengetahuan yang bukan tentang pengetahuan ilmu agama saja, melainkan ilmu bahasa, pengetahuan alam, maupun sosial.

Fakta menarik lainnya lagi, jika kita telah beranjak sekola seperti SMA, kemudian menemukan salah satu teman kita yang dulunya pesantren, anak alumni pesantren tersebut juga dituduh-tuduh memiliki pengetahuan agama yang lebih baik dibandingkan dengan anak SMA lainnya. Padahal bisa jadi saja anak SMA selain anak dari alumni pesantren tersebut memiliki pengetahuan agama yang lebih baik.

Namun, penting untuk diingat bahwa pandangan terhadap anak pesantren yang selalu alim tidaklah selalu benar. Setiap orang termasuk anak pesantren, memiliki keunikan dan potensi yang berbeda-beda. Tidak semua anak pesantren memiliki perilaku yang kaku atau kurang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Banyak dari mereka yang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang beragam dan memiliki minat serta bakat di luar bidang agama.

Masyarakat perlu mengetahui untuk melihat anak pesantren sebagai individu yang kreatif, bukan hanya dari label atau stereotip yang melekat pada mereka. Mereka perlu diberikan kesempatan untuk membuktikan kemampuan dan potensi mereka di berbagai bidang, tanpa harus terbebani oleh stigma negatif yang mungkin melekat pada mereka.

Kesimpulan yang bisa kita petik adalah, stigma masyarakat terhadap anak pesantren yang selalu alim merupakan masalah yang perlu mendapatkan perhatian. Stigma ini dapat menghambat perkembangan dan kesempatan anak pesantren untuk berkembang dan berkontribusi dalam masyarakat.

Oleh karena itu, penting juga bagi masyarakat untuk lebih terbuka secara pemikirannya dalam memahami dan menerima keberagaman individu, termasuk anak pesantren, sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang majemuk.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.