Minggu, April 28, 2024

Perang Suriah, Konflik Agama Sunni-Syiah?

Iqbal Kholidi
Iqbal Kholidi
Penulis adalah pemerhati terorisme dan politik Timur Tengah

Pejuang Kurdi dari Unit Perlindungan Rakyat (YPG) menembakkan senjatanya ke arah patung Bassel al-Assad, saudara lelaki Presiden Suriah Bashar al-Assad. di wilayah Ghwairan, Hasaka, Suriah. [ANTARA FOTO/ REUTERS/ Rodi Said]
Awal tahun 2012 saya berkunjung ke Arab Saudi. Saya ingat pada saat itu Revolusi Arab sudah menjadi isu hangat yang menarik perhatian dunia Islam, dan situasi itu saya rasakan di negeri dua tanah suci. Ketika itu Tunisia, Mesir, Libya, Suriah bergejolak, dan kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) juga belum muncul.

Misalnya, ketika berjalan di pelataran Masjid Nabawi, saya mendapati rombongan kecil yang sedang duduk-duduk santai dengan latar sebuah bendera Libya versi kelompok oposisi yang rupanya sengaja mereka pasang untuk mencuri perhatian peziarah di sebuah pagar di pelataran masjid suci di Madinah.

Begitu juga saat di kota Mekkah, pernah kendaraan umum yang saya tumpangi menepi dan berhenti karena ada iring-iringan rombongan jemaah dari Iran menyeberang jalan. Si sopir, seorang warga Mekkah menggerutu, dan berujar pada seisi penumpang bahwa Iran adalah biang keladi krisis bersenjata di Suriah.

Masih di kota Mekkah, saya bertemu pria asal Teheran. Kepada saya, dia memuji Indonesia. “Iran dan Indonesia adalah saudara, tidak seperti negeri ini, Saudi,” katanya sambil membalikkan jempolnya ke bawah.

Tanpa disengaja saya berjumpa seorang pria Suriah di Mekkah. Ketika itu saya tanya apa yang terjadi di negerinya. “Semua yang menentang rezim akan dibantai,” katanya seraya menempelkan jari telunjuk ke lehernya, memberi isyarat penyembelihan.

Dia tidak setuju peperangan terjadi di negerinya dikatakan jihad. Katanya, “Ini adalah perang saudara, sesama Muslim saling bunuh.”

Sementara itu, dalam mimbar salat Jumat di masjid suci, misalnya, saya sering mendengar khatib-khatib seringkali merapal doa untuk kemenangan “mujahidin” di Suriah. Dalam hati saya bertanya, mujahidin mana yang dimaksud dalam doa ini? Bukankah semuanya mengaku berjihad di Suriah? Wallahu wa khotib a’lam, hanya Allah dan sang khatib yang tahu.

Saya berpikir, ada apa dengan masyarakat Timur Tengah ini?

Ternyata di Indonesia, efek konflik Suriah juga tak kalah terasa, bahkan isu Suriah pada tahun itu dengan cepat menenggelamkan isu konflik Palestina-Israel yang selama ini dominan.
Krisis Suriah ini semakin memanaskan dunia Islam, saat sebagian kalangan, termasuk media arus utama, “menyederhanakan” bahwa yang terjadi ini adalah konflik agama (Sunni-Syiah). Benarkah demikian?

Argumen utama yang sering digunakan adalah fakta di lapangan rezim Suriah disumbang kekuatan oleh Iran dan Hizbullah yang dianggap sebagai representasi Syiah. Sementara pemberontak didukung oleh Arab Saudi, Qatar, dan Turki yang dinilai sebagai negara Sunni.

Narasi lain yang juga dikembangkan bahwa Presiden Suriah Bashar al-Assad adalah penganut Alawite, yang disebut-sebut sebuah aliran dalam Syiah. Selanjutnya mudah ditebak, konflik antara penguasa Suriah dan pemberontak dihembuskan sebagai isu konflik antara rezim Alawite (Syiah) dan rakyat Suriah (Sunni), karena Muslim Sunni di Suriah adalah penduduk mayoritas (74%). Framing seperti inilah yang “diimpor” ke mana-mana, tak terkecuali di Indonesia.

Kalangan “Islamis” menyebut Alawite dengan sekte “Nusayri” atau Nushairiyah, yang dinisbatkan pada pendirinya yakni Muhammad Ibn Nusayr yang lahir di Irak pada abad ke-11. Pada masa lampau Alawite dikutuk sebagai kafir.

Ibnu Taimiyah pernah mengeluarkan fatwa yang terkenal, dan hingga kini populer di kalangan kaum Salafi: “memutuskan bahwa Nusayris bahkan lebih kafir daripada orang-orang musyrik dan dihalalkan jihad melawan mereka.”

Umar Shahab dari Ahlul Bait Indonesia (AB) dalam sebuah seminar di Gedung Pimpinan Pusat  Muhammadiyah, Jakarta (17/2/2016) mengatakan, Alawite memang berasal dari Syiah Imamiyah tapi keyakinannya sudah jauh dari Syiah arus utama. “Mereka semacam aliran kebatinan Islam. Syiah Alawite ini semacam kejawennya Syiah,” ungkapnya.

Jadi, sebelum mengajukan pertanyaan apakah krisis Suriah adalah konflik Sunni-Syiah, pertanyaan awalnya apakah Alawite adalah Syiah? Ataukah bagian dari Islam?

Jika dilacak, sebelum kalangan Syiah, justru kalangan Sunni lebih dulu yang menerima aliran Alawite sebagai bagian dari Islam. Fatwa dikeluarkan oleh Mufti Palestina Imam Haji Amin al-Husseini pada Juli 1936, bahwa Alawite adalah bagian dari Islam. Alawite baru belakangan secara resmi diakui sebagai anggota komunitas Syiah pada 1973 oleh Musa al-Sadr, Imam yang mendirikan gerakan Amal (Syiah) di Libanon dan Hasan al-Shirazi, seorang tokoh Syiah di Irak.

Jika kita melihat perseteruan Sunni-Syiah yang terjadi berabad-abad, sebenarnya itu lebih didorong oleh motivasi politik ketimbang masalah teologi-keagamaan (Islam). Dalam sejarahnya, Syiah sendiri awalnya adalah sebuah “gerakan politik” bukan “gerakan agama”. Baru belakangan, terutama setelah pendirian berbagai dinasti yang berafiliasi dengan Sunni maupun Syiah, muncul beragam teologi-keagamaan atas kedua aliran Islam ini.

Dalam konteks kontemporer, misalnya, perseteruan Saudi-Iran kemudian melebar menjadi isu sentimen Sunny-Syiah. Termasuk dalam kasus campur tangan Saudi-Iran di Suriah. Padahal, kepentingan politik dan ekonomi terlihat jelas sebagai motivasi utamanya, bukan aliran agama. Ingat, rezim Saudi adalah sekutu penguasa Iran sebelum Revolusi Iran meletus di tahun 1979.

suriah-syiahKeterlibatan Hizbullah di Suriah juga lebih didorong karena aliansi strategis dengan rezim Suriah sebagaimana Iran. Hizbullah, Suriah, dan Iran telah lama menjalin aliansi di Timur Tengah bahkan jauh sebelum krisis Suriah terjadi.

Perang Suriah yang dihembuskan agar dipahami sebagai isu agama perang antara Sunni-Syiah hanya dilakukan orang-orang yang “tidak mau repot” memahami kompleksnya krisis politik yang terjadi di Suriah.

Justru dengan memainkan isu konflik Sunni-Syiah dalam perang Suriah, tanpa sadar telah mengikuti narasi yang dikembangkan kelompok seperti ISIS, yang mengeksploitasi kasus sektarian di Timur Tengah dengan bingkai perang Sunni-Syiah.

Untuk itu, tak ada salahnya kita kembali ke awal untuk memahami lagi apa yang terjadi di Suriah saat ini. Yakni, dengan melihat apa tujuan Revolusi Suriah sebagai bagian dari Arab Springs, yang tak lain adalah melengserkan Bashar al-Assad dari kursi kepresidenan. Sekali lagi ini adalah tentang kekuasaan.

Iqbal Kholidi
Iqbal Kholidi
Penulis adalah pemerhati terorisme dan politik Timur Tengah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.