Jika saya disuruh memilih antara dua hal; mana peradaban masa lalu yang kita butuhkan untuk hadir bagi dunia Islam masa sekarang, antara alih status Hagia Sophia menjadi masjid atau pembangunan kembali Bait al-hikmah? Maka jelas pilihan saya pribadi adalah pembangunan Bait al-hikmah. Mengapa demikian? Mari kita lihat catatan sejarah.
Hagia Sophia dibangun atas perintah Justinian I sebagai Katedral bagi umat Kristiani di Constantinople (nama lama Istanbul) di antara tahun 532-537. Sultan Mehmed Sang Penakluk menjadikan Hagia Sophia menjadi masjid pada 1453 M, sebagai konsekwensi kejatuhan Constantinople pada Emperium Usmani. Pada tahun 1935, Masjid Hagia Sophia diubah statusnya sebagai museum lalu sampai awal Juli 2020, kembali status dialihkan sebagai masjid.
Mungkin sebagian kalangan masih membutuhkan simbol kemenangan Islam atas Kristen. Mereka yang berpikir politik identitas, alih status ini dianggap hal yang sangat berarti bagi umat Islam dunia.
Namun, jika kita renungkan maknanya apakah itu yang memang dibutuhkan umat Islam zaman sekarang. Bukankah kita lebih membutuhkan lembaga keilmuan dan penelitian yang mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang kita hadapi sekarang ini. Dari persoalan revalitas berkepanjangan antar agama, terutama Kristen-Islam, sampai pada persoalan COVID-19. Pendek kata apakah alih status bisa menyebabkan ditemukannya vaksin COVID-19?
Dalam konteks Turki sendiri, mungkin Erdogan berpikir untuk kepentingan politik personanya, menarik simpati pendukungnya, dan jelas manfaat politik untuk kepemimpinannya yang didapatkannya. Namun bagi kita umat Islam di belahan lain, euphoria pengalihan status Hagia Sophia secara resmi menjadi masjid sebetulnya untuk apa?
Identitas politikkah atau untuk menunjukkan supremasi Islam yang memang sudah jelas sangat suprematif di negara kita. Masalah ini menjadi menjalar pada urusan politik, Hagia Sophia dijadikan sebagai bahan kampanye politik di dalam negeri agar umat Islam Indonesia memiliki pemimpin seperti Erdogan.
Kembali lagi, bagi saya pribadi, pembangunan kembali lembaga keilmuan dan penelitian jauh memiliki relevansi dibandingkan dengan alih status. Kita sudah memiliki masjid di mana-mana di seluruh dunia, apalagi di Turki. Jumlah masjid di Turki secara keseluruhan mencapai 82,693 dan khusus Istanbul 3,113. Jumlah tempat ibadah non-Muslim di Istanbul, berdasar sensus 2000, gereja sebanyak 123 dan sinagog 20.
Di dalam sejarah peradaban Islam, kita pernah memiliki lembaga keilmuan dan penelitian yang berhasil menghantarkan puncak kemajuan Islam yang belum bisa terulang lagi sampai sekarang. Lembaga itu bernama Bait al-hikmah (rumah kebajikan). Bait al-hikmah yang merupakan perpustakaan adalah lembaga yang sangat istmewa dalam sejarah Islam. Selain tadi, berhasil memajukan Islam sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban, Bait al-hikmah adalah wujud lembaga keilmuan dan penelitian yang dilahirkan oleh kekuasaan Islam yang sangat terbuka, inklusif.
Dinasti Abbasiyah, masa al-Makmun, mendirikan Bait al-hikmah dengan tujuan kemajuan keilmuan dan peradaban Islam. Banyak sejarawan yang mengatakan bahwa Bait al-hikmah adalah “Akademi Peradaban yang paling penting dan besar” (ahammu wa a’dzamu ma’hadi tsiqafi) (Lihat kitab ‘Uyun al-anba’fi tabaqat al-attiba’, h. 37).
Apa hal utama yang dilakukan oleh Bait al-hikmah sehingga kemajuan Islam pada masa Abbasiyah ini tercapai? Bahkan tidak hanya kemajuan Islam, kemajuan Baratpun berhutang budi banyak pada lembaga Bait al-hikmah ini.
Pekerjaan Bait al-hikmah adalah melakukan pemindahan pelbagai macam corak ilmu dan pengetahuan yang telah ditinggalkan oleh para pendahulu (naqli mukhtalifi anwa’i al-ulum wa al-ma’arif allati kanat li al-umam al-lati sabaqathum). Di sini, Bait al-hikmah mengkategorikan ilmu-ilmu seperti Filsafat, Kedokteran, Geometri, Astronomi, Aljabar, Pertanian, Biologi, Kimia yang pada saat itu diwarisi dari tradisi Yunani, Persia, India dlsb, sebagai al-ulum al-awa’il, ilmu-ilmu awal.
Istilah al-ulum al-awa’il menunjukkan sebuah keterbukaan mereka, bahwa yang disebut ilmu itu universal, ilmu pengatahuan bagi mereka tidak beragama. Karenanya, segala ilmu yang berkembang pada saat itu dialihpindahkan dari bahasa ibu mereka ke dalam bahasa Arab, bahasa umat Islam saat itu.
Harun al-Rasyid merekrut orang-orang terbaik untuk melakukan pekerjaan ini, meskipun orang-orang tersebut tidak beragama Islam. Penerjemah Kristen seperti Masawih, anak Yuhana bin Masawih, guru dari Hunain bis Ishaq, penerjamah Yunani ke Arab yang juga Kristen sebagai contoh. Al-Makmun –salah satu khalifah Abbasiyah—sangat takjub dengan keluasan keilmuan Hunain bib Ishaq.
Dalam catatan sejarah, para ilmuan yang mendominasi Bait al-hikmah adalah kalangan Kristen, Syria dan Persia, bukan kalangan Muslim. Dikatakan, “inna mu’dzama man kana ya’malu bi dar al-hikmah min al-nashara wa al-farsi wa al-suryani.”
Bait al-hikmah adalah gambaran toleransi terbesar dalam sejarah peradaban dan keilmuan Islam. Ta’assub pada jenis dan agama tertentu tidak ada, yang ada adalah semangat kebebasan pemikiran yang sempurna. Bisakah kita membangkitkan hal-hal yang seperti ini Bait al-hikmah ini? Jika kita bisa, maka klaim Islam sebagai rahmatan lil alamin akan segera tercapai.
Sebagai catatan, menghidupkan kembali peninggalan peradaban lama sebagai bagian dari capaian peradaban Islam itu penting, namun lebih penting kembali apabila peradaban yang dibangun itu memang dibutuhkan umat Islam untuk menjawab tantangan umat Islam yang semakin sulit.
Karenanya, menghidupkan Bait al-hikmah atau lembaga yang serupa, menurut saya, jauh menemukan relevansinya. Di sini sekaligus membuktikan bahwa Islam membangun peradaban bukan hanya untuk umat Islam, namun untuk umat manusia secara umum. Pertanyaannya, negara Muslim manakah yang mau membangun kembali Bait al-hikmah?