Rabu, Mei 1, 2024

Pernikahan Dini, Bukan Satu-Satunya Akar Masalah di Desa Greneng

Ayuna Hayati
Ayuna Hayati
Freelance Journalist

Bagaimana jadinya bila suatu desa sesak dengan corak rakyat, kasus, dan kejadian yang memilukan?

Adalah desa Greneng, sebuah desa yang merupakan bagian dari desa kecamatan Sakra Timur kabupaten Lombok Timur. Desa yang tidak hanya kering secara geografis tetapi juga gersang dengan sentuhan kesejahteraan.

Carut marut perekonomian, banyaknya tindak  kekerasan pada perempuan, angka putus sekolah, dan yang tidak kalah memberi warna adalah tingginya angka pernikahan dini pada remaja. Lalu dalam hal ini, dimana peran pemerintah setempat untuk mengentaskan sedikit saja dari sekian permasalahan ini? Adakah upaya yang sudah dilakukan?  Penulis akan mengajak menyorot semuanya dari dari sudut pandang yang selama ini abai oleh banyak orang.

Hari itu bersama seorang teman, penulis mengunjungi desa Gereneng Timur salah satu desa di kabupaten Lombok timur.

Kedatangan kami ke desa ini untuk menemui seorang bidan desa yang sudah mengabdikan diri lebih dari tujuh tahun. Ika Dewi Agustiani adalah perempuan yang kami temui, perempuan berdarah Lombok, hanya saja tidak dilahirkan dan bukan warga desa Gereneng. Profesinya sebagai bidan desalah yang mengantarkannya untuk tinggal di sana.

Pertemuan kami dengan bu bidan membicarakan soal desa Gereneng Timur yang menjadi desa ramah perempuan dan peduli anak. Tidak berlebihan jika ia dianggap sebagai salah satu perempuan yang berjuang keras demi terwujudnya amanat UU TPKS di desa tersebut.

Di ruangan berukuran sedehana yang banyak ditempeli informasi tentang kesehatan ibu hamil, sembari menunggu  pasiennya datang, ia mulai membuka obrolan, “Dulu di tahun 2021 November  kalau tidak salah, ada NGO yang datang ke sini buat program mereka sama desa Menceh, tapi masih baru mau jalan programnya sekarang, mungkin karena ada NGO yang masuk, makanya dari kementrian milih desa ini jadi desa ramah perempuan dan peduli anak,”  jelasnya sambil mempersialahkan kami untuk duduk di depan meja kerjanya.

Diketahui penobatan desa ramah perempuan dan peduli anak di Kabupaten Lombok Timur oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anaak (PPPA) baru ditetapkan pada awal maret 2022 lalu. Tiga belas desa ditetapkan sebagai desa ramah perempuan dan anak, salah satunya desa Gereneng Timur. Terbentuknya desa ramah perempuan ini ditandatangani oleh tiga belas kepala desa dan CSO yang disaksikan oleh Mentri PPPA, Sekda dan Kepala Dinas P3AKB.

Sebelum ditetapkannya sebagai desa ramah perempuan dan peduli anak, perempuan yang baru saja memasuki usia paruh baya itu sudah mulai membantu menangani kasus perempuan dan anak di desa tersebut. Banyaknya jumlah perkawinan anak, tingginya angka putus sekolah dan kekerasan pada perempuan adalah persoalan yang kerap terjadi di desa tersebut.

Banyak cerita yang disampaikan secara langsung oleh Bidan Ika. Hal yang  digarisbawahi adalah bahwa desa Greneng Timur sudah benar-benar menjadi desa lampu merah yang butuh pertolongan dan sentuhan pemerintah.

Tingginya angka pernikahan dini di desa Greneng Timur sudah sejak lama terjadi. Anak-anak di bawah umur sangat banyak memutuskan untuk menikah setelah menyelesaikan belajar di bangku SMP. Hal ini dikuatkan oleh data yang bidan Ika berikan pada kami bahwa dalam setahun terakhir angka pernikahan dini di desa Greneng  Timur tembus 47 kasus (ini yang terdata saja). Bisa jadi lebih banyak lagi yang tidak diketahui.

Sebenarnya, menyinggung soal pernikahan dini ini banyak hal yang harus dirunut bersama, mulai dari ekonomi, pendidikan, dan keluarga. Semuanya memiliki kesinambungan satu sama lain.

Melihat besarnya dampak negatif dan kerugian masa depan remaja akibat pernikahan dini, jauh sebelum desa Greneng Timur ditetapkan sebagai desa ramah perempuan dan peduli anak oleh pemerintah pusat, pejabat desa sudah memberikan aturan awik-awik desa. Untuk mencegah maraknya pernikahn dini di desa Greneng, awik-awik desanya adalah 1). Yang bersangkutan tidak akan dilayani secara administrasi oleh desa, 2). Pejabat desa tidak akan menghadiri upacara pernikahan dini, meskipun itu adalah keluarganya.

Dua hal di atas adalah peraturan desa yang mereka harapkan dapat mencegah marakanya pernikahn dini. Akan tetapi, dalam praktiknya nyatanya perdes tersebut tidak dapat diberlakukan dengan maksimal.

Menyinggung soal pernikahan dini, dalam hal ini, barangkali sebaiknya kita berangkat dari kesejahteraan masyarakat secara ekonomiBila secara ekonomi rakyat sudah mapan, akses untuk mencapai perkembnagan dan kemajuan yang signifikan akan mudah didapatkan. Mereka akan mudah memberikan asupan pendidikan yang bermutu bagi anak-anak mereka, dalam hal ini SD, SMP, SMA, Kuliah, dan seterusnya.

Bila banyak generasi yang sudah memiliki bekal secara ilmu dan pengalaman, maka sudah barang tentu bagaimana mereka merancang dan memandang masa depan akan terpola dengan baik. Secara kasat, mereka akan berpikir sekian kali bila keluarga atau orang-orang terdekat mereka ingin atau hendak melakukan pernikahan dini. Karena mereka sudah mempunyai rumusan yang matang tentang baik buruk, maka mereka dalam hal ini sudah berhasil mengurangi angka pernikahan dini.

Lebih jauh lagi, di desa Greneng  Timur yang masih kental melaksanakan adat budayanya ini sebagian besar remaja laki-lakinya memilih merantau ke Malaysia. Perihal ini, masalahnya bukan soal perginya mereka mencari kehidupan yang lebih layak ke negeri jiran, tetapi bagaimana dan apa yang akan mereka lakukan dengan uang yang dihasilkan. Karena sebagian besar pemuda yang berhasil bekerja di Malaysia, hal pertama yang dilakukan saat kembali ke kampung halaman dalah menikahi pujaam hati, lalu menggunakan sisa uang yang ada untuk kebutuhan sehari-hari, setelah habis terpakai, mereka pergi lagi ke Malaysia.

Begitu seterusnya. Hampir tidak pernah ditemukan salah satu dari mereka yang berhasil membangun usaha mandiri dengan modal hasil bekerja di Malaysia. Dalam hal ini, lagi-lagi pola pikirlah yang membentur kebiasaan ini. Pola pikir yang tidak terorganisir dengan baik disebabkan oleh rendahnya pendidikan yang mereka dapatkan. Bila sudah bicara soal pendidikan, maka lagi-lagi kita mengembalikannya dalam titik permasalahan ekonomi sebagaiamana penjabaran di atas.

Melihat beberapa gambaran desa Greneng Timur dengan carut-marutnya, maka sudah seharusnya pemerintah setempat mendukung sepenuhnya program pemerintah pusat yaitu UU TPKS dengan salah satu sasaran desa Greneng.

Dalam hal ini, penulis menawarkan beberapa hal yang perlu dilakukan oleh desa Greneng Timur untuk mendukung program pemerintah pusat berdasarkan beberpa substansi yang ada pada UU TPKS.

1). Pemerintah desa Greneng perlu memberikan pemahaman kepada orang tua tentang dampak pernikahan usia dini bagi anak. Hal ini bisa dilakukan dengan rembuk desa secara berkala.

2). Pemerintah menyediakan akses informasi yang baik.

3). Pemerintah memberikan fasilitas pengembangan diri bagi pemuda setempat sebagai media untuk pengembangan bakat dan minat.

4). Pemerintah melakukan pemberdayaan pada perempuan-perempuan atau ibu-ibu dengan cara memberikan pelatihan kreatifitas sebagai ladang penghasilan.

Ayuna Hayati
Ayuna Hayati
Freelance Journalist
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.