Tulisan ini berangkat dari penelitian selama satu semester terakhir di kabupaten yang didominasi wilayah pedesaan. Maret 2017, langkah pertama adalah memastikan perijinan riset serta observasi di jantung pemerintahan kabupaten, yaitu pendopo Malowopati. Hasilnya, dihari itu juga berbincang langsung dengan salah satu stakeholder “OGP Bojonegoro” meski surat disposisi belum turun seketika.
Selepas wawancara singkat, pengamatan tertuju pada tata ruang perkantoran di gedung berlantai 7 yang tak cuma berkesan mewah namun juga sangat informatif dengan pemasangan poster anggaran keluar dan masuk pemerintahan secara reguler di tembok-tembok yang sangat mudah diakses semua masyarakat umum. Tersadar kemudian, SKPD-SKPD yang ada di dalam gedung ini hanya dibatasi sekat kaca bening yang secara mata telanjang siapa pun bisa menyaksikan kesibukkan mereka, para birokrasi, pelayanan masyarakat.
Dialog publik di Pendopo Malowopati yang diselenggarakan sejak 2008 paska terpilihnya Kang Yoto dan Kang Hartono pada Pilkada Bojonegoro 2008 menjadi media deliberasi yang simetris antara pemerintah dan warga. Berbagai “unek-unek” baik yang bersifat personal maupun komunal, sanjungan sampai “guyonan” antara keduanya adalah manifestasi keterbukaan pemerintahaan dalam konteks demokratisasi lokal dan kesejahteraan warga. Reformasi berlanjut pelayanan pengaduan warga melalui radio lokal, pesan singkat (SMS) bupati, “whatsaap” maupun jejaring TIK lainnya seperti melalui aplikasi lapor. Untuk memperkuat konekstivitas dengan warga, Kang Yoto menjalankan model komunikasi “blusukan”, mengingat sebagian besar demografis Bojonegoro adalah pedesaan yang terhampar luas. Langkah substansi berikutnya, melibatkan para aktor “non-government” seperti korporasi, komunitas masyarakat sipil (NGO) dan akademisi untuk bersama-sama dalam satu panggung perancang dan pelaksana kebijakan pembangunan daerah, dengan istilah kemitraaan 4 sekawan ACGC (Academic, Community, Government dan Corporate).
Poin yang dapat kita telaah yaitu, pertama, saluran komunikasi yang terbuka dan dialogis memberikan informasi yang jernih dan riil antara kedua belah pihak yang secara langsung memotong jalur birokrasi yang kompleks. Sehingga, selain penguatan aspek-aspek demokrasi kewargaan dan manajemen pemerintahan yang terbuka, modal tersebut menjadi “input” bagi kebijakan politik pemerintah yang berkualitas.
Kedua, keterbukaan pemerintahan (open government) dan pengayaan politik deliberasi menjadi modal politik legitimasi bagi pemerintahan ditengah sorotan negatif lainnya. Ketiga, manajemen pemerintahan terbuka membuka ruang demokratisasi lokal yang jauh lebih mapan dalam aspek pendalaman profesionalisme pejabat pemerintahan dan politik kewargaan yang inklusif dan demokratis.
Hingga pada “outputnya” adalah kesejahteraan warga melalui modal sosial yang solid dan modal ekonomi yang dapat dirasakan oleh semua lapisan, sehingga mengentaskan warga “Jonegoro” dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang rendah dan pertumbuhan ekonomi inklusif yang lamban. Hal ini menjadi antitesis bagi kalangan yang mengkritisi demokrasi tanpa kemampuan ekonomi dan sumber daya manusia yang kuat akan berjalan stagnan bahkan mundur, di sisi lain meyakinkan paradigma atau model pembangunan bagi kota-kota (politik lokal) khas negara berkembang seperti Indonesia yang terbelenggu dialektika penguatan modal politik demokrasi ataukah modal ekonomi terlebih dahulu. Rekayasa politik yang berjalan selama satu windu terakhir di Kabupaten Bojonegoro rasanya pantas untuk diduplikasi sesuai konteks ekskalasi sosial politik di level lokal maupun nasional. Semakin mengundang decak kagum karena keberanian menggelorakan manajemen pemerintahan terbuka di kota kampung tersebut mendapatkan apresiasi di tingkatan global melalui “Sub-national Government Pilot Program of Open Government Partnership 2016” bersama dengan 15 kota besar dunia lainnya seperti Seoul, Paris dan Madrid.