Selasa, April 30, 2024

Mengatasi Luka Sosial

Muhammad Farid
Muhammad Farid
Pengajar Ilmu Sosial, STKIP Hatta-Sjahrir, Banda Naira

Di negeri ini, kata “rekonsiliasi” sudah seperti suplemen obat kuat yang dipaksa minum untuk mengatasi luka-luka sosial, seperti buruknya penegakkan hukum, kasus-kasus kekerasan, dan juga konflik kemanusiaan.

Sebanyak tumpukan jerami, seruan rekonsiliasi selalu digaungkan menyikapi tragedi gestok (gerakan sepuluh oktober) atau yang lebih populer dengan G30SPKI. Rekonsiliasi dimaksudkan agar pemerintah mau berdamai dengan eks keluarga tahanan politik PKI yang terlanjur distigma jahat.

Tapi rekonsiliasi itu tidak pernah terjadi. Selain adanya silang-sengkarut kebenaran di balik peristiwa gestok, juga masih ada luka lama yang tidak kalah perih akibat pemberontakan komunis itu sendiri di tahun-tahun sebelumnya.

Rekonsiliasi damai pasca konflik Maluku tahun ’99 juga menyimpan misteri yang sama. Setelah hampir 5 tahun berdarah-darah, Maluku akhirnya menerima damai sebagai jalan keluar dari kemelut konflik.

Meski banyak pekerjaan rumah Maluku belum tuntas, bahkan menyimpan potensi-potensi yang merisaukan, tapi rekonsiliasi terpaksa harus diambil. Betapapun luka antar komunitas muslim-kristen masih menganga. Sekalipun dusta harus ditutup rapat-rapat.

Akibat rekonsiliasi dianggap semacam obat kuat, ia jadi pilihan pertama untuk segera menutupi luka sosial. Padahal luka itu harus diobati, bukan sekedar ditutupi. Dan untuk mengobati luka sosial, orang harus jujur apa adanya.

Sialnya, banyak orang tidak suka dengan kejujuran, sama banyaknya dengan yang tidak suka menerima kebenaran. Karena faktanya, kejujuran atas tragedi akan mengganggu stabilitas institusi-institusi bergengsi. Otoritas pemerintahan. Kewibawaan agamawan. Dan itu semua sulit dipertaruhkan.

Jika akhir-akhir ini ada desakan kuat pemerintah untuk mengupayakan rekonsiliasi antar kubu petahana dan oposisi pasca-pilpres 2019, maka hal itu hanyalah pengulangan sejarah. Jokowi dan Prabowo yang dianggap perlu bersatu lagi, demi keutuhan anak bangsa, demi bla-bla…ternyata tanpa malu-malu juga mengakui semua demi mengamankan posisi dan kursi.

Tentu saja kita semua mendambakan damai lewat jalan rekonsiliasi. Namun bukan rekonsiliasi yang sekedar dijadikan “obat kuat” untuk menutupi luka-luka sosial seperti perilaku curang, culas, dan muslihat yang terlanjur menganga di meja sidang konstitusi.

Faktual, pasca sidang MK itu, wajah demokrasi kita lebam-lebam. Sekujur tubuh bangsa ini remuk-redam. Bukannya dipulihkan, malah dipaksa minum suplemen obat kuat agar selalu tampak jantan.

Sekali lagi, sebagai bangsa yang bermartabat kita mendambakan kedamaian. Jangan sampai bangsa besar ini terjerembab kedalam permusuhan yang berkepanjangan. Maka setiap perselisihan harus segera direkonsiliasikan.

Sebagaimana seruan agama, “maka damaikanlah orang-orang yang berselisih diantara kalian” (al-qur’an). Namun rekonsiliasi yang dimaksud itu dibangun atas dasar yang “Haq” atau kebenaran, bukan kepalsuan.

Muhammad Farid
Muhammad Farid
Pengajar Ilmu Sosial, STKIP Hatta-Sjahrir, Banda Naira
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.