Selasa, Mei 21, 2024

Membincang Filsafat Eksistensialisme dalam Perspektif Islam

Anggi Agusti
Anggi Agusti
Menulis adalah Melawan

Dalam berkehidupan di dunia fatamorgana ini, manusia diberi kebebasan dalam mendefinisikan dirinya. Untuk melakukan apapun, menjadi apapun dan memilih siapapun. Hal ini selaras dengan ungkapan Jean Paul Satre, “ manusia dikutuk untuk bebas”. Singkatnya, Inilah yang disebut filsafat eksistensialisme. Menurut KBBI, eksistensialisme merupakan aliran yang mempunyai pemahaman yang berpusat pada manusia  sebagai individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar.

Secara definisi bahasa, Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi. Secara umum eksistensi berarti keberadaan. Secara khusus eksistensi adalah cara manusia berada di dalam di dunia. Cara manusia berada di dalam dunia berbeda dengan cara berada benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya. Berbeda dengan manusia. Benda-benda menjadi lebih berarti karena manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini di dalam filsafat eksistensialisme dikatakan, bahwa benda-benda “berada”, sedangkan manusia “bereksistensi”. Jadi hanya manusia yang bereksistensi.

Manusia bereksistensi memiliki artian bahwa manusia bisa eksis di alam semesta ini dengan kemauannnya sendiri, lebih jauhnya, manusia bisa mengeksperesikan segala kebebasannya.  Menurut pandangan Ali Syari’ati sebagai seorang tokoh eksistensialisme religius, adalah dinamis, menjadi diri yang aktif, menjadi, merencarnakan kehidupannya, dan berubah, baik perubahan itu menjadikan dirinya lebih baik atau lebih buruk dari sebelumnya.

Karena manusia merupankan makhluk yang memiliki rasio, yang mana denga rasio tersebut manusia dapat berfikir dengan sadar dan kreatif, untuk dapat membangun kreativitas, dan kreativitas tersebut membutuhkan kebebasan agar bisa menuangkan kegelisahan-kegelisahan yang ada dalam dirinya, sehingga kreativitas itu benar-benar murni diciptakan oleh dirinya sendiri tanpa adanya dorongan atau pengaruh dari faktor-faktot diluar dirinya.

Diikuti dengan firman Allah: yang mengatakan bahwa manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk mengelolah dan menjaga semua yang ada di bumi. Seperti firman Allah, (Al-Baqarah: 30).  Tetapi, memandang manusia secara bebas dan terbuka melakukan apapun di muka bumi tanpa adanya dinding batasan apakah sesuatu yang pantas, atau sesuatu yang sudah selesai dibahas dan tidak perlu lagi dipertentangkan?  Sedangkan dalam Islam sendiri Tuhan selalu menyertai segala perbuatan manusia, apakah hal tersebut artinya Tuhan campur  tangan dalam kebebasan manusia?

Berbicara tentang Islam, maka secara tidak langsung kita berbicara tentang suatu agama beserta segala yang meliputinya, salah satunya adalah persoalan teologi. Dalam teologi tersebut, terdapat konsep ikhtiyar dan taqdir, ya’ni manusia memliki kebebasan dalam melakukan perbuatannya tetapi dengan batasan yang sudah ditetapkan.

Konsep tersebut sekarang kita kenal dengan nama al-hurriyyah atau liberty. Maksudnya, Allah memberi kebebasan penuh kepada manusia dalam memilih suatu perbuatan baik itu yang berpotensi kepada kebaikan atau kejahatan, dan segala perbuatan itu memiliki konsekuensi di dunia dan di akhirat kelak.

Oleh karenanya, senada dengan hal itu, Allah menciptakan akal untuk mengindentifikasi kedua hal tersebut. Hal ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an, secara eksplisit maupun implisit yang membicarakan tentang kebebasan manusia untuk menentukan sendiri perbuatannya yang besifat ikhtiyariyyah. Ya’ni kemampuan yang dimiliki manusia untuk melakukam atau meninggalnya atas perbuatan yang dinisbatkan kepadanya, dan sekaligus menjadi tanggung jawabnya. Seperti salah satu surat yang termaktub dalam Al-Qur’an (Q.S. al-Kahfi/18 ayat 29).

Dalam pemikiran teologi, kata ikhtiar sendiri di sebut iradah, yaitu keinginan dan usaha manusia dalam melakukan perbuatan secara bebas. Manusia dikatakan makhluk yang bebas dalam berikhtiar, karena ia melakukan segala tindakannya atas dasar akal dan kehendaknnya. Islam memberikan keyakinan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan.

Keluhuran, keutamaan, dan kelebihan yang dimiliki manusia yang membuatnya berbeda dengan makhluk Tuhan lainnya terletak pada akal yang dianugerahkan kepadanya. Ketika membicarakan tentang ikhtiar, secara eksplisit membicarakan free will dan predestination dan keadilan Tuhan.

Kaum Asy’ariah berpendapat bahwa tuhan berbuat sesuatu semata-mata karena kekuasaan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lainnya. Allah melakukan apa saja yang dikehendaki, dan segala peristiwa yang rerjadi adalah kehendak Allah. Sebab itu, meskipun demikian manusia dikatakan manusia yang bebas berikhtiar, ai juga tidak dapat terlepas dari faktor yang tidak dapat di tolak oleh manusia. Dalam kebebasan manusia ada ketergantungan trsansendtal, tergantung pada suatu prinsip kreatif, yaitu Allah.

Bagi kaum Asy’ariyah Tuhan tidak terikat terhadap apapun, janji-janji, maupun norma-norma keadilan. Tuhan juga tidak memiliki kewajiban-kewajiban terhadap manusia dan terikat terhadap kewajiban itu. Tuhan tidak tunduk kepada siapa pun.

Dengan demikian, keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak-Nya. Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan menciptakan manusia dan perbuatannya,  dan menciptakan apa-apa yang tidak  diketahui oleh manusia.

Walaupun demikian, ada peran manusia dalam perbuatannya. Manusia diberikan daya dan kehendak oleh Tuhan dalam melakukan perbuatannya. Dari sini, dapat dipahami bahwa Tuhan adalah pengantar dari segala kehendak manusia dalam perbuatannya. Dengan sarana kehendak yang telah Tuhan berikan kepada manusia, manusia memiliki kemauan atau kehendak untuk melaksanakan perbuatannya. Namun semua pelaksanaan itu akan menjadi kenyataan hanya dengan  kuasa Tuhan.

Di sisi lainnya, manusia juga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, menurut Asy’ariyah pertanggungjawaban itu terikat erat dengan kasb dan usaha dari manusia. Kasb bagi Al-Asy’ary diartikan perbuatan yang muncul dari manusia iti disebabkan oleh Allah, namun manusia diberi kekuasaan dalam mewujudkan perbuatan tersebut. Karena dalam hal ini manusia bukanlah fa’il, tetapi kasib. Artinya Tuhanlah yang memegang otoritas tertinggi terhadap perbuatan manusia, dan sifatnya hanya sementara, dan perbuatan itu tidak dapat diwujudkan, kecuali dengan kehendak Allah.

Maka, dapat dipahami lebih ringkas lagi, bahwa manusia adalah makhluk yang bebas berikhtiar di muka ini, dan segala perbuatannya itu memiliki konsekuensi dan tanggungjawab di akhirat kelak. Terlepas dari hal itu, manusia memiliki kebebasan dalam melakukan dan menentukan perbuatannya, karena ia diberi akal sebagai landasan ikhtiarnya. Meskipun demikian, Tuhan tetap menjadi pemegang otoritas tertinggi dalam terwujudnya perbuatan manusia. Karena Tuhan hanya menjadi pengantar dari perbuatan dan kehendak manusia, selebihnya manusia yang menentukan dan memilinya.

Anggi Agusti
Anggi Agusti
Menulis adalah Melawan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.