Jumat, April 26, 2024

Memahami Makna Ideologi dan Kebahagiaan Melalui Kacamata Zizek

Oxandropratama
Oxandropratama
Lahir di Bukittinggi pada tanggal 7 Juni, 1997. Sedang menyelesaikan studi di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.

Belum lama ini dunia baru saja disuguhi oleh debat yang digadang-gadang sebagai “The Debate of the Century” antara dua intelektual terkenal yang amat kontroversial, yaitu Slavoj Zizek dan Jordan Peterson.

Walaupun kedua intelektual ini memiliki disiplin ilmu yang bisa dikatakan sama, yaitu psikologi. Dalam segi ideologi dan pandangan, bisa dikatakan mereka sangat bertentangan; ibarat langit dan bumi yang tak akan pernah bersatu. Begitulah kira-kira jika kita memberikan sebuah analogi sederhana.

Debat yang berlangsung selama hampir tiga jam itu diberi tajuk Happiness: Marxism vs Capitlism (Kebahagiaan: Marxisme Lawan Kapitalisme). Selama debat berlangsung, jujur saja begitu banyak hal-hal menarik yang bisa dikatakan sebagai hal-hal yang tidak terekspetasikan sebelumnya.

Salah satu hal yang paling menarik dari pembahasan mereka—terlepas dari pembahasan tentang pengkategorian ideologi—adalah pembahasan tentang ‘kebahagiaan’. Dalam pembahasan ini, kedua-duanya mampu membawa diskusi itu menuju ke dalam kajian yang sangat filosofis, analitik, dan kritis, dan teoritik. Mereka mencoba mempertanyakan hal-hal yang sama sekali tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Hal yang paling menarik dari pembahasan tentang kebahagiaan adalah ketika Zizek berkata bahwa kebahagiaan pada dasarnya adalah hal yang sangat abstrak. Namun, di lain sisi, kebahagiaan manusia juga cenderung memiliki orientasi materil. Pandangan itu ia buktikan dengan menganalogikan cara kerja kebahagiaan melalui penghancuran alam oleh manusia untuk semata-mata memenuhi hasrat kebahagiaan, di mana pembangunan dilakukan di tempat-tempat yang berpotensi untuk menjadi tempat wisata, atau sehingga wajar saja jika saat ini dunia mengalami resesi ekologis.

Analisis Zizek terhadap orientasi kebahagiaan manusia yang cendrung materil inilah yang membuat Zizek berpandangan bahwa itulah dampak mengerikan dari kekuasaan kapitalisme di dunia.

Eksploitasi tak berkesudahan yang dilakukan oleh pemerintah dengan dalih pembangunan harus tetap dilanjutkan demi berkurangnya pengangguran dan kemiskinan sebenarnya adalah sebuah gambaran jelas keinginan mereka untuk melakukan pemenuhan hasrat materil tanpa ada akhir.

Pandangan Zizek tersebut lebih jelasnya dapat kita kaitkan dengan apa yang terjadi di dalam film Sexy Killers; bagaimana sebuah pembangunan didasari oleh kepentingan masyarakat dengan membangun PLTU di sekitar pemukiman warga.

Sekilas wacana tersebut memang terdengar masuk di akal. Namun, jika kita kaitkan dengan pandangan Zizek dengan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terkait penjelasan pembangunan PLTU di sekitar pemukiman warga, maka tentu yang kita temukan hanyalah sebuah kebijakan yang hanya menguntungkan pihak pemerintah dan pihak pemodal.

Dengan adanya pembangunan tersebut, negara baru saja mengizinkan pemodal untuk melakukan pembangunan di pemukiman warga, yang mana akan membuat para petani, nelayan, dan pekerja di desa kehilangan lahan dan pekerjaan mereka. alih-alih bertujuan melakukan pembangunan demi kepentingan dan kesejahteraan bangsa Indonesia, pembangunan itu justru hanya akan menambah kedalaman jurang kemiskinan, sedangkan pemerintah memperoleh keuntungan secara materil dari perizinan yang mereka berikan terhadap pihak pemodal, yang mana dalam analisis Zizek adalah bentuk orientasi kebahagiaan mereka.

Kepentingan parsial inilah sekiranya yang menjadi permasalahan utama terciptanya peperangan antar ideologi. Seperti yang dikatakan oleh Lenin dalam Negara dan Revolusi, bahwa Negara dengan segala instrumen-nya (Superstruktur) akan menjadi tempat bersarangnya para kapitalis demi kelancaran segala macam tujuannya.

Pandangan Lenin tersebut tentulah tak terlepas dari pengalaman empirisnya ketika melihat kaum kelas buruh (Proletar) yang selalu teralineasi. Ketidakberdayaan kaum proletar didasari oleh superstruktur yang menghambat mereka untuk memberikan opini, sehingga satu-satunya cara untuk mencapai masyarakat yang ideal tanpa kelas di mata Lenin ialah dengan bergantung kepada ideologi komunisme demi tercapainya sebuah revolusi.

Berdasarkan jabaran di atas, sekiranya kita mulai melihat hubungan kuat antara kebahagiaan dan ideologi. Jika menurut Zizek kebahagiaan digambarkan sebagai upaya pemenuhan hasrat materil, maka ideologi itu sendiri adalah kebahagiaan, sebab kebahagiaan, atau sebuah hasrat dengan orientasi materil, tentulah tidak akan ada habisnya: semakin banyak kita melakukan kebahagiaan, maka semakin besar hasrat kita untuk melakukannya.

Itulah yang terjadi terhadap para pemodal (Kapitalis) dan pemerintah, ketika mereka membuat suatu kebijakan yang hanya menguntungkan beberapa pihak, maka mereka harus bergantung kepada ideologi demi tercapainya kebahagiaan mereka.

Meskipun manusia mengetahui bahwa materialisme—materil-materil yang menjadi orientasi kebahagiaan manusia saat ini—telah menghancurkan idealisme mereka, sekiranya praktik tersebut masih tetap mereka lakukan dengan sadar. Alasannya sederhana: jika mereka berhenti melakukan praktik kebahagiaan materil, maka mereka tidak lagi bisa memenuhi hasrat materil mereka, dan kenyataan bahwa mereka tak lagi mampu memenuhi hasrat materil mereka itulah yang menyakitkan. Itulah mengapa mereka memilih untuk bergantung terhadap ideologi yang mana akan melegitimasi tindakan-tindakan yang mereka lakukan.

Kajian tentang ideologi sebenarnya telah dilakukan dan dijelaskan oleh Zizek melalui film yang ia bintangi: Pervert Guide to Ideology. Dalam film tersebut, Zizek menjelaskan bahwa ideologi adalah sesuatu hal yang membuat kita buta dalam melihat realitas karena besarnya ketertarikan materil pada ideologi itu sendiri.

Walaupun pada umumnya ideologi selalu dipercaya sebagai alat untuk membuat kita sadar akan realitas-realitas yang terjadi di sekeliling kita, namun sebenarnya ideologi adalah suatu ruang di mana manusia justru dibutakan dalam melihat realitas. Pernyataan itu dapat dibuktikan dengan isu-isu yang bertebaran saat ini, seperti bagaimana maraknya masyarakat fanatik dengan pilihan presiden mereka, sehingga seringkali mereka membela dan melakukan pembenaran terhadap calon presiden mereka dengan buta.

Atau contoh lainnya bagaimana agama dijadikan tameng untuk melegitimasi tindakan-tindakan yang mereka lakukan—tindakan yang melenceng dari ajaran agama dan dilakukan atas dasar hasrat—sehingga mereka akan melakukan pembelaan dengan mengatasnamakan agama sebagai sebuah ideologi.

Tajamnya analisis Zizek akan kejamnya cara kerja ideologi setidaknya menyadarkan kita untuk kembali kepada esensi manusia yang lebih mengutamakan idealisme daripada materialisme.

Di tengah fungsi ideologi yang semakin membutakan kita dari realitas-realitas, membuat kita tidak tahu bagaimana cara untuk berhasrat, setidaknya idealisme mampu membawa kita ke level dimana kita tahu bagaimana cara untuk berhasrat, yang berarti tidak melulu menjadikan hal-hal materil sebagai orientasi hasrat itu sendiri, namun lebih kepada sesuatu yang memiliki kaitan kuat dengan pengalaman kita sebagai manusia. Sesuatu yang memiliki andil besar dalam terbentuknya idealisme itu sendiri.

Oxandropratama
Oxandropratama
Lahir di Bukittinggi pada tanggal 7 Juni, 1997. Sedang menyelesaikan studi di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.