Sabtu, Oktober 12, 2024

Apa Kabar Psikologis Korban Kekerasan Seksual?

Puji Handayani
Puji Handayani
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Kekerasan seksual, kata yang belakangan ini sering terlontar dan terdengar oleh khalayak. Kekerasan seksual disebut sebagai perbuatan yang mengincar seksualitas dan organ seksual secara memaksa, mengancam, atau tanpa persetujuan.

Kekerasan seksual tidak hanya dilakukan oleh orang di luar anggota keluarga. Namun, kekerasan seksual juga bisa dilakukan oleh anggota keluarga sendiri ataupun karena perspektif gender.

Kekerasan seksual dinilai sebagai tindakan yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan sangat merugikan, khususnya pada korban. Salah satu dari sekian banyak kerugian yang didapat yaitu keadaan psikologis yang memburuk.

Berlipat-lipat gangguan psikologis yang didapat korban kekerasan seksual. Gangguan psikologis tersebut digolongkan menjadi dua jenis, yakni gangguan psikologis jangka pendek dan gangguan psikologis jangka panjang.

Gangguan psikologis jangka pendek pada umumnya dapat terlihat setelah kekerasan seksual terjadi pada korban, seperti: kecemasan, kemurungan, kegelisahan, gangguan emosional, dan depresi.

Sedangkan gangguan psikologis jangka panjang dapat terlihat jika adanya penyimpangan seksual, disfungsi seksual, kecemasan berlebih, depresi hebat, agresivitas, ketakutan berlebih, kecurigaan berlebih, keinginan untuk bunuh diri, dan antisosial.

Gangguan psikologis jangka panjang dan pendek tidak serta merta datang begitu saja namun ada faktor-faktor yang melatarbelakanginya.

Pertama, faktor pelaku, kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga atau orang terdekat korban, seperti: orang tua, paman, sepupu, bibi, dan kerabat lainnya akan membuat korban mengalami gangguan psikologis yang lebih besar dibanding pelaku kekerasan seksual oleh orang di luar anggota keluarga.

Kedua yaitu faktor mengenai jenis kekerasan seksual yang dialami, pada umumnya semakin teruk kekerasan seksual yang dialami maka akan semakin hebat juga masalah psikologisnya, seperti: depresi hebat, kecanduan alkohol atau obat terlarang, dan kecemasan berlebih.

Ketiga yaitu faktor cara kekerasan seksual dilakukan, kekerasan seksual yang dilakukan bersamaan dengan kekerasan fisik (dapat berupa tamparan atau pukulan) dan mental (berupa hinaan, ancaman, atau bentakan) dapat membuat korban merasa marah, hina, takut, dan malu sehingga ada keinginan untuk melakukan percobaan bunuh diri.

Faktor keempat yaitu keterbukaan, mayoritas korban kekerasan seksual lebih memilih untuk menyimpan peristiwa kekerasan yang dialaminya sendirian, hal ini terjadi karena korban merasa malu, kotor, bersalah, atau takut sehingga enggan untuk menceritakan atau memberitahu hal yang dialaminya kepada orang lain.

Keengganan tersebut bertambah apabila ada perasaan akan mendapat hinaan, ledekan, cemoohan, ancaman, atau penyebarluasan peristiwa jika korban memberitahukan peristiwa tersebut kepada orang lain. Situasi dan kondisi seperti ini tentu saja akan membuat korban mengalami tekanan mental yang demikian hebatnya dan enggan untuk mencari keadilan pada lembaga yang berwenang.

Korban lebih memilih untuk diam daripada bersuara karena takut diabaikan, kehilangan harga diri, atau pandangan yang berbeda di lingkup sosial. Faktor kelima yaitu dukungan sosial, jika korban kekerasan seksual mendapatkan dukungan sosial yang besar maka keadaan psikologis korban berangsur-angsur akan membaik, dukungan sosial memiliki peran yang sangat penting pada penyembuhan masalah psikologis korban kekerasan seksual dan membantu mempermudah korban untuk berdamai dengan dirinya sendiri.

Namun, jika dukungan sosial di lingkungan korban tidak mendukung maka masalah psikologis yang dialami korban akan semakin memburuk. Contoh dari ketiadaannya dukungan sosial, seperti: lingkungan sekitar yang menyalahkan korban, mengejek-ejek korban, dan menyebarluaskan cerita korban kepada orang lain.

Masalah psikologis korban kekerasan seksual seperti contoh di atas pada umumnya beranjak dari sistem kerja kognisi. Selanjutnya, kognisi akan mempengaruhi perasaan dan tindakan.

Sistem kognisi yang negatif menyebabkan pola pikir negatif berulang sehingga menyebabkan negative belief. Negative belief menyebabkan korban menjadi terkekang sehingga mempengaruhi kondisi kesehatan korban dan pada akhirnya tidak mampu meminimalisir tekanan yang ada.

Namun, jika korban mendapatkan dukungan sosial yang positif maka korban akan memanipulasi kognisinya dengan cara menghindar dan menyangkal bahwa yang terjadi tidak seburuk yang dipikirkan. Manipulasi kognisi membuat korban mampu untuk melakukan coping mengenai masalah yang dihadapinya dan mampu untuk menyelesaikan masalah serta menghadapi realita pada kehidupannya.

Keadaan psikologis korban kekerasan seksual jika didiami dan tidak ditangani dengan tepat maka berangsur-angsur akan menimbulkan efek yang sama sekali tidak diinginkan, yaitu bunuh diri. Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan untuk pemulihan gangguan psikologis yang dialami korban seksual.

Pertama, rehabilitasi kesehatan yang dilakukan untuk membantu korban kekerasan seksual mendapatkan penanganan medis yang bertujuan untuk menggapai kemampuan psikologis dan fisik yang maksimal.

Dalam hal itu, lembaga yang berwenang perlu memberikan rumah aman (shelter) yang berfungsi untuk memberikan perawatan secara utuh, menyediakan pendampingan psikososial oleh psikolog atau dokter, dan mengadakan kegiatan atau kurikulum yang bertujuan memulihkan korban.

Kedua, rehabilitasi sosial yang bertujuan untuk memulihkan korban secara terpadu baik sosial, fisik, maupun mental dengan cara memberikan konsultasi langsung dengan psikolog, pengasuhan dan perawatan, serta memberikan bimbingan mental dan spiritual.

Ketiga, bantuan hukum kepada korban kekerasan seksual dalam bentuk nasihat hukum ataupun menjadi kuasa dari seseorang yang menjadi perkara dengan tujuan melindungi korban serta memenuhi hak asasinya sebagai manusia. Keempat, reintegrasi sosial untuk membangun modal sosial, kepercayaan, dan afinitas sosial.

Jika ditarik benang merahnya, membaik atau memburuknya keadaan psikologis korban kekerasan seksual tergantung pada dukungan sosial yang korban dapat. Adanya dukungan sosial akan mempercepat proses pemulihan masalah psikologis korban.

Lain cerita apabila dukungan sosial tidak didapatkan, masalah psikologis korban akan beranjak ke gangguan psikologis jangka panjang yang tentunya sangat-sangat tidak diinginkan untuk terjadi. Mari bersama-sama kita menjadi pribadi yang kritis dan tidak begitu saja menyalahkan korban kekerasan seksual dan mendukung proses pemulihan psikologis korban kekerasan seksual.

Referensi:

Betah, M., Pangemanan, S., Pangemanan, F., & Seksual, K. (2020). Strategi Penanganan Anak Korban Kekerasan Seksual. 4(4), 1–10.

Fuadi, M. A. (2011). Dinamika Psikologis Kekerasan Seksual : Sebuah Studi Fenomenologi. 8(2), 191–208.

Rini. (2019). Dampak Psikologis Jangka Panjang Kekerasan Seksual Anak ( Komparasi Faktor : Pelaku , Tipe , Cara , Keterbukaan Dan Dukungan Sosial). 4(3), 156–167.

Saputri, R. W., Noviekayati, I., & Saragih, S. (2018). Konseling Kelompok untuk Menurunkan Depresi Pada Remaja Introvert Korban Kekerasan Seksual. Persona:Jurnal Psikologi Indonesia, 7(1), 93–106. https://doi.org/10.30996/persona.v7i1.1535

Puji Handayani
Puji Handayani
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.