Rabu, April 17, 2024

Babalombi dan Kota Pendidikan? Meniti Asa yang Sia-Sia

Shaleh Muhammad
Shaleh Muhammad
Jurnalis di Jaringan Media Siber Indonesia

Pendidikan adalah jalan terbaik meningkatkan taraf kehidupan sebuah generasi. Tak terkecuali di Indonesia. Namun apa yang dijumpai di pelosok Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, bisa jadi cermin kondisi pendidikan di banyak daerah terpencil lainnya di tanah air.

Seperti yang digambarkan penulis pada catatan ini. Salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Desa Popenga Kecamatan Ulumanda yang berada di daerah terpencil dan tertinggal. Jauh dari kata maju.

Untungnya masih ada tenaga pendidik yang tidak kenal lelah. Bisa dibayangkan, seperti apa perjuangan mereka  setiap hari. Menempuh jalur yang ekstrim adalah sarapan pagi bagi mereka, belum lagi segala macam keterbatasan sarana dan prasarana belajar-mengajar di sekolah.

Kisah Basir, Kepala Sekolah SD 40 Babalombi

Kisah pengabdian seorang Guru  Sekolah Dasar Negeri (SDN) Nomor 40 Babalombi salah satu potret masih adanya tokoh pendidik yang bertahan ditengah keterbatasan demi tuntaskan masalah pendidikan di negara ini.

Basir, ialah sosok Kepala Sekolah yang sederhana, semangatnya luar biasa. Disisa masa tugasnya yang tinggal lima tahun, hal itu tidak mempengaruhi tekadnya memajukan pendidikan tanah kelahirannya. Walau harus menempuh jarak delapan kilometer dengan akses jalan yang sangat sulit, salah sedikit nyawa taruhannya.

Hampir dua dekade ia mengabdikan hidupnya di dunia pendidikan. Ketika itu, tahun 2003 silam ia tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Setelah perjuangannya beberapa tahun menuntut ilmu di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Majene tahun 1988.

“Saya tamat SPG tahun 1988, puluhan tahun kemudian Alhamdulillah saya diterima sebagai PNS,” tuturnya, Senin (21/2/22).

Sekolah Dasar yang berada di garis terluar di Kabupaten Majene. Bejarak 50 kilometer dari pusat pemerintahan Kecamatan Ulumanda dan berbatasan dengan Kabupaten Mamasa membuat SD Babalombi sulit untuk diakses.

Bukan hanya itu, perjuangan berat mengajar di SD terpencil dirasakan betul oleh Basir, selain akses yang sulit, juga minimnya fasilitas belajar-mengajar.

“Kami masih kekurangan dua ruang kelas, kantor dan toilet. Harapan kami Dinas terkait bisa perhatikan SD Kami.” Harap Basir.

Proses belajar mengajar juga kerap terbentur oleh SDM yang ada. Hal ini menyusul kurangnya tenaga pendidik yang mau terjun ke dusun terpencil. Pekerjaan besar untuk mencerdaskan generasi masa depan bangsa.

“Saat ini kami hanya memiliki tiga PNS satu PPPK dan lima tenaga honorer. Harapan tentu ada, demi kamajuan pendidikan di Majene. Khsusnya di daerah terpencil.”Ungkap Basir.

Hingga kini belum ada jaminan peningkatan mutu pendidikan di sekolahnya, Sebagai daerah yang dijuluki kota pendidikan, Pemerintah Kabupaten Majene tidak bisa tinggal diam dengan kondisi seperti ini. Perlu secepatnya mengambil tindakan, agar generasi penerus bangsa di Babalombi mendapatkan hak pendidikan yang setara dengan daerah lain.

Meniti Asa yang Sia-Sia

Wajar saja jika Babalombi menagih janji. Dusun terakhir yang sering dikaitkan dengan Topembuni (penduduk yang tak kasat mata) menurut penuturan warga setempat.

Alkisah pada jaman penjajahan Belanda dikabarkan sejumlah kepala kelurga membawa sanak saudaranya untuk berilindung di daerah Ulu Lombi (Hulu Sungai Lombi) karena tak mau menjadi budak klonial saat itu. Inilah yang diyakini penduduk setempat bahwa di Ulu Lombi ada sebuah perkampungan yang tidak kasat mata.

Tetapi kali ini bukan masalah Topembuni yang ingin penulis sampaikan,melainkan sebuah kritikan untuk Pemerintah Kabupaten Majene. Arah dan tujuan tulisan ini bukanlah isapan jempol belaka, tetapi sebuah produk jurnalisme yang lahir dari keresahan warga tentang apa sebenarnya yang dimaksud denga Kota Pendidikan.

Tulisan ini tentu dibuat sebagai refleksi bagi semua orang yang punya tanggung jawab mencerdaskan generasi penerus bangsa. Mohon dibaca denga fikiran yang jernih serta hati yang berbunga-bunga.

Kalau sejatinya Topembuni adalah jin, tentu itu tak kasat mata. Mereka bersembunyi karena tidak ingin dijadikan budak,tawanan, dan antek-antek penjajah. Begitu pula dengan Babalombi, masyarakatnya tak ingin merasakan serba kekurangan, seperti kurang perhatian dari penentu kebijakan.

Jika leluhur mereka lari dari penjajah, apakah sekarang mereka juga harus tersembunyi? Tentu jawabannya ada dalam hati pembaca yang budiman. Tetapi kami yakin yang berhak menjawab secara jelas adalah pemimpin diamana Babalombi tercatat sebagai salah satu dusun. Tentu pertanyaan ini juga berlaku untuk daerah tersembunyi yang lain.

Mayoritas masyarakat Babalombi bekerja sebagai Petani Ladang yang berpindah-pindah. Ada juga sebagian kecil yang pergi mengadu keberuntungan di daerah lain seperti Kalimantan. Sebagai petani yang masih mengandalkan cara tradisional tentu hasil mereka hanya cukup untuk menghidupi keluarga, itupun tak jarang mereka gagal panen.Tidak ada jaminan hidup bagi mereka, begitu juga dengan pendidikan.

Untuk mengakses pusat pemerintahan saja mereka harus bejalan kaki sejauh delapan kilometer dengan kondisi jalan yang sangat buruk. Jika musim kemarau tiba sesekali mereka menggunakan kendaraan roda dua, walau garus bergotong royong memikulnya di beberapa titik terparah.

Dengan kondisi seperti itu, jangankan untuk menempuh pendidikan, setiap hari saja mereka harus menguras begitu banyak energi agar dapat melanjutkan hidup. Jarak tempuh dari kota Kecamatan Ulumanda hanya sekitar 50 kilomoter yang waktu normalnya jika akses jalan bagus sekira satu jam. Tetapi jika kondisi sekarang butuh waktu satu hari untuk perjalanan mereka menuju kota. Itu juga kalua musim kemarau, lain halnya dengan musim hujan. Bisa dibayangkan bagaimana perjuangan mereka untuk menjual hasil tani ke pasar, butu dua hari perjalanan.

Tetapi sepertinya keinginan mereka sia-sia. Di umur Provinsi Sulawesi Barat yang hampir dua dekade mereka masih bergelut dengan masalah tanah merah di sepanjang jalan.

Letak geografis dengan ketinggian 800-1000 meter dari permukaan laut membuat Babalombi memiliki sejumlah potensi di bidang pertanian, perikanan, dan peternakan. Luasnya lahan yang belum difungsikan memberi peluang untuk pemerintah terkait dapat mendapingi warga dalam mengembangkan sumber daya alam.

Pemerintah tidak boleh tutup mata dengan potensi tersebut. Mereka tidak tau apa itu Kota Pendidikan? apa itu Unggul, Mandiri dan Religius?. Yang mereka rasakan saat ini masih sama dengan mitos Topembuni, seakan tidak terlihat oleh mereka yang duduk di kursi kekuasaan. Antara ada dan tiada.

Mereka berharap dengan Kepemimpinan Bupati yang baru, Bapak Andi Acmad Syukri Tammalele dan wakilnya Aris Munandar bisa menuntaskan segala permasalahan di Babalombi.

Akhir kata,hingga saat ini masyarakat Babalombi belum merasakan kemerdekaan yang sepenuhnya. Jangan biarakan peristiwa pada jaman penjajahan terulang kembali.

Shaleh Muhammad
Shaleh Muhammad
Jurnalis di Jaringan Media Siber Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.