Kita lihat bila Secara filosofis, terminologi pendidikan karakter, pendidikan moral, pendidikan etika, dan pendidikan akhlak memiliki perbedaan. Terminologi pendidikan moral (moral education) lebih cenderung pada penyampaian nilai-nilai yang benar dan yang salah, dengan didasarkan pada adat dan kebiasaan suatu masyarakat secara umum.
Terminologi tertua untuk pendidikan moral adalah sebagai ilmu yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan manusia.
Namun, penerapan nilai-nilai dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat tidak mendapat porsi yang memadai. Karena, sangat normatif dan kurang bersinggungan dengan ranah afektif dan psikomotorik siswa.
Kemudian, pendidikan akhlak, sebagaimana dirumuskan oleh Ibnu Miskawaih yang dikutip oleh Abudin Nata, merupakan upaya ke arah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan-perbuatan yang bernilai baik dari seseorang. Dalam pendidikan akhlak ini, kriteria benar dan salah untuk menilai perbuatan yang muncul merujuk kepada Al-Quran dan Sunah sebagai sumber tertinggi ajaran Islam.
Berbeda dengan pendidikan etika yang pengambilan nilai-nilainya bersumber dari olah akal pikiran para filosof. Namun demikian dalam implementasinya, pendidikan akhlak dan etika masih tetap cenderung pada pengajaran right and wrong seperti halnya pendidikan moral.
Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi daripada pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga siswa menjadi paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik.
Pembedaan ini karena moral dan karakter adalah dua hal yang berbeda. Moral adalah pengetahuan seseorang terhadap hal baik atau buruk, sedangkan karakter adalah tabiat seseorang yang langsung ditentukan oleh otak. Dari sudut pandang lain bisa dikatakan bahwa tawaran istilah pendidikan karakter datang sebagai bentuk kritik dan kekecewaan terhadap praktek pendidikan moral selama ini. Oleh karena itu, terminologi yang ramai dibicarakan sekarang ini adalah pendidikan karakter (character education) bukan pendidikan moral (moral education). Walaupun secara substansial, keduanya tidak memiliki perbedaan yang prinsipil.
Secara lebih rinci, berikut perbedaan antara pendidikan karakter dengan pendidikan moral dan akhlak :
Pendidikan Karakter dan Pendidikan Moral
Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi daripada pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga siswa didik menjadi faham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Menurut Ratna Megawangi, perbedaan ini karena moral dan karakter adalah dua hal yang berbeda. Moral adalah pengetahuan seseorang terhadap hal baik atau buruk.
Sedangkan karakter adalah tabiat seseorang yang langsung di-drive oleh otak. Dari sudut pandang lain bisa dikatakan bahwa tawaran istilah pendidikan karakter datang sebagai bentuk kritik dan kekecewaan terhadap praktik pendidikan moral selama ini. Itulah karenanya, terminologi yang ramai dibicarakan sekarang ini adalah pendidikan karakter (character education) bukan pendidikan moral (moral education). Walaupun secara substansial, keduanya tidak memiliki perbedaan yang prinsipil.
Pendidikan Karakter dan Pendidikan Akhlak
Akhlak dipahami oleh banyak pakar, dalam arti kondisi kejiwaan yang menjadikan pemiliknya melakukan sesuatu secara mudah, tanpa memaksakan diri, bahkan melakukannya secara otomatis. Apa yang dilakukan bisa merupakan sesuatu yang baik, dan ketika itu ia dinilai memiliki akhlak karimah, mulia, terpuji, dan bisa juga sebaliknya dan ketika ia dinilai menyandang akhlak yang buruk. Baik dan buruk tersebut berdasar nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat di mana yang bersangkutan berada.
Bentuk jamak pada kata akhlak mengisyaratkan banyaknya hal yang dicakup olehnya. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa ia bukan saja aktivitas yang berkaitan dengan hubungan antar-manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan Allah, dengan lingkungan–baik lingkungan hidup maupun bukan–serta hubungan diri manusia secara pribadi.
Di samping itu juga perlu diingat bahwa Islam tidak hanya menuntut pemeluknya untuk bersikap baik terhadap pihak lain dalam bentuk lahiriah, sebagaimana yang ditekankan oleh sementara moralis dalam hubungan antar-manusia, tetapi Islam menekankan perlunya sikap lahiriah itu sesuai dengan sikap batiniyah.
Karakter juga bisa diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Dengan kata lain, bahwa membangun karakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga berbentuk unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain.
Secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya, dimana manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang.
Adapun pengertian akhlak secara peristilahan menurut Ibnu Miskawaih (w. 1030 M) adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pemikiran terlebih dahulu. Pendapat senada diungkapkan oleh Al-Ghazali (1111 M.), yang menyatakan bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa (malakah), yang dapat memunculkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan pemikiran. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, menurut Ahmad Tafsir, dalam pengantar buku Pendidikan Karakter Berperspektif Islam, bahwa karakter merupakan perilaku yang dilakukan secara otomatis, dan artinya semakna dengan pengertian akhlak yang dikemukan oleh Ibn Maskawaih dan al-Ghazali di atas.
Dalam kaitannya dengan pendidikan akhlak, terlihat bahwa pendidikan karakter mempunyai orientasi yang sama, yaitu pembentukan karakter. Perbedaan bahwa pendidikan akhlak terkesan timur dan Islam, sedangkan pendidikan karakter terkesan Barat dan sekuler, bukan alasan untuk dipertentangkan.
Pada kenyataanya keduanya memiliki ruang untuk saling mengisi. Bahkan Lickona sebagai Bapak Pendidikan Karakter di Amerika justru mengisyaratkan keterkaitan erat antar karakter dengan spiritualitas. Dengan demikian, bila sejauh ini pendidikan karakter telah berhasil dirumuskan oleh para penggiatnya sampai pada tahapan yang sangat operasional meliputi metode, strategi, dan teknik, sedangkan pendidikan akhlak sarat dengan informasi kriteria ideal dan sumber karakter baik, maka memadukan keduanya menjadi suatu tawaran yang sangat inspiratif. Hal ini sekaligus menjadi entry point bahwa pendidikan karakter memiliki ikatan yang kuat dengan nilai-nilai spiritualitas dan agama. [*]