Partai Golkar kembali bergejolak, kali ini terkait dengan desakan kader dan beberapa elit Partai Golkar yang mendesak dilakukannya percepatan diselenggarakannya Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar sebelum Desember 2019.
Desakan percepatan ini kemudian mengerucut pada kandidat bursa calon Ketua Umum Partai Golkar yang pro percepatan Munas dan Munas tetap Desember 2019. Dimana Ketua DPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) disebut-sebut sebagai representasi calon yang pro percepatan Munas, dan pada sisi lain Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto yang disebut-sebut pro Munas tetap Desember 2019.
Meskipun juga ada nama-nama lain yang muncul dalam bursa calon seperti Indra Bambang Utoyo, Ridwan Hisyam dan lain-lain. Bahkan para kandidat dan tim sukses masing-masing juga sudah mendeklarasikan diri termasuk saling klaim dukungan dari pemilik suara dalam Munas Partai Golkar. Artinya kerja-kerja politik menuju munas sudah dilakukan sampai pda tingkat terendah pemilik suara yakni di tingkat DPD II Partai Golkar.
Salah satu alasan mencuat mengenai desakan percepatan Munas ini adalah terkait dengan penurunan perolehan suara partai Golkar pada Pileg 2019 lalu. Berdasarkan Hasil Rekapitulasi KPU, perolehan suara Partai Golkar adalah sebesar 17.229.789 suara (12,31 persen), atau menurun dari perolehan suara Partai Golkar dalam Pileg 2014 yakni sebesar 18.432.312 (14,75 persen).
Dengan perolehan suara pada Pileg 2019 tersebut, Partai Golkar menempati posisi ketiga setelah PDIP dengan jumlah 27.053.961 suara (19,33 persen) dan Partai Gerindra dengan jumlah perolehan suara 17.594.839 (12,57 persen). Dengan jumlah tersebut, Partai Golkar diprediksi memperoleh 85 kursi DPR RI dari target 110 kursi DPR RI.
Disadari betul bahwa dalam kurun waktu tahun 2014 sampai dengan menjelang Pemilu 2019, cukup banyak isu-isu internal yang dihadapi oleh Partai Golkar yang tentunya berdampak langsung pada penurunan perolehan suara Partai Golkar baik dalam pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2017 dan 2018, maupun pada Pileg 2019.
Isu-isu internal tersebut diantaranya adalah dualisme kepengurusan Partai Golkar antara versi Aburizal Bakrie pada satu sisi dan versi Agung Laksono pada sisi lain. Meskipun akhirnya bersatu kembali dengan penyelenggaraan Munas Partai Golkar di Bali yang dimenangkan oleh Setya Novanto.
Ditetapkannya Setya Novanto yang notabene adalah Ketua Umum Partai Golkar sebagai tersangka oleh KPK berdampak pada gelombang konflik internal antara kubu Pro Setya Novanto dan kubu Pro Munaslub, yang kemudian berujung pada diangkatnya Idrus Marham sebagai Plt Ketua Umum Partai Golkar yang mendapatkan amanat untuk menyelenggarakan Munaslub Partai Golkar.
Dan Rapat Pleno DPP Partai Golkar akhirnya menetapkan Airlangga yang terpilih sebagai Ketua Umum definitif Partai Golkar secara aklamasi melalui rapat pleno yang digelar di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Jakarta Rabu, 13 Desember 2017. Keputusan aklamasi dicapai setelah Aziz Syamsuddin mengundurkan diri dari pencalonan sebagai ketua umum Golkar. Keputusan ini akhirnya ditetapkan melalui Munaslub Partai Golkar pada Desember 2017.
Artinya Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum terpilih menyadari betul bahwa dirinya harus “memadamkan badai internal” akibat konflik berkepanjangan, serta harus melakukan kerja-kerja konsolidasi internal menuju pemilu 2019 dengan sisa waktu konsolidasi yang sangat pendek, yakni kurang lebih dalam kurun waktu 1 tahun yakni tahun 2018. Hal ini tentunya menjadi pekerjaan berat dan membutuhkan konsentrasi, soliditas dan kerjasama dari semua pihak dari mulai DPP sampai dengan tingkat organisasi yang paling bawah.
Dengan perolehan suara pada Pileg 2019 sebesar 17.229.789 suara atau 12,31 persen yang menempatkan Partai Golkar pada peringkat ke-3 perolehan suara secara nasional dan dengan mempertimbangkan pendeknya waktu persiapan dan konsolidasi organisasi (sekitar 1 tahun), maka perolehan ini tentunya menjadi hasil dari sebuah kerja keras, kerja cerdas dan kerja nyata yang sudah dilakukan oleh Airlangga Hartarto.
Bagaimanapun konflik berkepanjangan dan badai internal yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir menjadi beban masa lalu bagi Partai Golkar dibawah kepemimpinan Ketua Umum Airlangga Hartarto.
Sebelum pelaksanaan Pileg 2019, banyak kalangan memprediksi bahwa perolehan suara Partai Golkar dibawah 10 persen. Namun melalui kerja kerasnya, Airlangga Hartanto mampu membawa Partai Golkar menjadi pemenang ketika dengan perolehan suara sekitar 12, 31 persen atau hanya turan 2 persen dari perolehan suara pada pileg 2014.
Oleh sebab itu, paling tidak ada beberapa prestasi yang harus diakui oleh semua kalangan terkait dengan kepemimpinan Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Yakni (1) mewujudkan soliditas jajaran pengurus Partai Golkar yang sebelumnya dilanda konflik internal berkepanjangan.
(2) secara efektif mampu melaksanakan konsolidasi dan koordinasi disemua level kepengurusan dalam 1 tahun terakhir untuk mendorong berjalannya semua program kerja menuju Pileg 2019. Dan untuk ini, Airlangga Hartarto mampu membuktikan bahwa perolehan Partai Golkar masih di atas 10 persen dari suara sah nasional.
Pada sisi lain, harus disadari dan diakui bahwa pelaksanaan pemilu secara serentak, baik Pileg (DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota), pemilihan DPD serta Pilpres telah berdampak pada;
Pertama, konsentrasi partai yang terbelah. Pada sisi lain harus melalukan konsolidasi dan kerja-kerja politik untuk memenangkan Pileg, dan pada sisi lain harus melakukan kerja-kerja politik untuk memenangkan Capres/Cawapres yang diusungnya. Hal ini tentunya bukan sebuah pekerjaan mudah ibarat membalik telapak tangan.
Tanpa soliditas kepengurusan dari tingkat DPP sampai dengan DPD II yang ditandai dengan kesinambungan program, maka dua tugas utama tersebut diatas, sepertinya mustahil untuk dilakukan secara bersamaan.
Kedua,pelaksanaan Pemilu 2019 secara serentak juga berdampak pada parti-partai utama pengusung Capres. Joko Widodo yang notabene adalah kader PDI Perjuangan sehingga berdampak langsung terhadap perolehan suara PDI Perjuangan. Hal yang sama adalah Prabowo yang notabene adalah Ketua Umum Partai Gerindra yang berdampak langsung terhadap perolehan Partai Gerindra dalam Pileg 2019.
Sebagaimana diketahui bahwa Pileg 2019 perolehan suara PDIP mengalami kenaikan dari 23.681.471 atau sebesar 18,95 persen pada Pileg 2014 menjadi 27.053.961 atau sebesar 19,33 persen pda pileg 2019. Hal yang dengan perolehan suara Partai Gerindra, dari 14.760.371 atau sebesar 11,81 persen pada Pileg 2014 menjadi 17.594.839 atau sebesar 12,57 persen pada Pileg 2019.
Fakta yang demikian membuktikan bahwa pemilu serentak 2019 memberikan keutungan besar bagi partai utama pengusung capres/cawapres. Seolah-olah menyebutkan bahwa kalau memilih Jokowi sebagai Capres berarti wajib memilih PDIP dalam Pileg, demikian juga kalau memilih Capres Prabowo berarti wajib memilih Partai Gerindra dalam Pileg.
Kondisi yang demikian tentunya juga berdampak pada Partai Golkar, sekaligus membuktikan bahwa tanpa kerja keras semua jajaran pengurus dibawah kepemimpinan Airlangga Hartarto sehingga bisa meraih 12,31 persen suara.