Ada yang absurd dari negeri ini, dan terus berulang dari tahun ke tahun: pemerintah berjanji memperbaiki infrastruktur transportasi menjelang Idul Fitri dan berharap para pemudik akan terlayani. Jembatan diperbaiki, jalan berlubang ditambal dan diaspal, rambu lalu lintas dicat kembali. Atau yang terbaru: menambah ruas jalan tol.
Ketika meresmikan ruas jalan tol baru Brebes menjelang Lebaran, Presiden Joko Widodo memberi harapan agar para pemudik Jawa lebih lancar sampai ke kampung halaman. Namun yang terjadi, kita tahu, sebaliknya. Macet yang gila-gilaan. Para pemudik tersiksa berhari-hari di jalanan.
Banyak yang protes, bahwa pemerintah tidak mampu mencegah dan mengantisipasi “tragedi” yang terjadi. Tapi, menurut saya, tuntutan dan protes itu tidak proporsional. Sama tidak proporsionalnya janji yang diucapkan Presiden.
Mudik, tradisi khas Muslim Indonesia, adalah fenomena yang luar biasa, terutama dari segi skala dan magnitude-nya. Pada Hari Idul Fitri, jutaan orang melakukan perjalanan serentak antar kota di Jawa, pulau terpadat di dunia.
Mudah sekali untuk bisa memperkirakan “chaos” yang mungkin terjadi ketika jutaan mobil dan motor, yang dimanjakan jalanan mulus dan luas Jakarta, berlomba masuk kota-kota lebih kecil yang jalan dan jembatannya lebih sempit. Bahkan kota-kota terkecil potensial mengalami kemacetan berjam-jam.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi kemacetan itu, namun banyak hal tidak bisa dilakukan. Dan tidak perlu dilakukan.
Mudik adalah peristiwa ad hoc, fenomena sementara, sekali setahun. Kita tidak bisa merumuskan kebijakan publik transportasi berlandaskan fenomena yang sangat khusus seperti itu. Semua data statistik transportasi sekitar Lebaran tak bisa dipakai kecuali kita hanya mau merumuskan solusi yang ad hoc dan temporer pula.
Kebijakan publik transportasi harus disandarkan pada fenomena dan tren yang luas, sepanjang tahun, dan bertahun-tahun.
Kemacetan fantastis beberapa hari lalu sebenarnya memberi kita isyarat tentang sesuatu yang lebih besar sedang terjadi. Bahwa kemacetan semakin parah dari tahun ke tahun, meski ada banyak ruas jalan tol baru dibuat. Itu juga mencerminkan problem transportasi yang makin parah baik di Jakarta maupun kota lain kita sepanjang tahun, tak hanya di musim Lebaran.
Sistem transportasi kita bertumpu pada transportasi privat, bukan publik, dan sebagian besar mengandalkan pada jalan, termasuk jalan tol yang merupakan simbol kemewahan transportasi pribadi.
Namun, makin terbukti bahwa jalan tol hanya memberi kita ilusi tentang perjalanan yang makin cepat, distribusi logistik yang makin lancar dan ekonomi yang efisien. Itu semua tidak terjadi.
Contoh janji palsu jalan tol adalah Cipularang yang menghubungkan Jakarta-Bandung. Dulu, jalan ini menjanjikan bisa meringkas waktu tempuh dari lima menjadi tiga jam saja. Memang benar pada awalnya. Tapi, kini kembali menjadi lima jam, bahkan kadang lebih lama, karena kemacetan menjelang masuk Jakarta atau Bandung.
Kereta api Parahyangan, yang dulu diramalkan mati akibat Cipularang, kini justru populer kembali karena tetap bisa menempuh dua kota dalam tiga jam.
Kita juga sudah bisa melihat dampak kemacetan makin parah di sekitar Jakarta dan kota-kota yang dilalui jalan tol Trans Jawa yang rencananya menyambung Jakarta-Surabaya. Dulu, kemacetan masuk Jakarta dimulai dari sekitar Bekasi. Kini, mulai dari Cikarang, sebentar lagi Cikampek.
Dalam beberapa tahun mendatang, kita akan melihat problem serupa muncul di jalan tol Trans Sumatra yang kini juga sedang dibangun.
Jalan tol cuma memanjakan perjalanan bermobil. Pada akhirnya hanya mendorong peningkatan jumlah perjalanan dan jumlah kendaraan. Alih-alih mempromosikan transportasi publik massal, Pemerintah Jokowi hanya meneruskan obsesi jalan tol pemerintahan sebelumnya.
Dari tahun ke tahun, pemerintahan berganti-ganti, namun kebijakan transportasi kita sebenarnya tetap sama: menuju arah yang keliru. Sistem transportasi kita tak hanya bertumpu pada jalan, tapi juga cenderung privat.
Transportasi publik massal berbasis rel (kereta api) potensial menjadi solusi. Tapi, sayang kereta api antar kota pun kini dirancang justru menjadi kendaraan elitis, hanya melayani orang kaya dengan tiket mahal. Bahkan ada pikiran konyol bikin jalur kereta cepat yang lebih mahal lagi. Bagaimana orang kurang kaya? Mereka membeli mobil murah atau motor. Dan kita sudah melihat pertumbuhan jumlahnya yang fantastis dari tahun ke tahun.
Sistem transportasi publik yang baik menuntut aspek nyaman dan murah; bukan nyaman tapi mahal. Dengan nyaman, orang kaya akan menyukainya. Dengan murah, kalau perlu gratis, orang miskin bisa menjangkaunya. Ini hanya mungkin diselenggarakan oleh publik (negara) dan dengan kaidah publik pula; bukan dikelola perusahaan negara tapi cara berpikirnya swasta/privat.
Menyediakan sistem transportasi publik yang nyaman, murah, dan (benar-benar) cepat, memungkinkan pemerintah membujuk masyarakat untuk meninggalkan transportasi pribadi: mobil dan motor.
Kalau perlu tidak cuma membujuk. Tapi memaksa. Demi kemaslahatan publik, pemerintah bisa melarang orang punya mobil atau motor seperti pemerintah bisa melarang kepemilikan senjata api. Tapi, jika pelarangan kedengaran terlalu ekstrem, pemerintah bisa membatasi kepemilikan dengan pajak yang tinggi, kalau perlu cukup tinggi sehingga tak masuk akal orang punya mobil atau motor.
Tanpa itu, transportasi di Jawa akan makin runyam dan “chaotic” tak cuma di musim Lebaran, tapi juga sehari-hari sepanjang tahun.
Pak Jokowi tidak layak dituntut memberi solusi mengatasi kemacetan mudik. Tapi, layak dituntut membuat perubahan radikal dalam kebijakan transportasi secara mendasar. Atau dia cuma akan meneruskan kegagalan para pendahulunya.
Terkait