Sabtu, April 27, 2024

Klaim Surplus Pangan Jokowi Hanya Pencitraan

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Petani mengangkut gabah dalam karung menggunakan kereta sorong saat panen di Desa Sidorejo, Wonoasri, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Rabu (7/10).
Petani mengangkut gabah dalam karung menggunakan kereta sorong saat panen di Desa Sidorejo, Wonoasri, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Rabu (7/10).

Pemerintahan Joko Widodo yang sebelumnya selalu menyatakan tahun ini Indonesia akan surplus pangan, terutama dari komoditas beras, dinilai hanya pencitraan. Pasalnya, surplus yang selalu digembar-gemborkan itu bertolak belakang dengan langkah pemerintah yang justru akan mengimpor beras dari Vietnam, Myanmar, dan Thailand sebanyak 1,5 juta ton.

Direktur Eksekutif Institute National Development and Financial (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, pemerintah dalam menangani persoalan pangan kerap tidak serius. Padahal, pangan merupakan kebutuhan dasar untuk kedaulatan negara. Jika tidak bisa menyelesaikan kebutuhan pangan, patut dipertanyakan pemerintah bisa menyelesaikan persoalan lainnya.

“Ketika pemerintah tak bisa mengurusi soal pangan, maka rakyat yang akan dirugikan. Sektor pangan dapat berimbas pada sektor lainnya. Menjadikan harga-harga kebutuhan lainnya mahal. Sebab, pangan merupakan penyumbang kontribusi terbesar inflasi,” kata Enny ketika ditemui di Jakarta, Kamis (15/10).

Dia mengungkapkan, pemerintah selama ini selalu membangga-banggakan Indonesia sejak Januari hingga Agustus mengalami surplus neraca perdagangan. Namun demikian, hal itu patut dicermati. Jika dilihat dari sektor pangan, yang mengalami surplus hanya dari satu sektor yakni perkebunan. Sementara lainnya, yakni pangan, holtikultura, dan peternakan mengalami defisit.

Pada Januari 2015 saja, misalnya, komoditas tanaman pangan mengalami defisit perdagangan yang jumlahnya mencapai lebih dari 500 juta dolar Amerika Serikat. Sementara komoditas peternakan juga mengalami defisit hingga mencapai 149 juta dolar AS dalam kurun waktu yang sama.

Selain itu, Enny juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang mengalokasikan dana untuk sektor pertanian dua kali lipat menjadi Rp 32,7 triliun dari anggaran tahun lalu. Sebab, alokasi anggaran yang cukup besar dari pemerintah itu faktanya hingga kini tak banyak memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi pertanian.

“Alokasi anggaran pertanian banyak yang tidak tepat sasaran. Banyak yang menerima anggaran subsidi itu bukan petani, melainkan industri di sektor pertanian. Akibatnya, yang merasakan manfaat tersebut bukan petani, melainkan pengusaha,” katanya. “Tak hanya itu, subsidi benih dari pemerintah, misalnya, banyak yang tidak tersalurkan. Dari 8,1 juta benih, hanya 10 persen saja yang tersalurkan ke petani.”

Karena itu, Enny merasa tak kaget jika pemerintah akan mengambil langkah impor beras untuk menutupi kekurangan kebutuhan pangan. Sebab, produksi pangan tidak ada peningkatan di kalangan petani. Menurut dia, untuk mengatasi defisit pangan, pemerintah seharusnya memberdayakan dan menyejahterakan para petani terlebih dahulu. Sebab, petani adalah ujung tombak dari keberadaan pangan untuk mencukupi kebutuhan dasar masyarakat.

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.