Presiden Joko Widodo meluncurkan tiga paket kebijakan ekonomi untuk merespons kondisi ekonomi global yang berpengaruh pada ekonomi Indonesia. Namun, beberapa kalangan menilai kebijakan itu sudah dikeluarkan tiga kali oleh para anggota kelompok 20 ekonomi utama (G20) tapi tidak ada perubahan.
“Kebijakan saat ini hasil pertemuan anggota G20. Resep yang diyakini manjur tapi pada praktinya selalu gagal. Kebijakan ini copy paste dari solusi G20 tahun 2010 (Toronto-Korea Selatan) dan 2013 (Saint Petersburg, Rusia) dan dimodifikasi baru lagi pada 2014 (Brisbane, Australia),” kata Yulius Purwadi Hermawan, peneliti G20 dari Universitas Katolik Parahyangan, Kamis (10/9).
Menurut dia, negara-negara G20 akan mengulangi kesalahan yang sama dengan persoalan yang sama. Begitu pula dengan Indonesia. Setiap pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral sedunia, pemerintah akan mengimplementasikan kebijakan tersebut dengan cepat. Sedangkan negara lain kita tidak tahu kebijakannya.
Contohnya Tiongkok yang melakukan devaluasi nilai mata uang Yuan karena tidak punya pilihan lain. Padahal, dalam pembahasan di G20 sudah ditetapkan langkah-langkah untuk mengantisipasi secara bersama. Tapi Tiongkok tidak mengimplementasikannya, sehingga negara-negara anggota G20 marah besar. “Kemarahan itu karena kebijakan Tiongkok sangat berpengaruh pada negara lain. Karena itu, komitmen negara anggota untuk melaksanakan kebijakan tersebut dipertanyakan,” katanya.
Yulius menambahkan, pemerintah Indonesia tidak memiliki solusi selain mengikuti kebijakan dari pertemuan negara perekonomian besar di dunia. “Saya tidak yakin pemerintah punya kebijakan lain. Kebijakan ini bisa lebih baik terhadap ekonomi kita atau lebih buruk.”
Selain itu, dia menilai bahwa negara-negara anggota G20 hanya dipengaruhi oleh Tiongkok dan Amerika Serikat. Sedangkan 18 negara lainnya hanya mengikuti saja. “Hebatnya negara besar berimbas pada negara-negara kecil,” ungkap Yulius.
Pendapat agak berbeda diungkapkan Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI) Rudi HB Daman. Dia mengatakan, kalau Indonesia bergantung pada solusi G20 dan negara imperialis, maka pemerintah menambah persoalan baru lagi, terutama para buruh.
“Pasti ada solusi tanpa bergantung G20. Salah satu contohnya pemerintah harus mendukung penuh sektor usaha kecil menengah (UKM), mulai dari modal, pelatihan dan pasar. Kalau modal saja pasti tidak membantu,” kata Rudi.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo meluncurkan tiga paket kebijakan ekonomi. Pertama, mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, penegakan hukum dan peningkatan kepastian usaha. Kedua, mempercepat implementasi proyek strategis nasional dengan menghilangkan hambatan yang ada serta memperkuat peran pemerintah daerah untuk mendukung program strategis.
Terakhir, pemerintah akan meningkatkan investasi di sektor properti. Pemerintah, tambah Jokowi, akan mengeluarkan kebijakan pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan membuka peluang investasi di sektor ini sebesar-besarnya.[*]