Sabtu, Oktober 5, 2024

Hukuman Mati dalam Rancangan KUHP Dinilai Tetap Bermasalah

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.
Demo tolak hukuman mati. ANTARA FOTO
Aksi demo menolak hukuman mati. ANTARA FOTO

Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengaku prihatin atas keputusan Panitia Kerja Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah terkait hukuman mati dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Dalam rancangan KUHP tersebut,  hukuman mati masih dapat dilakukan dengan cara yang khusus dan bersifat alternatif.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W. Eddyono mengatakan, pihaknya telah melihat kecenderungan DPR menerima rumusan yang ditawarkan pemerintah. Hal itu terlihat dari tidak satu pun fraksi di DPR yang menolak pasal-pasal hukuman mati.

“Menempatkan pidana mati, terlepas dari paket pidana pokok, merupakan kompromi DPR dengan pemerintah,” kata Supriyadi dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (19/1). “Ini dianggap sebagai jalan keluar bagi pihak yang menolak dan pihak yang menerima hukuman mati. Bahkan tindakan ini merupakan negosiasi antara kaum retentionist dan kaum abolisionist.”

Menurutnya, walau pilihan hukuman mati dapat dialihkan menjadi seumur hidup dengan beberapa syarat, pihaknya masih melihat ketentuan hukuman mati dalam rancangan KUHP baru akan menimbulkan permasalahan cukup besar. Misalnya dalam pasal 91 dinyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun, jika reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar, terpidana menunjukkan rasa menyesal, dan ada harapan untuk diperbaiki dan lain-lain.

Persoalannya, kata Supriyadi, jangka waktu 10 tahun untuk mempertimbangkan pengalihan pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau penjara 20 tahun merupakan jangka waktu yang sangat lama. Bahkan pemerintah seolah mengabaikan penderitaan psikis bagi calon terpidana mati.

“Masa tunda ini justru menimbulkan persoalan baru dalam bentuk death row phenomenon,” ujar Supriyadi. Fenomena ini adalah kombinasi dari keadaan yang ditemukan pada saat terpidana menunggu eksekusi mati serta menghasilkan trauma mental yang berat dan kemunduran kondisi fisik dalam tahanan.

Fenomena ini, kata Supriyadi, didapat dari kondisi menunggu hukuman mati yang lama dan kecemasan menunggu eksekusi itu sendiri, ditambah dengan lingkungan yang terbatas, aturan sewenang-wenang, pelecehan, dan terisolasi dari orang lain.

Di samping itu dalam rancangan KUHP, ternyata ada 26 pasal yang mencantumkan hukuman mati dalam deliknya. Jika dibandingkan, ancaman hukuman mati dalam KUHP sekarang ini hanya ada 16 tindak pidana yang diancam hukuman mati.

Menurutnya, pencantuman hukuman mati dalam KUHP di masa depan masih banyak meninggalkan masalah, wala dapat dialihkan menjadi pidana penjara. Ketentuan mengenai hukuman mati ini cenderung melemahkan semangat dari tujuan pemidanaan yang diorientasikan kepada rehabilitasi atau pemidanaan narapidana sebagaimana dituntut dalam masyarakat modern.

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.