Peter L Breger (1929-2017), seorang sosiolog agama berkebangsaan Austria-Amerika, pada dasawarsa 1960-an pernah meramalkan tentang kondisi agama di tengah gempuran badai modernitas. Berger meyakini, dalam menghadapi gerak zaman yang mengarah kepada modernisasi, agama pelan-pelan akan terpinggirkan. Semakin rasional cara berfikir manusia, semakin kecil dan sempit pula peran agama dalam kehidupan di ruang publik. Demikian inti dari ramalan Berger.
Kurang lebih tiga dasawarsa kemudian, ramalan Berger ini terbukti tidak benar. Faktanya, agama malah bergerak ke pendulum yang berlawanan. Alih-alih terpinggirkan, era 1990-an kita justru menyaksikan kebangkitan agama di ruang publik yang sangat semarak. Sejumlah sarjana Barat pada era itu lalu banyak berbicara tentang religious resurgence dan atau lebih khusus lagi Islamic resurgence dengan berbagai makna dan perdebatannya.
Berger mafhum akan perkembangan itu. Lalu meminta permakluman atas kesalahan analisisnya. Seorang sosiolog bisa saja salah dalam membaca arah masa depan, kata Berger, dan ia mengakui telah melakukan kesalahan itu.
Fakta tentang kebangkitan agama di ruang publik hingga kini masih menjadi tren penting. Di berbagai belahan dunia, kebangkitan agama muncul dalam beragam dimensi dan implementasi. Kurang lebih satu dasawarsa silam, Diana L Eck membaca fenomena itu untuk konteks Amerika Serikat. Di negara adidaya itu, ternyata ada gejala kebangkitan agama yang cukup menyolok. Diana menyebut fenomena itu sebagai New Religious America.
Hal yang kurang lebih sama terjadi dalam konteks Eropa. Seorang mantan anggota parlemen Belanda, Geertz Wilders, sepuluh tahun silam memproduksi sebuah film berjudul Fitna yang nyata-nyata menyudutkan Islam. Secara akademis, film itu dinilai sebagai pencitraan dan pemahaman tak terpelajar tentang Islam. Di luar soal kontroversi film itu, rupanya salah satu faktor pemicu kelahirannya adalah keresahan Wilders tentang kebangkitan Islam (setidaknya secara nominal) di Belanda.
Dalam nada yang kurang lebih sama, Tariq Ramadan (2004) memotret dinamika Muslim di Eropa dan bagaimana masa depan Islam di benua itu. Hal-hal yang menjadi perhatian Tariq adalah makna menjadi Muslim di Eropa dan bagaimana peran yang harus dimainkan oleh Muslim Eropa dalam konteks kehidupan sosial politik. Tak terkecuali persoalan identitas. Di luar semua analisis Tariq yang kompleks, hal mendasar yang melandasi semua ini adalah adanya kebangkitan peran agama di ruang publik di Eropa dengan berbagai dimensi dan variasinya.
Singkat kata, rupanya kebangkitan agama telah menjadi fenomena global. Demikian pulalah yang terjadi di Indonesia. Gelombang kebangkitan kesadaran beragama menampakkan gejala yang meningkat dari tahun ke tahun. Dalam kaitan dengan teori peminggiran peran agama di ruang publik Berger tadi, tak sedikit pula yang lalu membawanya ke dalam konteks matinya teori sekularisasi.
Jika sekularisasi dimaknai sebagai pemisahan urusan agama dari urusan dunia, maka sesungguhnya sekularisasi telah mendekati ajalnya di Indonesia. Karena, sesungguhnya, kesadaran beragama yang ekspresif dan massif telah menjadi warna dominan dalam kehidupan masyarakat Indonesia belakangan ini, dan merambah hampir semua dimensi kehidupan.
Karena itu, menjadi hal yang menarik untuk membaca ke arah mana kesadaran beragama itu akan bergerak, pada tahun-tahun di mana gejolak politik demikian dominan. Tulisan ini berargumen bahwa secara umum, arah kesadaran beragama umat Islam di Indonesia bergerak menuju ke empat titik, yakni: kesadaran yang berorientasi politik, kesadaran yang berorientasi ekonomi, kesadaran yang berorientasi ideologi, dan kesadaran yang berorientasi peradaban.
Pertama, kesadaran yang berorientasi politik. Sulit dimungkiri bahwa kesadaran beragama yang semakin meningkat di kalangan umat Islam telah menjadi daya tarik politik yang memikat. Karena itu, lalu muncul kekuatan-kekuatan tertentu yang berusaha menyeret agama dalam kancah politik. Seolah-olah berpolitik dengan atas nama agama adalah bagian dari syarat keimanan. Sehingga mereka yang tak berada dalam barisan itu, dianggap mengalami masalah dengan keimanan.
Tentu, contoh yang paling gamblang adalah aksi bela Islam berjilid-jilid yang mewarnai kehidupan politik dan agama di Indonesia belakangan ini. Aksi-aksi yang bertubi-tubi itu betapapun menamakan diri membela Islam, tetap tidak bisa menyembunyikan wajah aslinya sebagai gerakan politik.
Kesimpulan seperti ini lahir karena, jika dicermati, dari jilid ke jilid, aksi-aksi itu rupanya mengalami pergesaran agenda. Bukankah agenda awal yang utama dari aksi bela Islam itu adalah mengadili dan memenjarakan penistaan agama? Dan ketika pada akhirnya tokoh yang dianggap sebagai penista agama itu benar-benar telah dipenjarakan, mengapa aksi tak juga berhenti?
Dari fakta ini saja, amat terang aroma politik dari gerakan ini. Belum lagi jika ditambah dengan fenomena keretakan para pendukung aksi, akibat perbedaan pandangan dan sikap atas hal tertentu, untuk tidak menyebut perbenturan kepentingan.
Sesungguhnya, kesadaran yang berorientasi politik ini hanya mendiami alam fikiran segelintir elite agama yang menguasai massa lewat berbagai media. Sementara pada level akan rumput, kesadaran untuk terlibat dalam berbagai aksi itu adalah murni kesadaran membela agama. Karena itu, terdapat kesenjangan kesadaran antara elit dan massa. Pada tingkat elite, kesadaran beragama itu menjadi modal untuk pencapaian tujuan politik.
Sementara pada tingkat massa, kesadaran beragama itu benar-benar kesadaran beragama yang tidak bertendensi apa-apa, selain membela agama. Seorang teman, aktivis Islam di Kota Batu, Jawa Timur, menuturkan pengalamannya mengikuti salah satu aksi bela Islam. Menuju ke Jakarta, teman saya ini menumpang kereta api. Hal yang membuat ia terbelalak adalah tidak sedikit penumpang lain yang memiliki tujuan sama dengannya: menghadiri aksi bela Islam.
Barangkali karena rasa penasaran, teman ini bertanya kepada beberapa orang yang secara usia tergolong senior: biaya dari mana yang mereka pakai untuk mengikuti aksi ini. Sungguh mengherankan, hampir semua menjawab mereka menggunakan biaya pribadi dengan menjual barang atau kekayaan yang mereka miliki seperti hasil panen dan binatang ternak.
Patut diduga, kemauan massa berkorban materi demi mengikuti aksi-aksi itu adalah karena pada awalnya aksi-aksi itu bertujuan membela Islam dan al-Qur’an yang dianggap telah dilecehkan. Sayangnya, ketulusan massa pada tingkat akar rumput ini rupanya telah dimanipulasi untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu, yang secara arogan telah menyebut diri sebagai wakil umat Islam. Maka, dalam konteks seperti inilah, lalu bisa dimaklumi ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) merasa keberatan jika nama MUI dijadikan sebagai bagian dari legitimasi aksi-aksi tersebut.
Dengan melihat apa yang berlangsung dalam dinamika keagamaan di Indonesia, tahun-tahun mendatang, kesadaran beragama dengan orientasi politik ini akan tetap dominan dan bahkan semakin menguat. Ini mengingat perebutan kekuasaan akan menjadi warna dominan kehidupan politik di Indonesia, dan agama akan sekali lagi ditampilkan sebagai sumber legitimasi untuk menunaikan kepentingan politik kelompok tertentu.
Kedua, di luar persoalan politik, kesadaran beragama juga mewujud dalam bentuk orientasi ekonomi dengan sentimen beragama. Jika diamati, dinamika dunia bisnis dengan mengusung label agama semakin ramai belakangan ini. Dari dunia mode, makanan, kosmetik hingga properti; pelabelan simbol-simbol Islam menjadi semakin dominan dan massif.
Sesungguhnya, dari satu aspek, gejala seperti ini bermakna positif. Itu bermakna bahwa umat mendapatkan sarana untuk menjadi lebih melek wacana secara keagamaan, setidaknya dalam hal mengindentifikasi halal dan haram dalam konteks konsumsi. Atau juga dalam konteks kampanye meninggalkan unsur-unsur riba dalam setiap transaksi eknomi, misalnya, adalah sesuatu yang baik.
Sayangnya, pada saat yang sama, terjadi monopoli tafsir atas konsep agama tertentu dan kemudian identifikasi sebagai pemegang paten kualitas keagamaan. Secara tidak disadari, terjadi identifikasi kualitas keagamaan dengan merk produk berlabel agama yang dipakai. Barangkali saya berlebihan. Tetapi dalam banyak konteks sering ditemukan, jika seseorang menggunakan busana dengan merk tertentu, perasaan religiusitasnya akan meningkat atau lebih baik dibandingkan dengan jika ia memakai merk lainnya yang sudah kadung dilabel tidak syar’i. Maka, di sinilah kesadaran beragama itu berkelindan dengan orientasi bisnis dan ekonomi.
Ini belum lagi jika menyebut menjamurnya agen-agen perjalanan spiritual yang menawarkan pemenuhan kebutuhan religiusitas masyarakat. Namun, sayangnya, pada saat yang sama mereka menodainya dengan kepentingan bisnis yang terlampau menonjol, sehingga urusan bisnis menjadi utama, sementara pemenuhan kebutuhan spiritualitas menjadi agenda sampingan.
Dari sini pulalah lalu terjadi pengaburan: apakah menjalankan ibadah tertentu merupakan panggilan nurani seorang Muslim ataukah telah menjadi gaya hidup? Ini semua terjadi karena balutan bisnis dengan menumpang legitimasi agama, telah secara pelan-pelan mengubah hal yang subtil menjadi artifisial. Mengubah ritual menjadi gaya hidup.
Ketiga, kesadaran beragama yang berorientasi ideologi. Quintan Wicktorowicz, seorang peneliti dalam bidang salafisme, membuat klasifikasi kelompok salafi. Ada tiga kategori salafi yang ia identifikasi, yakni: salafisme jihadis, salafi politis, dan salafi dakwah. Ketiga tipe ini berbeda dalam hal strategi.
Salafi jihadis menganut prinsip pembolehan sarana kekerasan dalam menunaikan misi keagamaan. Sementara salafi politis, meskipun membolehkan keterlibatan dalam perebutan kekuasaan, tidak memandang kekerasan sebagai hal yang boleh terjadi dalam pencapaian misi tersebut. Sementara salafi dakwah adalah mereka yang tak berorientasi pada dunia kekuasan, dan tak pula melegitimasi kekerasan sebagai bagian dari metode dakwah. Mereka lahir untuk kepentingan agama, semata-mata kepentingan agama dalam versi yang mereka yakini.
Fenomena lahirnya kelompok-kelompok agama seperti kategori salafi dakwah ini belakangan juga turut berlomba mewarnai dinamika kehidupan beragama di Indonesia. Dibandingkan dengan dua kesadaran beragama di atas, kesadaran seperti ini justru lebih otentik. Kelompok seperti ini pada umumnya tidak memiliki agenda politik.
Kelompok dengan tipe ini juga tidak terlalu mempersoalkan keberagamaan mereka yang tidak dalam kelompok mereka, meski tetap saja memiliki kecenderungan mengajak orang lain kepada model keberagamaan yang mereka anut. Maka, kelompok ini bergerak pada level ideologis. Dan karena sikap mereka yang cenderung apolitik, hiruk-pikuk dunia politik tidak terlalu menarik perhatian mereka.
Keempat, kesadaran beragama yang berorientasi peradaban. Kelompok dengan kesadaran ini pada umumnya memiliki kesadaran kritis untuk memilah mana elemen-elemen yang substantif dan elemen-elemen yang formal dalam beragama. Dengan bahasa lain, kelompok dengan kesadaran seperti ini berusaha menghadirkan keseimbangan Islam sebagai nilai dan sebagai simbol.
Di samping itu, orientasi keempat ini berusaha melakukan refleksi kritis atas keterpurukan yang menimpa umat Islam dan kemudian berusaha mengajukan solusi untuk mengatasi persoalan-persoalan itu. Salah satu perwujudan dari orientasi ini adalah ajakan untuk memaknai Islam sebagai spirit ilmu, ilmu sebagai nilai, dan bukan semata-mata Islam sebagai identitas.
Menariknya, orientasi keempat ini memiliki irisan dengan orientasi pertama dalam konteks sikap terhadap politik, yakni orientasi keempat ini memandang pentingnya keterlibatan dalam dunia politik. Bedanya, orientasi ini memandang politik sebagai sarana memperjuangkan nilai dan bukan semata-mata untuk kepentingan kekuasaan itu sendiri.
Di samping itu, jika orientasi pertama berpolitik dengan mula-mula menjadikan simbol agama sebagai faktor paling penting, orientasi ini berusaha memainkan politik tanpa mengeksploitasi simbol. Berpolitik tanpa emosi berlebihan. Dalam bahasa Hajriyanto Thohari, seorang politisi senior Partai Golkar, berpolitik yang dibarengi dengan “kemampuan mengendalikan dan menyembunyikan emosi.”
Karena kesadaran beragama dengan corak seperti ini hanya mungkin di kalangan mereka yang memiliki kesadaran kritis tentang hakikat, makna dan tujuan beragama, maka kelompok ini tidak terlalu populer dan bersifat minoritas. Terlebih jika dibandingkan dengan orientasi pertama dan kedua, orientasi keempat ini pada umumnya tertinggal dalam memanfaatkan teknologi untuk kampanye ide di kalangan massa akar rumput.
Dengan melihat situasi yang berkembang pada wilayah dinamika keberagamaan di Indonesia akhir-akhir ini, kesadaran yang berorientasi pada tujuan-tujuan politik bersimbol agama sepertinya akan semakin mengemuka dan berpotensi menggeser kesadaran beragama dengan orientasi-orientasi lainnya.
Kolom terkait:
Ada Apa dengan Aksi Bela Islam?
Kaleidoskop 2017: Tahun Keprihatinan Beragama