Kamis, Oktober 3, 2024

In Dubio Pro Mercator? Surat Terbuka tentang Reklamasi untuk Presiden Jokowi

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.

Presiden Joko Widodo yang saya hormati,

Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih banyak atas apa yang Bapak lakukan untuk negeri ini.  Secara objektif, banyak hal positif yang sudah Bapak lakukan dalam 3 tahun memimpin Indonesia. Dan yang sangat baik dari itu semua adalah bahwa Bapak memperkenalkan kepada kami, warga negeri ini, keterbukaan informasi pembangunan.

Kini, kami terbiasa dengan membaca dashboard pembangunan, yang disampaikan dalam bahan presentasi yang dibuat dengan baik dan disebarluaskan. Kami jadi tahu bermacam perkembangan pembangunan—yang sudah maupun belum memuaskan—dan bisa memanfaatkannya untuk mengambil sikap.

Berbagai keberhasilan itu penting untuk diapresiasi. Dan kalau kita membicarakan soal ekonomi, saya kira Bapak banyak sekali membuat terobosan yang positif. Pagi ini saya membaca bahwa peringkat Ease of Doing Business kita meningkat pesat, dari 91 tahun lalu menjadi 72 di tahun ini.  Tentu, kemudahan berbisnis adalah hal yang sangat penting untuk memperbaiki situasi ekonomi yang secara global memang melesu. Ada tujuh indikator di Indonesia yang dalam peringkat buatan Bank Dunia itu dinyatakan membaik, dan secara kasat mata saya bisa melihat memang seluruhnya meningkat dengan baik.

Saya tahu, kita masih ketinggalan banyak dibandingkan dengan tetangga-tetangga kita. Pada saat kita mendapatkan peringkat 72, Vietnam ada di peringkat 68, Brunei Darussalam di 56, Thailand di 26, Malaysia di 24, dan Singapura adalah negara di mana kemudahan bisnisnya dinyatakan nomor 2 di dunia. Saya kira sangat wajar dan tepat kalau Bapak berkonsentrasi untuk terus memperbaiki peringkat itu. Konsentrasi di percepatan infrastruktur juga, saya yakin, Bapak timbang untuk kebaikan bangsa ini yang sudah berdekade sangat lambat membangunnya.

Tetapi, Pak Jokowi, saya khawatir percepatan dan kecepatan yang tinggi dalam membangun ini kadang membuat kita tak bisa melihat dengan jelas apa yang telah dan sedang terjadi.

Konsentrasi di satu atau dua bidang bisa membuat bidang-bidang lain alpa dari perhatian. Dan saya percaya itulah yang terjadi ketika Bapak menyatakan bahwa reklamasi harus dilanjutkan demi kepentingan investor yang sudah membenamkan modal di Teluk Jakarta. Bapak juga menyatakan bahwa marwah—yang berarti kehormatan, harga diri atau nama baik—hukum perlu ditegakkan di dalam kasus reklamasi, dan karenanya juga reklamasi perlu dilanjutkan.

Di titik ini saya ingin mengajak Bapak untuk tidak terburu-buru mengambil keputusan soal reklamasi. Saya sangat menghargai ketika Bapak bisa mengambil keputusan yang sangat tepat dalam kasus Semen Indonesia, di mana seluruh pihak harus menunggu terlebih dahulu hasil dari Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), sebelum tindakan selanjutnya bisa ditentukan.

KLHS adalah proses pendukung pengambilan keputusan yang bertujuan untuk memastikan bahwa aspek-aspek keberlanjutan menjadi dasar pertimbangan yang efektif dalam kebijakan, perencanaan dan program. Jadi, ketika Bapak mewajibkan setiap pihak menunggu KLHS dalam kasus semen, bahkan kemudian menelurkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS, saya sangat terkesan.

Mungkin saya terlalu naif untuk meyakini bahwa semua karut marut persoalan yang menyangkut lingkungan, dan sosial, bakal dijawab dengan “tunggu KLHS” dulu sebagaimana yang Bapak putuskan pada kasus semen; tapi saya sungguh percaya bahwa itu adalah jalan yang terbaik.

Kalau Bapak bicara soal marwah hukum, KLHS sudah dimandatkan sejak tahun 2009 melalui UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tapi, hampir semua pihak melupakan mandat itu. Hingga sekarang, entah berapa gelintir provinsi dan kabupaten/kota di republik ini yang memiliki KLHS dan membuatnya menjadi dasar perencanaan pembangunan dan tata ruang sebagaimana yang dimandatkan.

Saya kemudian mengira bahwa periode pengabaiannya akan segera selesai ketika PP 46/2016 itu Bapak keluarkan. Saya juga berprasangka bahwa akhirnya amanat konstitusi di Pasal 33 ayat 4 yang menyatakan bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” bakal benar-benar ditegakkan.

Saya melihat Bapak berkomitmen betul pada keadilan, terutama dalam pemerataan hasil-hasil pembangunan, dan berharap akhirnya pembangunan Indonesia benar-benar bakal menjunjung keberlanjutan dan berwawasan lingkungan.

Tetapi, tampaknya saya harus terkaget-kaget karena menemukan pesan-pesan yang bertentangan dengan itu dari kalangan terdekat Bapak sendiri.

KLHS yang terkait dengan reklamasi itu belum lagi selesai diverifikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tetapi salah satu pembantu terdekat Bapak, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, tanpa menunggu verifikasi KLHS itu selesai langsung membatalkan moratorium reklamasi di awal Oktober 2017. Ini membuat moratorium yang dinyatakan efektif sejak April 2016 oleh pejabat sebelumnya batal dan reklamasi ke-17 pulau itu berpeluang dilanjutkan.

Dan, mohon maaf, Bapak sendiri juga tampak segendang sepenarian dengan Pak Luhut, ketika menyatakan bahwa marwah hukum harus ditegakkan. “Ini soal kepastian hukum, soal kepastian investasi. Di mana marwah hukum kita?” Begitu kata Bapak tiga hari yang lalu. Membaca pernyataan Bapak dari sudut pandang regulasi yang selama ini saya pahami, saya benar-benar terperanjat. Soal KLHS itu hanyalah salah satu hal. Di mana marwah hukum kita kalau KLHS tak dijadikan pertimbangan dalam mengambil keputusan ini?

Tata ruang Jabodetabekpuncur sendiri memang dibuat sebelum ada kewajiban KLHS. Acuan pada Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Teluk Jakarta, Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur, sebagaimana yang Bapak nyatakan tiga hari lalu itu, memang tak ada soal KLHS. Tetapi di Perpres itu bisa dibaca bahwa Pulau C dan D yang sekarang sudah ada sesungguhnya berada di zona N1 dan P1 yang merupakan kawasan lindung dan kawasan penyangga. Apakah boleh membangun pulau yang bakal digunakan sebagai kawasan hunian?  Seharusnya tidak.

Bapak Jokowi yang baik,

Saya tahu bahwa pelanggaran atas fungsi kawasan sudah banyak sekali terjadi di negeri ini. Tapi saya sungguh berprasangka baik bahwa Bapak bukanlah termasuk orang yang mau melakukannya. Kalau kemudian banyak pihak yang berargumentasi bahwa reklamasi adalah sesuatu yang dilakukan untuk kepentingan umum dan perbaikan kondisi lingkungan—ini adalah alasan, atau mungkin dalih, yang banyak dipergunakan untuk memberi justifikasi atas reklamasi—maka Bapak bisa mengecek kembali apa yang sudah diputuskan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta atas pulau-pulau F, G, I, K.

Seluruh izin untuk keempat pulau itu dikeluarkan oleh Gubernur Fauzi Bowo di penghujung masa jabatannya tahun 2012. Tetapi, PTUN sudah menyatakan pembatalannya dengan pertimbangan “…proyek reklamasi di Teluk Jakarta dapat menimbulkan dampak lingkungan yakni adanya lumpur hasil pengerukan dan penimbunan laut yang berdampak pada usaha penangkapan ikan nelayan skala kecil. Kerusakan akan terjadi…pada tahap pra-konstruksi dan tahap operasional.”

Selain itu, majelis hakim juga menyatakan bahwa “… reklamasi bukanlah termasuk pembangunan untuk kepentingan umum sesuai dengan UU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Pembangunan untuk kepentingan umum, berdasarkan penafsiran hakim, adalah digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat banyak.”

Pak Jokowi, sesungguhnya kesalahan para pengembang reklamasi sudah berkali-kali dibuktikan, baik lewat kajian regulator lingkungan maupun di pengadilan sejak tahun 2003.

Di tahun itu Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim menerbitkan Keputusan Menteri LH Nomor 14 Tahun 2003 yang menyatakan ketidaklayakan proyek reklamasi dan revitalisasi Pantura Jakarta.  Di situ sudah dinyatakan bahwa kebutuhan atas 330 juta meter kubik pasir—untuk luasan reklamasi 2.700 hektare—akan merusak lingkungan, juga mengganggu operasional PLTU Muara Karang.  Enam kontraktor langsung menggugat Menteri Nabiel. Tetapi di tahun 2009 Mahkamah Agung (MA) memenangkan Kementerian Lingkungan Hidup, walau di Peninjauan Kembali (PK) di tahun 2011 MA memenangkan enam kontraktor.

Sepanjang 2015 kita menyaksikan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti “berbalas pantun” dengan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Perintah penghentian reklamasi dari Ibu Susi dibalas dengan pernyataan bahwa reklamasi adalah kewenangan Pemprov DKI sepenuhnya. Tetapi, perdebatan soal kewenangan itu tak membuat Pemprov DKI bisa semaunya melaksanakan reklamasi karena KLHS belum ada, tidak dibuat dengan prosedur yang benar, dan kualitasnya masih perlu diuji. Jadi, wajar kalau ditetapkan moratorium untuk mengujinya terlebih dahulu.

Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) atas pulau-pulau itu sendiri—menurut temuan KLHK di awal 2016—mutunya sangat memprihatinkan. Bayangkan, di Pulau C dan D yang secara fisik sudah ada, dari 6 kriteria Amdal yang ditetapkan KLH di tahun 2003, 5 kriteria sama sekali tidak masuk di dalamnya. Ketersediaan air, kegiatan vital yang terpengaruh, kebutuhan material urugan, keberatan PLTU Muara Karang dan PLTU Tanjung Priok, serta dampak terhadap kabel dan pipa bawah laut sama sekali tak ada di dalam Amdal.

Pak Jokowi, Amdal adalah bagian penting dari regulasi di negeri ini, untuk melindungi dan memastikan keuntungan masyarakat. Para pengembang reklamasi menganggap remeh regulasi ini. Mereka adalah pengembang yang ugal-ugalan, dan karenanya mereka tak layak mendapatkan perlindungan sama sekali. Kalau mereka dilindungi, di mana marwah hukum kita?

Hukum kita soal investasi adalah UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 16 UU tersebut menyatakan tanggung jawab investor untuk menjaga lingkungan. Pasal 34 regulasi yang sama menyatakan kewajiban investor untuk menegakkan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Apakah mereka patuh pada regulasi penanaman modal ini? Tidak, Pak Jokowi. Berada di sisi pengembang yang seperti itu, menurut hemat saya, sesungguhnya bertentangan dengan penegakan marwah hukum yang Bapak sampaikan.

Saya tidak berpikir bahwa urusan reklamasi ini sesederhana tolak atau terima, hitam atau putih.  Ragam posisinya luas sekali, dengan konsekuensi masing-masing. Tetapi pemandunya relatif sederhana. Pada 12 Desember 2013 di depan rapat dengan Komisi IV DPR, Bapak menyatakan sengaja tidak memperpanjang izin-izin pulau yang kadaluwarsa di bulan September. Alasan yang Bapak sampaikan pada saat itu adalah, “Saya ingin reklamasi menguntungkan masyarakat, bukan developer.” Saya sangat setuju bahwa manfaat buat masyarakat adalah panduan pertama dalam penyelesaian masalah reklamasi ini. Di sini pula hukum bisa menjadi jalan untuk mencapai tujuan keadilan.

Kemudian, dalam segala kerumitan hukum yang membuat kasus reklamasi ini tampak memusingkan, saya teringat pada doktrin hukum in dubio pro natura, yang kurang lebih berarti “dalam keragu-raguan, berpihaklah pada alam.” Tak ada doktrin hukum yang berbunyi in dubio pro mercator—atau dalam keragu-raguan, berpihaklah pada para pedagang, pengusaha, atau spekulan.

Karenanya, bila Bapak hendak menyelesaikan masalah ini dengan bijak, saya mengusulkan agar kebaikan untuk alam—yang diperjuangkan lewat penegakan regulasi terkait KLHS, amdal, dan izin lingkungan yang memadai secara substansial dan prosedural—menjadi panduan kedua. Lagi pula, tak ada rakyat yang bisa sejahtera di dalam kondisi lingkungan yang tak baik. Kedua panduan itu berkelindan sempurna.

Pak Jokowi yang saya sungguh hormati,

Demikian surat terbuka ini saya tuliskan, dengan kepercayaan sepenuhnya bahwa Bapak akan bisa mengambil keputusan yang bijak soal reklamasi. Saya memohon dengan sangat untuk tidak mengambil keputusan secara terburu-buru, demi kebaikan masyarakat dan lingkungan. Saya percaya bahwa hanya investasi yang baik untuk masyarakat dan lingkungan saja yang layak diundang dan dipertahankan di Republik Indonesia tercinta ini.

Teriring doa agar Bapak sekeluarga selalu diberi berkah kesehatan dan perlindungan dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Kolom-kolom terkait:

Omong Reklamasi Minus Politik

Emmy Hafild di Tengah Pusaran Polemik Reklamasi

Saatnya Jokowi Memperkuat AMDAL, demi Masyarakat dan Lingkungan

Reklamasi Teluk Jakarta: Belajar dari Reklamasi Kapuk

Kota: Reklamasi (Belajar dari Reklamasi Teluk Manado)

Ahok dan Ambisi Garuda di Teluk Jakarta

Heboh Teluk Benoa (1)

Jalal
Jalal
Provokator Keberlanjutan. Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Jakarta. Bukunya berjudul "Mengurai Benang Kusut Indonesia" akan segera terbit.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.