Sabtu, April 27, 2024

Suara USU, Ruang Kebebasan, dan Pendidikan Kita

Alex Siahaan
Alex Siahaan
Responsibility and ethics in favor of the people are often absent from the phenomenon of undirected and noisy freedom of opinion

Beberapa hari yang lalu kami berdiskusi di Sekretariat Pers Mahasiswa Suara USU. Saat itu langit terlihat mendung, seketika hujan deras segera mengguyur. Ruangan yang kini tidak memiliki atap kemudian dibasahi hujan.

Diskusi terpaksa kami hentikan sejenak menunggu hujan reda. Beginilah kondisi sekretariat PersMa Suara USU hingga saat ini setelah dibongkar oleh tukang bangunan yang didampingi oleh puluhan satpam dan pegawai Universitas Sumatera Utara (USU) pada senin, 27 Juli lalu.

Peristiwa ini adalah lanjutan dari rentetan peristiwa yang bermula dari dikeluarkannya Surat Keputusan Pemecatan semua (18 orang) pengurus Pers Mahasiswa SUARA USU (25/3) hingga kemudian perintah untuk segera mengosongkan sekretariat oleh Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Runtung Sitepu.

Landasannya, karena cerpen “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku Didekatnya” yang diterbitkan Suara USU mengandung unsur pornografi dan tidak sesuai dengan nilai bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam bingkai kebhinekaan.

Lalu kemudian argument rektor USU tersebut telah dibantah para sastrawan dan Dewan AJI di Medan dalam diskusi publik yang diadakan oleh Suara USU sehari setelah dipecatnya Pengurus Suara USU (26/3). Hasilnya, cerpen tersebut tidak memuat unsur pornografi dan menilai bahwa keputusan Rektor USU sangat keliru.

Saya pribadi berpendapat, sangat tidak tepat jika cerpen tersebut dianggap berbahaya dan harus dilarang/dihapus, apalagi orang tersebut akademisi. Bagi saya cerpen itu bentuk ekspresi empati atas sakitnya diskriminasi yang dialami orang dengan orientasi seks diluar hetero. Diskriminasi kemudian berujung pada aienasi. Penulis mampu mengabstraksikan kondisi itu dan menuangkannya kedalam karya sastra (cerpen).

Disisi lain, saya tidak tertarik membahas pro-kontra yang kemudian berkembang seperti “kebebasan bukan berarti sebebas-bebasnya dong” atau “tentang Suara USU dibawah naungan rektor jadi ya bebas rektor mau apa”, atau bahkan argumen tentang produk tulisan PersMa Suara USU itu mewakili USU secara keseluruhan sebagai institusi pendidikan apalagi membahas bahwa “lgbt dilarang agama jadi tidak boleh di USU buat begitu-begituan”. Semua wacana itu tidak sesuai konteks dan minim pemahaman.

Dilindungi Sekaligus Dilarang

Cerpen itu fiksi, metafisika. Sumbernya bisa datang dari mana saja. Mulai dari objek yang ditangkap panca indra, diproses otak hingga reaksi atau ekspresi sebagai output. Disana berlangsung aktifitas pikiran yang mampu untuk berfantasi atau memimpikan sesuatu.

Sesuatu yang tak ternilai harganya. Jika filsafat disebut sebagai the nature of knowledge, maka kebebasan merupakan the nature of life to get the knowledge. Jadi sudah seharusnya kebebasan sebagai harkat manusia dijunjung tinggi.

Kebebasan itu sebenarnya sudah dijamin dalam statuta USU mengenai kebebasan akademik. Dalam PP No. 16 Tahun 2014 Pasal 15 Ayat (1), dijelaskan bahwa Sivitas akademika USU memiliki kebebasan akademik. Hingga diperjelas dalam ayat (4) bahwa Rektor wajib melindungi dan memfasilitasi itu.

Kemudian Peraturan Senat Akademik USU Nomor 1 Tahun 2017. Dalam pasal 3 gamblang dijelaskan bahwa kebebasan mimbar akademik bertujuan untuk memberikan kebebasan dan kemandirian kepada sivitas akademik serta USU untuk menggali pengetahuan dan riset, mengkomunikasikan ide atau fakta, tanpa adanya campur tangan atau pembatasan oleh hukum, institusi, peraturan ataupun tekanan masyarakat yang tidak beralasan.

Iya, regulasi dan keputusan Rektor USU sangat kontradiktif. Kampus dengan regulasi diatas menjamin dan memfasilitasi kebebasan berpikir dan berkarya sehingga memungkinkan lahirnya salah satu cerpen ini.  Kemudian malah dilarang dan disuruh menghapus oleh pimpinan kampus. Cerpen/fiksi itu dilindungi sekaligus dilarang.

Education as Hope Atau Education as Fear

3 lembar Surat Keputusan Pemecatan itu ternyata tidak hanya beberapa lembar kertas biasa. Ia mampu mengobrak-abrik sistem organisasi dan kerja-kerja jurnalistik (peliputan) yang selama ini bertugas memberitakan fakta di USU secara berimbang dan independen.

Perintah pembongkaran sekretariat hanya satu hal. Sebelumnya terdapat intervensi kampus terhadap orangtua pengurus PersMa Suara USU, pengosongan paksa sekretariat, hingga stigma “sarang lgbt” yang ditimpakan pada organisasi ini yang masuk hingga ke ruang pertemanan Pengurus Suara USU bahkan keluarga.

Suara USU serta banyaknya kesewenangan birokrasi kampus yang di legitimasi oleh struktur kekuasan sudah seharusnya di ubah. UKM serta ormawa maupun kegiatan Mahasiswa yang lain harus dibebaskan dari “Penjajahan Birokrasi”.

Wacana “Mahasiswa harus diatur (regulasi) supaya tidak membahayakan” hanya bentuk ketidakmampuan dalam mendidik pelajar secara dialogis-membebaskan (Paulo Freirre), jadinya malah buat peraturan ini itu yang sejatinya memaksa, tidak dinamis, dan tidak kontekstual dengan kebutuhan Mahasiswa.

Sudah saatnya kebijakan yang dibuat tidak  hanya mengakomodir standard dan perspektif penguasa saja sehingga kebijakan tidak lagi menjadi momok yang menakutkan bagi Mahasiswa. Jika memang menginginkan pendidikan yang maju dan “membebaskan” harus dengan menggunakan metode yang dialogis.

Sehingga Mahasiswa sebagai pelajar tidak ada lagi rasa takut untuk berpendapat, berkarya bahkan berpikir sekalipun. Dari Mahasiswa, untuk Mahasiswa dan Oleh Mahasiswa. Sehingga Mahasiswa memandang kampus sebagai education as hope bukan education as fear.

Kasus ini masuk pada babak baru, tanggal 14 Agustus ini, sidang gugatan oleh Yael Sinaga (Pimpinan Umum Suara USU) dan Widya Hastuti (Pemimpin Redaksi Suara USU) terhadap Rektor USU, Runtung Sitepu di Pengadilan Tata Usaha Medan akan dimulai. Upaya hukum ini dilakukan dengan tujuan adanya ruang bertemu Pengurus Suara USU dengan Rektor USU untuk menyelesaikan persoalan ini, dimana sebelumnya tak pernah terwujud pasca dikeluarkannya SK Pemecatan.

Ini menjadi kesempatan untuk mengevaluasi dan memperbaiki tubuh pendidikan kita yang banyak cacatnya. Fiksi tidak seharusnya dilarang dan dipukul dengan regulasi tetapi fasilitasi ruang adu gagasan. Niscaya pendidikan kita akan maju. Kita harus siap menyambut pendidikan yang membebaskan.

Alex Siahaan
Alex Siahaan
Responsibility and ethics in favor of the people are often absent from the phenomenon of undirected and noisy freedom of opinion
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.