“Setiap kalimat yang meluncur dari bibirnya tertata rapi, punya daya magis, dan mengandung makna mendalam. Apalagi kalau bicara soal ideologi bangsa, Pancasila. Nyaris tak ada detail yang terlewat. Yudi Latif. Dia kini menjadi tokoh paling utama ‘Penjaga Pancasila’ (Taufik Saifuddin, 2017).
Ketika Yudi Latif (YL) pada 7 Juni 2018 menyematkan identitas “Dosen Universitas Negeri Yogyakarta”—bukan “Kepala BPIP”—dalam tulisan berjudul ‘Meraih Kebahagian’ di sebuah koran nasional, meski faktual, bagi saya tetap saja gejala ‘tak lazim’ itu laksana enigma. Sebab, sudah dua kali dia memberikan pesan benderang pada penulis, ‘saya akan mundur sewaktu-waktu’. Jelang subuh sehari berikutnya, penerima Nation Building (Nabil) Award 2012 itu menjawab enigmanya. Dia pamit.
Pilihan mundur YL dari jabatan sebagai Kepala BPIP mesti kita dudukkan sebagai keputusan personal yang patut dihargai. Presiden dan beberapa kalangan mengapresiasi pilihan tersebut. Beberapa yang lain menyayangkan. Apa sesungguhnya motif YL? Hingga saat ini masih misteri.
Tentu banyak spekulasi yang beredar terkait tensi politik dan interaksi elit yang rumit. Namun, penulis lebih tertarik untuk membaca secara retrospektif apa yang selama ini ‘dikerjakan’ oleh YL sebagai ‘kognitariat’ bagi pembinaan ideologi Pancasila (PIP), juga secara prospektif setelah dia melepas jabatan resmi setingkat menteri itu.
Magnum Opus
Dalam konteks itu, penulis ingin mengajak publik menengok kembali magnum opus YL. Dari deret amat panjang karya-karyanya yang jamak dan teramat maknawi bagi keagamaan, kemanusiaan, kebangsaan, dan kenegaraan, tiga buku berikut, menurut penulis, layak diatribusikan sebagai mahakarya YL.
Pertama, Buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011). Karya ini menegaskan posisi YL sebagai kognitariat kebangsaan dan pemikir superdetil mengenai Pancasila. Negara Paripurna dilahirkan dari kerja otak yang berat dan sangat serius. Wajar jika buku ini dinobatkan sebagai salah satu dari 44 buku yang paling penting dalam Pembangunan Bangsa, dalam rangka memperingati 44 tahun Media Indonesia (26/01/2014).
Dalam karya tersebut, Pancasila didekati sebagai hasil dari sebuah proses kolektif dan berjalan terus, dengan beberapa milestone, terutama Kongres Pemuda II tahun 1928, pertumbuhan pergerakan kebangsaan, persidangan BPUPK, Proklamasi dan PPKI. Di titik-titik momental itu, Pancasila dipandang sebagai sebuah proses permusyawaratan. Hasilnya Pancasila yang kita kenal saat ini, yang kemudian dalam rumusan YL, mesti disublimasi sebagai titik temu, titik tumpu, dan titik tuju—tentu dengan menyandarkan pada pemikiran-pemikiran substansial dan visional Sukarno sebagai pendiri bangsa terutama.
Kedua, Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (2014). Ikon Politik Indonesia tahun 2011 versi Majalah Gatra ini sadar bahwa banyak sekali sisi personal dan kultural yang harus ditimbang dalam memahami Pancasila. Dalam karya ini, Yudi Latif secara tidak langsung menegaskan bahwa manusia Indonesia merupakan realitas fisik yang bisa dikenali secara inderawi melalui praktek kehidupannya.
Dalam konteks itu, YL memilih untuk menggunakan pendekatan biografis yang diperluas guna memperkuat sisi otensititas Pancasila. Baginya, Pancasila bukanlah konstruksi ide semata, tetapi kombinasi utuh pemikiran dan laku hidup.
Dilihat dari substansi dan sistematikanya, Mata Air Keteladanan tampak ingin menjangkau pembaca dalam skala lebih luas, terutama generasi milenial. Jika Negara Paripurna berpretensi menguatkan kembali wawasan pengetahuan terhadap Pancasila, Mata Air Keteladanan ingin menanamkan dimensi kebijaksanaan sehingga ia tertancap dalam keyakinan, terutama bagi generasi muda, untuk mengamalkan Pancasila sebagai keutamaan dalam laku hidup mereka.
Ketiga, Revolusi Pancasila: Kembali ke Rel Perjuangan Bangsa. (2015). Mahakarya ketiga ini merupakan ranah praksis dari kedua buku sebelumnya, karena ia memetakan tentang apa yang harus dilakukan. Keunggulan pokok buku ini terletak pada elaborasinya atas Pancasila berdasarkan teori-teori sosial revolusioner. Buku ini bisa menjadi pegangan bagi kalangan aktivis sosial-politik dan gerakan revolusioner-tranformasional, mengingat Pancasila telah lama dipisahkan dari wacana revolusioner, sebab dalam tiga dekade hanya ditempatkan sebagai nilai-nilai legal normatif dan alat legitimasi kekuasaan.
Dalam buku ini, YL mendefinisikan Pancasila sesuai dengan konsepsi awal Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945, yakni Pancasila sebagai dasar filsafat (philosophische grondslag) dan pandangan dunia (weltanschauung). Dalam pencermatan YL, istilah philsophische grondslag disebut Bung Karno hanya sebanyak empat kali, sedangkan weltanschauung sejumlah 31 kali.
Pada titik ini, arti Pancasila sebagai dasar negara ialah Pancasila sebagai filsafat dasar negara. Proses mempraktikkan filsafat dan pandangan dunia melahirkan ideologi. Dalam kaitan ini, ideologi Pancasila merupakan praksis dari kombinasi nilai-nilai normatif pandangan dunia Pancasila dan konsepsi rasional filsafat Pancasila.
Secara substantif, salah satu yang paling mendasar sekaligus otentik dalam buku ini dan dalam perspektif koseptualisasi Pancasila di ranah aktualisai gerakan transformatif-revolusioner ialah ‘Skema Revolusi Pancasila’ yang bersendikan relasi ideologi di ranah mental kultural (sila 1, 2, dan 3), kombinasi relasi ideologi dan produksi di ranah politikal (sila 4) dan relasi produksi di ranah material (sila 5), untuk mewujudkan Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, sesuai cita-cita proklamasi.
Setelah Pamit
Ketiga magnum opus di atas adalah sebagian penanda tegas kiprah YL bagi PIP, sekaligus titik tumpu peran selanjutnya meski bukan sebagai pejabat formal. Terlepas dari pro kontra publik berkaitan dengan mundurnya peraih Megawati Soekarnoputri Award Tahun 2012 sebagai pejuang di bidang kebangsaan dan kebhinekaan itu, terasa simplisistik melekatkan peran ke-Pancasila-annya hanya pada jabatan Kepala BPIP. Trilogi mahakarya di atas jelas memantulkan pesan, YL akan terus memerankan lakon otentiknya sebagai tokoh paling utama ‘Penjaga Pancasila’, sebagaimana saya kutip pada paragraf inisial tulisan ini dari Taufik Saifuddin, jurnalis rilis.id.
Bagi BPIP dan pemerintah, pamitnya orang tua tunggal bagi empat anak tersebut dari jabatan kepala kudu dibaca sebagai ruang besar bagi akselerasi dua agenda. Pertama, pencarian tokoh yang ‘paling tepat’ bagi kelembagaan dan program-program BPIP. Sebagaimana ditulis YL dalam ‘surat pamitan’ yang beredar, “…perlu ada pemimpin-pemimpin baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan. Harus ada daun-daun yang gugur demi memberi kesempatan bagi tunas-tunas baru untuk bangkit.” Presiden harus mempertimbangkan mendalam sosok suksesor YL. Yang terang, dia harus sosok yang memiliki kapasitas dan integritas kepancasilaan mumpuni sekaligus memiliki kecakapan teknokratis relevan dengan kebutuhan BPIP.
Kedua, penguatan kolektivitas dalam kepemimpinan dan pelaksanaan agenda PIP. Kolektivitas yang dimaksud tentu harus dibangun berbasis nilai-nilai Pancasila dan berorientasi untuk menjadi etalase manifestasi nilai-nilai luhur tersebut.
Tabik, Kang Yudi.