Mungkin penulis adalah bagian dari mereka, pegiat dan aktivis, yang semangat dengan lantang menyuarakan keadilan, menuntut sistem pemerintahan yang transparan, dus orang-orang dengan tekat yang bulat dan spirit yang membulat memperjuangkan nasib wong cilik dan rakyat tertindas.
Alunan semangat dan jiwa patriotisme selalu tersembul, menggenangi dan membanjiri permukaan alam pikiran untuk selalu menjadi garda terdepan. Begitu merasa bahwa ‘kami-kami’ ini yang harus menjadi pelopor semangat pembaruan dan perubahan serta melawan generasi tua yang kian senja dilanda kekacauan. Tidak ketinggalan dengan pengawasan dan pengawalan hingga tuntas, hingga menyentuh grassroot.
Dinamika sosial selalu datang membawa plot-plot perubahan yang tak bisa dikalkulasi. Tanpa kabar, begitu datang tanpa menghaturkan salam. Akibatnya, gelombang ekspresi turut mewarnai. Bervariasi. Beragam. Dan saling menyemarakkan iklim sosio-histori.
Dan lagi-lagi, golongan klaim ‘aktivis garda terdepan’ yang selalu eksis di depan mata, di depan kamera, bahkan hingga merusak kenyamanan duduk para aparat negara.
Dari sekian banyak peristiwa dan isu nasional yang menyentuh iklim populis, adalah kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada bulan September. Lumrahnya, kita dan mereka menyebutnya dengan ‘SeptemberHitam.’ Memilukan, sekaligus menakjubkan. Kasus yang selalu menjadi tren tahunan—bahkan harian di kalangan aktivis HAM—harus menahan pil pahit; entah sulit diusut atau malas berujung kadaluwarsa.
Decak kagum atas semangat mereka, aktivis dan pegiat HAM, yang selalu menyuarakan dan memperjuangkan pengusutan pelanggaran HAM yang semakin usang—dan jadi catatan kelam. Usaha itu harus diapresiasi, juga dibayar dengan nilai sepadan. Seperti rindu, dendam harus dibayar tuntas. Bukan malah diabaikan, apalagi dinormalisasi tanpa ada jalan alternatif yang lebih serius.
Selebihnya, melihat realita yang kian mengalami kesenjangan, degradasi moral, krisis logika dan akal sehat, dan senjakala demokrasi yang selalu dikebiri, terlebih di masa pandemi, berakibat terhadap minim harapan akan cita menjadi negara penuh bahagia. Terlalu sulit untuk menjadi negara digdaya, apalagi negara utopia. Fana.
Negara seakan abai memenuhi hak dan kewajibannya terhadap warganya. Kewajiban akan to protect, to respect dan to fullfil seperti istilah asing dalam kamus besar himpunan, jarang terdengar di telinga apalagi dijamah oleh masyarakat awam. Secara konseptual saja sudah semrawut, jangan berharap bisa terealisasi dengan nyata, memenuhi jaminan dan kebutuhan warganya.
Tak ubahnya dengan nasib antusiasme teman-teman yang semakin tahun semakin mengalami bias dan transformasi. Tidak bisa dielak, dalam situasi apapun, dalam lanskap apapun selalu ada benang kepentingan dan kemauan. Wadah yang idealnya sebagai media perlawanan dan counter narasi, selalu ada selubung niatan ejakulasi eksistensi dan masturbasi unjuk diri.
Begitu cepat iklim berubah. Tidak bisa dicegah apalagi menolak, dan kita dipaksa untuk menikmatinya. Terjun ke dalam sumur perjuangan yang penuh lumut rintihan dan suara pembebasan. Juga naasnya, selalu membaur dengan hal-hal yang tidak diinginkan.
Melihat pagelaran peringatan September Hitam, terkadang hanyalah sebatas euforia. Terbatas seremonial, jauh dari pemahaman yang mumpuni akan isu dan kasus yang sedang hangat diperbincangkan. Mudahnya, dahulukan menyuarakan dan memperjuangkan kasus yang sedang tren, perihal memahami apalagi tahu akan substansi bisa dikompromikan di kemudian hari.
Seharusnya, catatan pelanggaran HAM yang seakan menjadi konsumsi sehari-hari, bukanlah terbatas pada seremonial September Hitam dengan ikut menyemarakkan melalui postingan yang diunggah di media sosial. Terlebih, dengan perayaan yang jauh dari kata ‘laik’ dan ‘baik.’ Foto pejuang HAM, Munir contohnya, hanya untuk menunjukkan seremonial yang sarat HAM, rela dikorbankan dengan dipajang di tengah jalan, ditabur bunga, dan disuarakan dengan orasi-orasi perlawanan, penuh bualan perjuangan.
Sangat tidak etis, jauh dari etika. Euforia berbalut glorifikasi justru mematikan eksistensi dan jati diri dari apa yang harusnya digelorakan. Sewajarnya dan tidak usah terlalu berlebihan. Atas dalih apa merayakan peringatan September Hitam dengan cara-cara yang tidak etis, minim moral apalagi demi keriaan yang temporal.
September Hitam kian kelam. Saat ini, bukan hanya perihal negara tidak bisa melaksankan hak dan kewajibannya, juga sikap warga negaranya yang terlalu semangat merayakan dan menyemarakkan hingga menabrak etika dan moral perjuangan—perlawanan. HAM bukanlah isu musiman, apalagi dirayakan dengan diunggah di postingan. Lebih dari itu, adalah kasus yang harus dikawal, diingat, dicatat, juga diperjuangkan hingga tuntas.
September Hitam kian kelam. Mudah-mudahan harapan dan semangat yang dilambungkan, tidak pupus hanya karena ulah negara dan warganya yang semakin sengkarut penuh telatah absurd.