Sabtu, April 27, 2024

Rendahnya Tradisi Tulis-menulis di Pesantren

Andreas Mazland
Andreas Mazland
Kolumnis dan pecinta kopi

Di pesantren, ada suatu kecacatan intelektual yang sudah menjadi rahasia umum, yaitu rendahnya tradisi tulis-menulis. Para santri kebanyakan dipaksa untuk menghapal -baik itu yang pesantrennya fokus pada kajian Al-quran dan hadist, maupun kitab-kitab tulisan para ulama terdahulu-, ketimbang menulis sebuah karya.

Meskipun tidak semua pesantren di Indonesia begitu, tapi untuk mencari pesantren yang juga menanamkan semangat menciptakan sebuah karya lewat tradisi tulis-menulis, rasanya sesulit mencari jarum dalam tumpukan jerami dewasa ini. Karena sudah lumrah kita temui, budaya santri di zaman ini begitu adanya. Dengan hapalannya itu, mereka lalu bercita-cita untuk menjadi guru di sebuah kampung, imam masjid, atau mentok-mentok ngabdi di pondok tempat ia menuntut ilmu.

Di tempat mereka tinggal, para santri tamatan pondok pesantren tersebut, kemudian mengajarkan hal yang sudah ia rapal selama ini pada generasi baru. Lantaran itulah kemudian, rasanya mereka bukan menciptakan sesuatu yang sifatnya lebih universal dan bermanfaat bagi bangsa mana saja, melainkan mempersempit sifat alamiah Islam yang universal.

Jikapun ada para penulis yang berlatar belakang santri, mereka tidak mendapatkan semangat menulisnya dari pesantren, tapi dapat dipastikan dari lingkungan luar, baik universitas maupun pengalaman pribadi berada di sekeliling orang yang mempunyai spirit menulis.

Padahal di Pesantren kita (para santri, termasuk saya) tau, bahwa kitab kuning, gundul, hadist, tafsir, dan sebangsanya, yang selama ini kita baca adalah hasil tulisan para ulama terdahulu. Bahkan Al-quran yang saban hari kita hapal, adalah tulisan. Sejatinya kita mengerti benar, bahwa tanpa tulisan para ulama terdahulu, maka ilmu agama mereka akan sangat dangkal sekali. Tapi anehnya, tradisi tulis-menulis tersebut justru tidak mengakar dalam kebudayaan santri di Indonesia.

Muncul sebuah pertanyaan mendasar di kepala kita semua mengapa tradisi menulis rendah di pesantren? Padahal mereka sadar, bahwa menulis adalah pekerjaan yang sangat mulia sekali. Bahkan dalam Islam, tradisi menulis, sejatinya dapat dikategorikan sebagai kegiatan amal jariyah yang tak akan pernah padam ditelan angin, dan api. Karena tulisan mampu memberikan dampak yang besar bagi manusia, alam, bahkan hewan sekalipun.

Sebagai seorang santri -atau katakanlah santri tepian, karena saat ini lebih banyak bergiat di lingkungan yang agamanya tidak sedalam masyarakat santri-, saya menerka ada dua sebab utama, mengapa tradisi menulis rendah di pesantren, pertama karena otot menulis itu memang tidak pernah dilatih oleh utadz dan ustadzah.

Kedua, motivasi untuk menulis memang tidak pernah ditanam dalam paradigma santri dan santriwatinya, berbeda dengan motivasi untuk menghapal. Para santri akan paham betul setiap balasan yang akan ia terima di dunia dan akhirat, apabila mampu menghapal al-quran sekian juz, hadist sekian buah, kitab sekian lembar, karena hampir saban waktu, ustadz dan ustadzahnya mengingatkan tentang balasan bagi mereka yang mampu menghapal sampai target yang ditentukan.

Andai saja, tulis-menulis juga diperlakukan semulia itu, maka akan banyak sekali bermunculan para penulis handal di Indonesia, sebagaimana menjamurnya para da’i dan hafidz Quran. Apalagi dalam tradisi tulis-menulis disisipkan semangat jihad -sebagaimana ulama terdahulu menuntut ilmu-, maka dapat dipastikan sekali lagi, generasi emas Islam akan kembali sebagaimana dahulu kala.

Dunia Dibangun oleh Kata-kata

Pengaruh tulisan para generasi Islam masa lampau, bukan hanya berpengaruh bagi perkembangan agama, tapi juga ilmu pengetahun, bahkan mampu merubah tatanan dunia. Lihat karya Al-Khawarizmi, yang setiap bagian dari rumus Al-Jabar-nya, dijadikan sebagai dasar membentuk teknologi internet.

Andaikata Al-Khawarizmi tidak menulis setiap rumus yang ditemukannya, maka hari ini kita mungkin tidak akan mengenal internet -hal ini diakui sendiri oleh founder Facebook, Marck Zurkerberg-. Masih banyak nama-nama penemu besar Islam lainnya, yang tak akan mungkin dapat ditulis keseluruhan dalam risalah singkat ini. Yang jelas, pada abad kegelapan di Eropa, hampir seluruh pemikir barat yang muak dengan abad kegelapan, berkiblat pada keterbukaan pemikiran orang Islam, baik yang ada di Baghdad, maupun di Kordoba (Spanyol saat ini).

Benarlah apa yang dikatakan oleh Pramodya Ananta Toer dalam bukunya, bahwa “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, maka ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Nama para penulis akan terus abadi, dan tetap kekal sepanjang zaman. Tidak peduli berapa ribu tahun yang lalu mereka wafat; karya tulis yang mereka tinggalkan, akan membuat mereka tetap hidup hingga kini.

“Dunia disusun oleh kata-kata,” adagium ini adalah bukti bahwa hampir segala bentuk kemajuan dunia -baik yang ada pada masa lampau ataupun saat ini-, terbentuk oleh susunan kata (gagasan) yang ditulis oleh para pemikir besar dunia. Bahkan karena tulisanlah, manusia diseluruh dunia berpacu-pacu untuk menjadi bangsa yang maju.

Menjadikan Masa Lampau Sebagai Pedoman

Sebagai generasi muda Islam yang pada masa lampau terkenal akan budaya menulis dan unggul dalam industri otak (kecerdasan); nama-nama besar pemuda Islam yang turut serta menyusun dunia lewat kata antara lain, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Al-Khawarizmi, Ibnu Haitham dan lain sebagainya.

Dengan semegah itu sejarah intelektual Islam di masa lalu, maka kita harus siap melanjutkan tradisi intelektual generasi Islam dalam dunia tulis-menulis tersebut, mau atau tidak mau. Apabila masa lampau dijadikan pedoman penting untuk melangkahkan kaki, supaya tegap memijak masa depan, maka semangat menulis akan tumbuh subur dalam paradigma santri seluruh Indonesia.

Pendek kata, untuk siap melanjutkan kegemilangan para penulis besar Islam di masa lampau, kita mesti cakap dalam menulis. Dan kecakapan menulis itu sendiri, bukanlah sebuah kemampuan bawaan lahir yang simsalabim abracadabra langsung jadi. Melainkan memerlukan sebuah usaha yang dibiasakan hingga menjadi rutinitas yang harus kita tunaikan setiap saatnya. Karena, sesuatu yang dibiasakan akan menjadi adat, dan sesuatu yang telah menjadi adat, akan mengeras menjadi karakter.

Andreas Mazland
Andreas Mazland
Kolumnis dan pecinta kopi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.