Perlu disadari bahwa formulasi hukum Islam hanya mengatur bagaimana kebutuhan komplementer dapat terpenuhi, dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan. Secara alami, laki-laki dan perempuan memiliki peran dan kapasitas yang berbeda, psikolog Lidz membedakan peran itu terjadi secara natural, sesuai dengan kodrat biologis, dan psikologis manusia.
Analisis terhadap intensitas dan peran antara laki-laki dan perempuan telah lama terdeteksi sejak kedatangan Islam. Meskipun hari ini banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa keberagaman aspek biologis mempengaruhi keterampilan berpikir dan peran sosial, namun secara fundamental telah disinyalir sejak era Islam awal.
Menurut analisis Megawangi, keadaan biologis manusia dianggap dapat mempengaruhi perilaku manusia. Pengaruh ini dapat disebabkan oleh kondisi fisik atau fisiologis manusia. Mereka yang berorientasi biologis mengatakan faktor genetis yang membentuk diferensiasi peran antara laki-laki dan perempuan adalah faktor dimorphism seksual yang terdapat pada homo sapiens. Di samping itu, perbedaan fisik akan memberikan implikasi yang signifikan pada kehidupan publik perempuan, sehingga perempuan lebih sedikit perannya dibanding laku-laki.
Dalam perspektif feminis, kondisi sosial masyarakat banyak mengalami ketimpangan, diskriminasi, marginalisasi, dan ketidakadilan terhadap perempuan yang berbasis pada perbedaan jenis kelamin. Dominasi peran laki-laki dan sektor publik, sementara peran perempuan terbatas dalam sektor demostik adalah konstruksi sosial, sehingga harus direkonstruksi demi menegakkan keadilan gender.
Kaum feminis mencoba merumuskan beberapa wilayah diskriminasi terhadap kondisi perempuan, yang di antaranya, juga dilegitimasi oleh agama (baca: misoginis). Rumusan yang mereka konstuksi antara lain, tentang masalah hak poligami, kualitas kesaksian perempuan, hak politik, dan hak waris. Empat hal ini penting dikemukakan di samping berkaitan dengan sejarah juga karena banyak menuai kontroversi antara kaum feminis Islam, dogma konservatif, bahkan oleh mereka yang berhaluan Islam moderat.
Pertama, kelompok feminis mengklaim bahwa pendapat yang melarang kaum perempuan menduduki posisi vital kenegaraan sama sekali tidak mendasar. Pelarangan tersebut tidak lepas dari kenyataan historis di mana mayoritas ahli hukum dan mufasir sejak dulu hingga era modern di dominasi laki-laki di tengah tradisi patriarki yang hegemonik. Teks-teks agama yang ditafsirkan pun lalu menjadi bias gender. Kaum feminis menunjukkan Al-Qur’an surat al-Taubat: 71 membuktikan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak kepemimpinan publik yang bersifat komplementer.
Kedua, kaum feminis mengatakan bahwa surat al-Nisa’: 11, yang terkait dengan setengah bagian perempuan atas lak-laki, tidak lepas dari konteks sosio-historis. Kaum feminis mempermasalahkan ketentuan 2:1 yang termasuk bentuk bagian diskriminatif. Pembagian diskriminatif tersebut disebabkan oleh adanya tatanan sosial ketika perempuan masih tidak memiliki intelektualitas dan kualitas keagamaan yang kompatibel, artinya kebutuhan perempuan terhadap materi masih sedikit sementara suami menjamin kehidupannya.
Ketiga, menurut kaum feminis, ketetapan menikahi istri lebih dari satu melukiskan superioritas atau kemenangan laki-laki yang secara tidak langsung justru akan mensubordinasikan lawan jenisnya. Hal ini mungkin karena budaya patriarki itu bersifat dogmatis, paten, dan sulit digoyahkan.
Keempat, seperti hal waris, dalam pemikiran hukum Islam, kesaksian perempuan bernilai setengah dari kesaksian laki-laki. Persaksian merupakan bentuk interaksi secara langsung dengan masyarakat luas guna memberikan informasi akurat dan mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Sedangkan perempuan dalam skala mayoritas jarang bersinggungan dengan hal itu. Hal ini didasari oleh fenomena riil perempuan yang memang karakter awalnya tidak berkecimpung dengan permasalahan ekonomi. Penalaran ini dianggap oleh kaum feminis sangat bersifat historis sementara hari ini lebih banyak yang bergulat dengan urusan ekonomi.
Problem yang dikemukakan oleh nalar kritis kaum feminis di atas, tampaknya memiliki sentuhan teori hermeneutika dalam menggugah teks dan tradisi. Mereka berangkat dari problem-problem kekinian dan mencoba mendialogkan teks dengan konteks yang pada akhirnya kebutuhan akan metode kontekstualisasi terhadap al-Qur’an menjadi penting dan dibutuhkan secara mendesak.
Penafsiran terhadap teks memang harus berangkat dari konteks kekinian yang dimaksudkan untuk mengaktualisasikan ajaran agama sesuai dengan semanagat zaman yang mengiringinya. Meski demikian, dekonstruksi terhadap teks dan tradisi perlu melihat sekaligus berdasarkan pada ketetapan-ketetapan pasti yang sudah tidak dapat dirubah sejak awal. Hal ini bukan berarti ajaran agama sangat otoriter, karena yang dibutuhkan adalah kondisi-kondisi objektif dari maksud suatu teks. Lagi pula, perbedaan peran dan tanggungjawab tidak akan mempermiskin atau menciderai posisi seseorang, makanya ia bersifat komplementer.
Islam sebenarnya tidak bertujuan mengeliminasi perempuan, tetapi mengatur sesuai dengan kondisi-kondisi alamiah manusia. Mengapa prinsip hak waris 2:1, sederhananya karena laki-laki (baca:suami) memiliki kewajiban menafkasi perempuan (istri), sementara perempuan tidak demikian, jika kemudian setara dalam arti 2:2, apakah kewajiban laki-laki menjadi hilang? Tentu tidak. Artinya bahwa ketetapan yang bersifat teknis itu harus dilihat sebagai sesuatu yang komplementer, bukan kesetaraan mutlak, tetapi saling melengkap.
Harus dipahami bahwa model penafsiran feminis sebenarnya sangat berkembang, khususnya paruh kedua abad 20. Kajian-kajian mereka tidak terbatas pada persoalan hukum Islam, meski ini tema sentral yang menjadi objek kritik, mereka bergerak lebih jauh dalam menggali khazanah keislaman yang berhubungan antara laki-laki dan perempuan.
Meski demikian, mayoritas penafsiran feminis mengkritik sentralitas laki-laki dalam menafsirkan al-Qur’an. Mereka menekankan argumentasi bahwa bias penafsiran gender yang hingga kini masih didominasi laki-laki, sebagaian besar telah membentuk paradigma pemahaman al-Qur’an dan Islam secara umum. Beberapa sarjana feminis ternama seperti Fatima Mernissi, Amina Wadud dan Asma Barlas berusaha masuk ke ruang-ruang tabu yang merupakan sebab lahirnya oposisi dari ulama tradisional.
Barlas misalnya, sangat fokus pada pengujian bagaimana umat Islam menafsirkan dan menghidupkan ajaran-ajaran al-Qur’an. Secara khusus, dia telah banyak melahirkan karya yang menguji asal-usul tafsir al-Qur’an yang bernuansa partiarkal. Barlas berpendapat bahwa ide-ide ketidaksetaraan dan patriarki yang digunakan untuk membaca al-Qur’an pada dasarnya adalah untuk menjastifikasi struktur sosial yang ada.
Barlas menelaah ulang sejumlah isu-isu tentang ketidaksetaraan dan menunjukkan bahwa ajaran al-Qur’an tidak mendukung patriarki, melainkan sangat egaliter. Dia juga mengusulkan perlunya menghindari ‘maskulinitas’ Tuhan, dan karena itu adalah hak setiap muslim untuk membaca dan menafsirkan al-Qur’an untuk mereka sendiri.