Senin, Oktober 14, 2024

Pincangnya Kaki Pendidikan Kita

fauwazar
fauwazar
Mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya & Presidium Alumni ISPE INDEF

Nampaknya attitude pelajar Indonesia tidak sedang baik-baik saja hari ini. Kondisi ini dibuktikan dengan beberapa perilaku mereka yang semakin lama semakin tidak beradab.

Beberapa waktu lalu misalnya, viral video beberapa siswa murid di suatu sekolah menengah kejuruan yang sedang mencoba memukuli gurunya sendiri. Alasan ‘bercanda’ menjadi tameng mereka semata, hebatnya sang guru mencoba menjaga nama baik sekolah dan siswa dengan mengklarifikasi kebenaran ke-bercandaan mereka.

Setelah itu di suatu perguruan tinggi terkemuka di Yogya misalnya seorang mahasiswa laki-laki melakukan pelecehan seksual kepada mahasiswa perempuan teman sejawatnya pada program KKN. Ironis, laki-laki yang seharusnya melindungi justru mencoba mencelakai teman seperjuangnya.

Bodohnya adalah kasus ini telah terjadi sejak 2017 yang hingga hari ini belum tuntas bahkan pelaku sempat ingin diwisuda. Panjang perjuangan mahasiswa akhirnya advokasi yang dilakukan telah membuahkan hasil sehingga pelaku sempat ditunda wisudanya.

Kasus-kasus seperti ini rasanya tidak baru, seolah mereka (pelaku) tidak berkaca dari kasus-kasus sebelumnya bahwa hari ini ancaman terbesar bukanlah jeratan pasal pidana melainkan labeling sosial yang akan disematkan kepada para pelaku di tengah masyarakat.

Perilaku amoral (tidak bermoral) ini yang tanpa kita sadari terus hinggap di jiwa kita dan menguasai hati dan perilaku kita. Perilaku tersebut bisa jadi muncul karena kurangnya keberkahan ilmu kita yang didapat selama proses menimba ilmu.

Naif, apabila kita mengasumsikan bahwa attitude pelajar Indonesia baik-baik saja, nyatanya tidak demikian. Memang tidak banyak kejadiannya tetapi cukup membuat kita mengelus dada. Insiden ini nampaknya harus membuat masyarakat dan para pemangku kebijakan sadar bahwa sistem pendidikan Indonesia masih ada masalah.

Bahkan bisa jadi tuntutan industri terhadap tenaga kerja terampil membuat pemangku kebijakan meningkatkan intensitas pelajaran eksakta sehingga secara tidak langsung mengurangi pendidikan-pendidikan yang bersifat humanis dan moralis.

Mata pelajaran kewarganegaraan misalnya yang menjadi simbol pembelajaran kehidupan berwarganegara hanya sebagai dongeng tidur para pelajar hari ini. Apalagi mata pelajaran agama hanya sebatas hafalan fiqih, aqidah, al-quran dan hadist di mata para pelajar (tidak buruk tetapi tidak menjawab persoalan), Seolah intisari dari masing-masing pelajaran tersebut tidak berbekas dikehidupan sehari-hari.

Belajar dari Santri

Sistem pendidikan pesantren bukan hal yang baru lagi di kehidupan saat ini. Sudah banyak lulusan pesantren yang melanglang buana baik di dunia professional, akademisi, dan birokrat tanpa harus mengalami Trade Off ilmu agama menjadi bukti nyata di tengah masyarakat bahwa pendidikan pesantren merupakan pendidikan yang lengkap. Ini menunjukan keberhasilan sistem pendidikan yang disugguhkan pesantren dapat menjadi role model bagi institusi lainnya.

Keberhasilan tersebut tidak semata-mata hanya karena pintarnya murid maupun guru tetapi lebih dari itu yakni relasi antara santri dan ustadz/kyai yang terjalin secara harmonis.

Harmonisasi yang terjalin antara santri dan kyai tidak bisa muncul seketika melainkan melalui proses waktu demi waktu. Harmonisasi itu terwujud dari patuh dan hormatnya para santri kepada kyainya bahkan seolah-olah mereka menganggap kyai mereka adalah para personil super junior. Sangking mereka mengagguminya.

Penelitian Utami dalam jurnalnya yang berjudul Komunikasi Interpersonal Kyai dan Santri Dalam Pesantren Modern di Tasikmalaya, Sebuah Pendekatan Interactional View (2018) menjelaskan berbagai contoh kecintaan santri terhadap kyainya misalnya para santri berebut menyediakan minuman kesukaan sang kyai karena ingin menyenangkan hati sang kyai dan berharap mendapatkan berkah dari ilmunya.

Sikap-sikap ini lah yang kurang dimiliki dalam hubungan antara murid dan guru saat ini, sang murid cuek terhadap sang guru dan begitupun sebaliknya. Dalam beberapa kasus adakalanya murid berprestasi terinspirasi dan termotivasi dari sang guru seolah sang guru menjadi sumber kekuatannya dalam menimba ilmu.

Apabila sang murid sudah hormat dan patuh terhadap guru dan demikian juga dengan sang guru maka kekuatan keridhaanya akan mucul secara tanpa disadari. Al hasil perjalanan hidup sang murid akan lebih lancar karena doa-doa guru di kabulkan oleh Allah SWT, Ini konsekuensi nyata apabila kita menaati perkataan guru.

Berbagi Kebahagiaan

Untuk mengurangi jarak antara murid dan guru perlu dilakukan aktivitas yang mengikat keduanya. Aktivitas tersebut bertujuan untuk mendekatkan emosional sehingga satu sama lain mengetahui isi perasaannya, dampak tidak langsungnya adalah berkurangnya sekat antara murid dan guru secara bertahap.

Misalnya dengan pengadaan camping tahunan, masak memasak, pemberian kado pada hari-hari tertentu dan sebagainya. Tanpa disadari aktivitas-aktivitas yang melibatkan tingginya intensitas komunikasi akan menciptakan kebahagian antara murid dan guru sehingga kondisi di atas akan tercapai.

Peranan orang tua juga tidak dapat dipisahkan dari rangkaian komunikasi tersebut. orang tua menjadi role model pertama yang akan dilihat seorang anak dan akan mempengaruhi proses perkembangan anak kelak.

Seorang anak yang kerap melihat orang tuanya bertengkar akan memiliki perasaan kehilangan, minim kebahagiaan dan krisis percaya diri berbeda dengan anak yang setiap hari penuh dengan kasih sayang orang tua justru lebih bahagia dan lebih percaya diri.

Proses yang terjadi di ruang lingkup keluarga akan terbawa oleh mereka di ruang kelas.  Pasti dalam satu kelas kita menemukan seorang anak yang nakal bahkan kelewat nakal misalnya mencuri, bisa jadi karena secara ekonomi keluarga anak tersebut kurang tetapi peran orang tua dalam fungsi  preventif dan persuasif harus terus diagendakan sebab kita sepakat menolak alasan ekonomi semata.

Relasi harmonis antara murid/santri dan guru/kyai menjadi kunci penting dalam proses menimba ilmu oleh sang murid. Relasi yang harmonis akan mengantarkan sang murid kepada pintu keberkahan ilmu yang akhirnya akan menciptakan masa depan yang cerah. Tetapi sebelum berangkat kepada relasi tersebut ada baiknya relasi antara anak dan orang tua harus terjalin secara harmonis terlebih dahulu.

Hubungan keluarga yang harmonis akan membentuk karakter anak yang baik secara batin jasmani dan rohani. Selain itu doa kedua orang tua menjadi obat mujarab pertama kali bagi sang anak untuk masa depannya. Apa yang terjadi hari ini seakan-akan terlepas dari peristiwa masa lalu nyatanya tidak justru apa yang terjadi hari ini merupakan rangkaian kecil yang tersusun kembali pada dimensi dan ruang yang berbeda.

Terakhir, Sekali lagi pepatah mengatakan bahwa “buah tidak akan jatuh jauh dari pohonya” harus terus direnungkan para orang tua, lagi-lagi kita percaya bahwa apa yang kita dan mereka tunjukan hari ini merupakan tunaian yang di tanam di masa lalu, segera berbenah menuju pendidikan yang lebih baik, memangnya kita masih mau melihat pendidikan kita pincang?

fauwazar
fauwazar
Mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya & Presidium Alumni ISPE INDEF
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.