Jumat, April 19, 2024

Perempuan Tani dalam Pusaran Patriarkisme

Firdarainy Nuril Izzah
Firdarainy Nuril Izzah
Mahasiswa Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Peminatan studi pada Tata Kelola Sumberdaya Alam, dan Lingkungan.

Peradaban panjang Indonesia sebagai negara agraris melahirkan penduduk yang mayoritasnya menekuni pertanian dan terkonsentrasi di wilayah pedesaan. Menjadi petani tidak hanya ditekuni oleh golongan laki-laki, namun juga perempuan.

Saat memikirkan perempuan tani, seringkali yang terlintas dalam pikiran kita adalah mereka, baik itu istri maupun anak perempuan yang menjadi tenaga kerja tambahan dalam suatu rumah tangga petani. Ini bisa dikatakan benar karena kebanyakan perempuan tani hanya menjadi buruh di atas lahan garapan rumah tangganya sendiri, bahkan usahanya hanya dianggap sebagai sebuah bantuan yang tidak perlu diupah.

Curahan waktu kerja perempuan tani umumnya tidak menentu karena tenaga kerjanya dibutuhkan hanya pada aktivitas pertanian tertentu yang dianggap cocok untuknya. Dengan ini, bisa dibayangkan bagaimana sulitnya mereka untuk mempertahankan keberlanjutan nafkahnya.

Selain itu, isu beban kerja ganda juga menjadi masalah yang dihadapinya. Hal ini terlihat pada kebiasaan perempuan tani yang ditugaskan sebagai pembuat perbekalan makanan untuk para penggarap lahan rumah tangganya, sementara dia juga harus menjadi tenaga kerja disana.

Tidak mengherankan jika UNDP menyebutkan bahwa kemiskinan memiliki wajah perempuan dalam laporannya tentang pembangunan manusia pada tahun 1995. Hingga seperempat abad berlalu, kemiskinan masih menjadi pewarna kontras yang membedakan antara perempuan dan laki-laki di Indonesia.

Ketidakadilan ekonomi yang dialami perempuan tani telah menjerumuskannya pada kondisi miskin. Tingginya kemiskinan di desa yang menyentuh angka double digit 13,10 persen menurut laporan BPS pada periode Maret 2021, besar kemungkinan disumbangkan oleh kemiskinan yang dialami perempuan tani.

Dalam kehidupan di bawah kapitalisme, kepemilikan asset ekonomi dinilai sangat menentukan posisi individu dalam masyarakat. Dengan demikian, menjadi wajar jika perempuan tidak memiliki kekuatan untuk mengatur dan mempertahankan kedudukannya. Sama halnya perempuan tani yang tidak memiliki moda produksi pertanian, maka yang bisa dilakukannya adalah hanya sebagai penjual tenaga kerja atau sekadar ikut suaminya dalam bertani.

Patriarkisme agraris

Kemiskinan yang dialami perempuan tidak jauh dari masalah ketimpangan penguasaan modal. Ini dapat dilihat pada lingkup paling kecil, yakni rumah tangga. Tanah merupakan aset berharga dalam usahatani. Perempuan di dalam rumah tangga petani seringkali tidak mendapatkan akses dan kontrol terhadap tanah sebagai modal nafkah utama. Keputusan-keputusan atas tanah, seperti kepemilikan, pemilihan komoditas, sewa-menyewa hingga jual-beli umumnya dilakukan oleh petani laki-laki, dalam hal ini suami sebagai kepala rumah tangga.

Hal yang sama terjadi pada penguasaan input produksi lainnya. Selain itu, dalam hal pembagian kerja, petani perempuan telah di-cap untuk mengerjakan aktivitas tertentu yang dinilai feminin dan sesuai untuk golongannya. Karena itu juga pembagian upah perempuan menjadi lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Dominasi peran laki-laki dalam praktik patriarki terasa begitu kuat dalam kehidupan agraris di pedesaan. Ironisnya, praktik subordinasi hingga marginalisasi perempuan semacam ini lazim dilakukan. Secara de jure, masyarakat telah lama menerima laki-laki sebagai kepala rumah tangga karena dinilai merupakan konstruksi sosial yang ideal.

Tidak hanya itu, implementasi program pembangunan pertanian yang diberikan oleh pemerintah juga masih bias gender. Sebut saja program Revolusi Hijau yang memberikan dampak sampingan sampai saat ini, yakni maskulinitas teknologi sehingga pertanian dengan intervensi mesin canggih hanya dioperasikan oleh petani laki-laki. Karena itu, laki-laki dianggap lebih intelektual dibandingkan dengan perempuan. Perempuan yang tidak memiliki moda produksi semakin dieksklusi dengan tidak diberikannya akses terhadap pengembangan kapasitas diri.

Pembangunan Gender and Development (GAD) sebagai solusi

Pemerintah telah mengupayakan pembangunan responsif gender melalui pengarusutamaan gender (PUG), yakni strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender dalam perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Tetapi, selama ini pembangunan gender masih menggunakan pendekatan Women in Development (WID) maupun Women and Development (WAD) yang masing-masing sebatas mencapai tujuan praktis untuk mengintegrasikan perempuan dalam pembangunan.

Sementara ketimpangan dalam relasi perempuan dan laki-laki tidak begitu dijadikan fokus perhatian. Pembangunan gender pada akhirnya berjalan masing-masing dalam bentuk program untuk laki-laki dan program untuk perempuan. Padahal makna responsif gender dilakukan untuk dapat mendudukkan laki-laki dan perempuan agar memiliki kesempatan partisipasi yang setara dalam menerima manfaat pembangunan.

Atas dasar ini, kemiskinan yang dialami oleh perempuan tani akibat patriarkisme agraris dapat diakhiri dengan pembangunan menggunakan pendekatan baru, yakni Gender and Development (GAD) yang berfokus pada penyelesaian ketimpangan relasi antara perempuan dan laki-laki. Bentuk implementasinya dapat dilakukan dalam setiap kegiatan pembangunan pertanian. Misalnya pada Focus Group Discussion (FGD), harus bisa merepresentasikan pandangan dan aspirasi kedua golongan baik laki-laki dan perempuan.

Perempuan yang sering ditempatkan dalam posisi inferior dan dianggap tidak pantas menyampaikan pendapat harus diberikan dorongan untuk mampu bersuara. Ini dapat dicapai dengan syarat adanya dukungan dari golongan laki-laki. Dengan interaksi saling mendukung dan memberikan kesempatan semacam ini diharapkan dapat menimbulkan kebiasaan relasi yang berkesetaraan gender dalam jangka panjang. Masalah kurangnya kepemilikan moda produksi yang dialami perempuan tani dapat diakomodir dengan pengadaan bantuan secara fisik, misalnya sebidang tanah pertanian yang diagendakan dalam reforma agraria.

Patriarkisme agraris yang membelenggu perempuan tani merupakan masalah dasar ketimpangan gender di pedesaan. Ini kemudian juga telah berkontribusi besar pada tingginya kasus kemiskinan desa. Peralihan pendekatan pembangunan menggunakan Gender and Development (GAD) pada setiap agenda pembangunan pertanian serta dukungan dari berbagai pihak dapat menjadi solusinya.

Firdarainy Nuril Izzah
Firdarainy Nuril Izzah
Mahasiswa Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Peminatan studi pada Tata Kelola Sumberdaya Alam, dan Lingkungan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.