Senin, Desember 9, 2024

Membebaskan Perempuan dari Digdaya Lelaki

Hascaryo Pramudibyanto
Hascaryo Pramudibyanto
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi pada FHISIP Universitas Terbuka
- Advertisement -

Kedigdayaan kaum pria sudah dan makin teruji dan terbukti. Dugaan oknum TNI yang jadi otak percobaan pembunuhan di Kota Semarang, ditambah lagi dua wanita yang dihabisi nyawanya menggunakan dongkrak besi di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Dan pelaku kedua kasus tersebut, diindikasikan sebagai keluarga dekat korban, sebagai suami dan kakak. Apakah itu semua penting buat kaum lelaki? Puas? Jadi makin macho, kalau sudah bisa menindas perempuan?

Percobaan pembunuhan terhadap perempuan – yang juga isteri oknum TNI tadi – sudah dilakukan beberapa kali, dengan cara diracun, dicuri barangnya, hingga disantet. Namun ketiga upaya itu masih perlu dilakukan pendalaman, agar semakin jelas motifnya. Meskipun sudah disinyalir ada dugaan hubungan asmara dengan wanita lain, namun ketegaran pacar oknum TNI untuk tidak ikut melarikan diri, perlu diapresiasi. Ada sedikit keyakinan bahwa sang pacar sebenarnya tidak menghendaki adanya percobaan pembunuhan tadi. Ini juga perlu didalami lagi.

Andai sama-sama gelap mata, tentu si pacar sudah mengiyakan ajakan pria itu. Dia, karena saking cintanya, seharusnya mau saja diajak pergi. Tapi ini malah bergeming, tetap tinggal di rumah, dan membiarkan pacar lelakinya hilang belum ditemukan. Ini artinya, lapisan cinta yang disemikan pada diri lelaki yang dipacarinya, sebenarnya hanya sebatas ingin jadi teman dekat, sedikit mengganggu, dan bukan untuk mengambil hati seutuhnya. Sepertinya bukan itu niatnya.

Catatan yang diberikan oleh Spring menunjukkan bahwa dalam konteks filosofi, cinta adalah semua yang berkualitas baik, mewarisi kebaikan, kasih sayang, dan rasa welas asih. Mungkin saja yang dilakukan oleh pacar oknum tadi adalah sebatas kebaikan dan kasih sayang. Niatnya hanya ingin berbagi cerita, menampung alasan kedukaan, dan memberikan perhatian. Tapi tidak untuk menggaet sikap welas asih yang berpotensi akann merusak hubungan sah sang lelaki.

Celakanya, sebagian kaum pria menilai bahwa kebaikan dan kasih sayang adalah wujud cinta yang sebenarnya dan harus direspons. Pria belum tentu sadar bahwa ini adalah jebakan yang bisa membutakan dan membuyarkan segalanya. Betapa tidak emannya pria ini hingga harus melakukan percobaan pembunuhan pada isteri sahnya, dengan menafikan sejarah.

Ya, sejarah tentang dirinya yang – mungkin ketika dulu mau menikah – belum tercatat sebagai anggota TNI. Mungkin saja di saat seleksi masuk ketentaraan, ada doa terselip dari calon isteri agar calon suaminya bisa lolos, hingga membanggakan keluarganya. Gelap mata? Ada yang menilai demikian, sebab rasa cintalah yang bisa merontokkan semua ambisi. Ambisi untuk memiliki sesuatu yang baru, hal baru, atau yang berparas menawan tanpa memikirkan logika layanan sebagai pasangan hidup yang prima. Semua akan kabur begitu saja ketika cinta sudah membuncah dan menguasai ego.

Teori Spring tentang kasih sayang, masih bisa disematkan di dua kasus tadi. Yang di kasus Semarang, kasih sayang terhadap isteri sah dan anaknya hilang lenyap, dikuasai oleh keinginan agar bisa meminang yang baru. Adapun di kasus Banyuasin, pelakunya diduga sakit hati sebab pacarnya ternyata menjalin asmara dengan kakak kandungnya yang sesama perempuan. Ajakan untuk menghabisi nyawa dua perempuan tadi pun berhasil dengan cara menggepukkan dongkrak besi di kepala. Sadis dan tak ada rasa takut.

Dua sikap terakhir itulah yang kadang menancap kuat pada ego pelaku, baik lelaki maupun perempuan. Khusus di tulisan ini, hanya pria yang dibahas, sebab seharusnya kaum pria lebih dominan dalam penguasaan logika dibandingkan perempuan. Tapi nyatanya tidak. Para pelaku pria justru ingin menunjukkan kedigdayaannya dengan olah fisik yang tak karuan bentuknya.

Pengakuan para pelaku kasus di Semarang malah bikin geleng-geleng kepala. Mengetahui isterinya ternyata masih hidup, si otak pelaku malah justru meminta eksekutornya mengulangi sekali lagi tembakannya ke arah isterinya dan memastikan bahwa isterinya ‘harus’ tewas. Ini apa-apaan lagi, kok ya masih ada kesempatan dan keinginan belahan cintanya harus meregang nyawa saat itu juga.

Ada masalah apa sebenarnya di keluarga ini? Otak pelakunya pun sudah siap dengan dana segar ratusan juta rupiah untuk upah sadis ini. Dari mana bisa mengumpulkan uang sebanyak itu? Tapi maaf, silakan saja sih, mau dari mana asal uang itu. Tapi yang jelas dan mengherankan, adalah ketegasan otak kasus ini yang menginginkan sang isteri wajib tewas.

- Advertisement -

Entah apa yang merasuki kaum pria hingga bisa sesadis ini, perlu kajian mendalam lagi. Harusnya kaum pria bisa lebih lembut daripada perempuan, tapi bukan letoy. Bukan itu maksudnya. Perlu ada treatment khusus buat pria yang bisa menundukkan ego agar mereka tak lagi punya keinginan bahkan berpikir kriminal terhadap keluarganya. Dari mana ini semua bisa dimulai, ada baiknya kaum perempuan juga mengambil peran dan menjaga sikap guna mendinginkan suasana rumah. Semoga bisa.

Hascaryo Pramudibyanto
Hascaryo Pramudibyanto
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi pada FHISIP Universitas Terbuka
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.