Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) merupakan tonggak penanda proses reformasi perpajakan untuk mendorong sistem perpajakan yang lebih adil, mudah serta akuntabel.
Sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Nomor 7 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan ini, dijelaskan bahwa tujuan utama disahkannya undang-undang ini adalah untuk membangkitkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan membantu percepatan pemulihan perekonomian.
Tujuan utama reformasi Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam UU HPP adalah untuk membentuk sistem PPh yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum sehingga dapat memperluas basis pemajakan serta dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Upaya ini dilakukan dengan tetap menjaga keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat luas dan dinamika perekonomian di masa depan yang berkelanjutan.
Terdapat banyak perubahan yang diatur dalam UU HPP. Antara lain, perubahan pada Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, Undang-Undang Cukai serta mengatur program pengungkapan sukarela dan pajak karbon. Salah satu hal yang ditambahkan dan menarik untuk dibahas adalah terkait ketentuan Bantuan Penagihan Pajak Antarnegara dalam UU HPP.
Bantuan penagihan pajak merupakan fasilitas bantuan penagihan pajak yang terdapat di dalam perjanjian internasional yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara atau yurisdiksi mitra secara resiprokal untuk melakukan penagihan atas utang pajak.
Pelaksanaan bantuan penagihan pajak ini meliputi pemberian bantuan penagihan pajak dan permintaan bantuan penagihan pajak kepada otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra. Jadi apabila terdapat wajib pajak yang memiliki utang pajak yang tercantum dalam ketetapan pajak dan Wajib Pajak tersebut tinggal di luar Indonesia, maka DJP dapat bekerja sama dengan yurisdiksi tempat Wajib Pajak berdomisili untuk membantu menagihkan utang pajak tersebut.
Indonesia sendiri sebelumnya telah mengimplementasikan bantuan penagihan dengan yurisdiksi mitra, namun pengaturannya masih belum termuat dalam undang-undang.
Saat ini Pemerintah Indonesia telah memiliki aturan domestik pelaksanaan bantuan penagihan, namun hanya sampai pada level peraturan menteri keuangan dan peraturan direktur jenderal pajak yaitu diatur melalui PMK-189/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak Atas Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar dan PER-42/PJ/2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Bantuan Penagihan Pajak Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Indonesia saat ini telah memiliki perjanjian kerja sama terkait bantuan penagihan melalui P3B dengan Aljazair, Amerika Serikat, Armenia, Belanda, Belgia, India, Laos, Filipina, Mesir, Suriname, Yordania, Venezuela, dan Vietnam. Selain melalui P3B, Indonesia juga telah menandatangani Mutual Administrative Assistance Convention in Tax Matter (MAAC). Pada MAAC, terdapat 46 negara mitra yang sepakat untuk secara resiprokal saling memberikan bantuan dalam melakukan penagihan pajak.
Meskipun pengaturan terkait bantuan penagihan pajak sudah disepakati dalam P3B dan MAAC, namun bantuan penagihan pajak yang saat ini dilaksanakan belum sampai pada tindakan penagihan aktif atau terbatas pada penagihan pasif saja. Karena ketiadaan pengaturan setingkat undang-undang dalam hukum domestik yang mengaturnya.
Melalui penambahan klausul bantuan penagihan pajak dalam Pasal 20A UU HPP, diharapkan upaya bantuan penagihan dapat diimplementasikan lebih efektif dalam melakukan penagihan secara aktif bagi penunggak pajak yang keberadaannya aset dan domisilinya berada di luar negeri.
Pengaturan mengenai bantuan penagihan sangat diperlukan untuk mendukung upaya penegakan hukum bagi Wajib Pajak. Ketika Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak berada di luar wilayah Indonesia dan memiliki aset yang berada di luar negeri, penagihan yang dilakukan otoritas pajak dianggap sebagai suatu pelanggaran.
Selain itu, dalam beleid sebelumnya terdapat kelemahan dimana pada peraturan sebelumnya dianggap belum mampu mengakomodasi permintaan bantuan penagihan yang dilakukan oleh otoritas pajak di negara atau yurisdiksi lain. Padahal bantuan penagihan yang dilakukan bersifat resiprokal. Apabila Indonesia tidak dapat membantu permintaan penagihan yurisdiksi lain, Indonesia juga tidak akan mendapatkan bantuan yang sama jika meminta bantuan permintaan penagihan kepada yurisdiksi mitra.
Selain itu, melalui pengaturan bantuan penagihan di UU HPP dapat menjadi payung hukum dalam proses penagihan aktif atas aset Wajib Pajak di luar negeri. Kondisi sebelumnya, penagihan aktif melalui penyitaan aset di luar negeri tidak mungkin dilakukan oleh DJP karena dasar hukum penyitaan aset hanya berlaku di wilayah Republik Indonesia saja. Namun demikian dengan adanya pengaturan bantuan penagihan oleh yurisdiksi mitra di UU HPP, dapat membantu DJP untuk menagih utang pajak aset Penangung Pajak di luar negeri.
Namun yang perlu diperhatikan oleh DJP adalah bantuan penagihan global ini berlaku sesuai dengan prinsip resiprokal. Sebagai contoh Indonesia akan menyita aset Wajib Pajak di Singapura, namun ternyata Singapura tidak memiliki kerja sama penagihan pajak dengan Indonesia baik di dalam P3B maupun di MAAC. Sehingga prinsip tersebut tidak dapat dilakukan dan tanpa ada bantuan penagihan dari Singapura dikhawatirkan potensi pajak yang digali tidak terlalu signifikan.
Mengingat berdasarkan data deklarasi aset luar negeri saat amnesti pajak saja, harta Wajib Pajak Indonesia di Singapura mencapai Rp766,05 triliun. Sehingga DJP harus dapat memanfaatkan klausul bantuan penagihan yang telah tercantum dalam UU HPP agar memberikan hasil yang signifikan dan optimal. Alih-alih sebaliknya DJP malah disibukkan oleh adanya permintaan dari negara mitra sehingga tidak maksimal dalam menggali potensi pajak dan melakukan kegiatan penagihan aktif dalam negeri