Senin, April 29, 2024

Modernisme Islam Cak Nur (3)

Yudhi Andoni
Yudhi Andoni
Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang.

Intelektualitas Islam

Organisasi-organisasi seperti Masyumi, Parmusi, atau ormas lain yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial bagi Cak Nur dapat membentuk keterpaduan antara keislaman dan intelektualitas sebagai tuntutan zaman (masa Orba) agar secara konsisten mendasarkan persoalan negara dalam naungan Pancasila. Secara gamblang Cak Nur menyebutkan,

“…bahwa kami, bersama dengan banyak orang di Indonesia ini, berpendapat bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sila primer dan sumber Pancasila. Sedangkan kongkretisasi kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa ialah kembali kepada ajaran-ajaran-Nya, dalam hal ini agama Allah (Islam). Dan lagi, keislaman merupakan milik nasional kita yang paling banyak berpengaruh. Barangkali inilah yang disebut ideology-oriented. Dan kita akan mempertahankan kebebasan kita berideologi, sebab hal ini termasuk kebebasan menganut keyakinan, asalkan konsisten dengan dasar negara (Pancasila)”.

Antara orientasi ideologi masyarakat muslim dan Orde Baru yang berdasarkan orientasi program, dipandang Cak Nur tidak bertentangan satu sama lain. Namun, justru orientasi program pembangunan Orba harus didasarkan kepada ideologi atau keyakinan, sebab jika tidak negara akan terjerumus ke dalam jurang “tujuan menyucikan cara”, atau tidak ada lagi pertimbangan halal-haram asalkan tujuan tercapai.

Kuatnya pemaksaan orientasi program oleh pemerintah Orde Baru dan penyerangan motivasi politik para pemimpin Islam sebagai dasar pembenaran modernisasi dalam rangka perombakan struktur politik Indonesia merupakan tindakan menghalangi perkembangan Islam yang tengah tumbuh.

Cak Nur juga menegaskan warisan ketidakberesan kehidupan politik Indonesia zaman Orde Lama bukanlah disebabkan orientasi ideologi umat Islam untuk menolak modernisasi dan keinginannya menerapkan nilai-nilai keislaman. Ketidakberesan tersebut justru disebabkan setengah hatinya sistem demokrasi dijalankan pemerintah yang berkuasa waktu itu.

Bila demokrasi hendak diwujudkan di Indonesia dan merupakan suatu bentuk pemerintahan yang representatif, kalaupun bukan oleh seluruh rakyat, maka sistem tersebut berjalan timpang dengan dihalang-halanginya umat Islam sebagai mayoritas berperan aktif menentukan jalannya pemerintahan di negeri ini.

Bagi Cak Nur sendiri terdapat kelompok-kelompok dalam masyarakat yang terus merongrong peran aktif kaum Muslim dalam pemerintahan Indonesia. Mereka ini adalah kelompok minoritas yang selalu mencap kaum muslimin anti-modernisasi, anti pembangunan, serta anti Pancasila. Dan menurut Cak Nur, mereka inilah yang patut diduga sebagai sebagai kaum Islamo-phobia dan kelompok Snoukisme.

Snoukisme merupakan istilah Cak Nur memberi predikat sekular pada intelektual muslim atau non-muslim yang menyerang umat Islam sebagai anti Pancasila dan modernisasi.

Snoukisme tersebut merujuk pada, pertama, dari segi pendidikan mereka adalah sisa-sisa strata sempit bangsa Indonesia yang tumbuh dalam alam pendidikan Belanda, kedua, dari sudut lingkungan sosial mereka berasal dari sejumlah kecil masyarakat Indonesia yang keluarga-keluarganya terlibat dalam pemerintahan kolonial Belanda. Kedua faktor pembentukan intelektual tersebut tidak bisa dipisahkan dari nasehat ahli keislaman Belanda, Snouk Hurgronje.

Snouk Hurgronje menasihati pemerintah kolonial Belanda harus mengembangkan sikap netral terhadap Islam sebagai agama, dan sikap keras-tegas terhadap Islam sebagai gerakan politik sekaligus merangkul kelompok priyayi atau bangsawan Jawa. Oleh sebab itu, intelektual bikinan Snoukisme ini dilihat Cak Nur sangat sinis kepada Islam. Jadi kecam Cak Nur, mereka adalah manusia-manusia yang kehilangan harga dirinya sebagai orang Islam atau Indonesia, dan berusaha sok modern dengan membelandakan diri.

Kelompok ini, dikuatirkan Cak Nur, justru tengah menyusun strategi mengeksploitasi umat Islam oleh keberadaan mereka yang strategis di dalam pemerintahan lewat ide modernisasi. Untuk itu, Nurcholish Madjid mengingatkan, umat Islam mesti bisa memetik hikmah di balik kekalahan dan keterasingan politik mereka tersebut.

Segala apriori dan ancaman yang dirasakan sebagian kelompok dalam masyarakat akibat warisan penjajahan kolonial sampai hari ini yang terus menyudutkan perjuangan Islam, mesti sesegera mungkin dihilangkan oleh umat Muslim Indonesia. Belajar dari pengalaman diri sendiri dan orang lain, disebutkan Cak Nur sebagai perbuatan terpuji.

Masyarakat muslim mesti memperbaiki kekurangannya, terutama menyangkut manifestasi nilai-nilai keislaman dalam masyarakat dengan cara yang elegan. Kekurangan tersebut dapat dikoreksi dengan memformulasikan kebenaran ajaran Islam lewat, tidak saja mengusung nilai normatif atau “apa yang seharusnya”, tapi juga bersifat operatif atau “apa yang dapat dikerjakan” dalam ruang dan waktu tertentu. Dengan demikian, perwujudan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam menjadi nyata dalam masyarakat Indonesia.

Yudhi Andoni
Yudhi Andoni
Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.