Mendengar kalimat “Habis Gelap Terbitlah Terang”, pemikiran kita mengarah pada sosok R.A Kartini. Karya yang terangkum dalam Habis Gelap Terbitlah Terang menggambarkan sosok Kartini sebagai pejuang perempuan. Pejuang yang menekankan pentingnya perlindungan dan pendidikan bagi kaum perempuan.
Terlahir dari keluarga ningrat yang selalu menanamkan pendidikan modern pada anak-anaknya, Kartini tumbuh menjadi seorang warga bangsawan Jawa yang meyakini bahwa pendidikan bagi perempuan sangat penting. Pendidikan kaum perempuan yang dapat memberi kemajuan bagi manusia, seminimalnya kemajuan bagi masyarakat Jawa. Kartini muda tumbuh sebagai seorang perempuan yang mandiri.
Semasa lajang, Kartini berhasil menghasilkan gagasan luar biasa yang dituangkan dalam sejumlah karya tulis. Salah satunya “Upacara Perkawinan pada Suku Koja” yang terbit di Holandsche Lelie di saat usia beliau 14 tahun. Selain itu, Kartini juga melahirkan ide-ide yang dituangkan dalam surat menyurat kepada kerabat penanya. Kumpulan surat menyurat itu dibukukan dalam satu buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang hingga kini dikenal oleh pelajar.
R.A Kartini adalah sosok cerdas yang memiliki gagasan atau pemikiran untuk cerdas, maju, dan modern. Kecerdasan seorang Kartini tergambarkan dari aktivitas surat menyurat kepada kerabat penanya.
Estella H.Zeehandelaar dan Ny. R.M Abendanon merupakan kerabat pena yang tidak pernah terlupakan oleh Kartini. Betapa tidak? Kartini selalu mengungkapkan curhatan pribadi kepada dua kerabatnya itu. Surat menyurat Kartini kepada rekan penanya unik dan berkesan.
Dimana, Kartini selalu mendahulukan ungkapan yang membakar semangat nasionalisme dan memberi manfaat bagi kepentingan orang banyak, khususnya perempuan, sementara ungkapan pribadi beliau selalu dikesampingkan. Sebagai bukti, Kartini menulis surat kepada Estella yang berbunyi “Saya ingin berkenalan dengan seorang gadis modern, yang berani, yang dapat berdiri sendiri… yang selalu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dan kebahagiaan dirinya sendiri saja, tetapi juga berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahagiaan banyak sesama manusia.” (Surat Kartini kepada Estella H. Zeehandelaar, 25 Mei 1899).
Kartini bukan sosok hebat dan cerdas yang hanya mengambil peran untuk memperjuangkan kedudukan perempuan secara sungguh-sungguh. Melainkan sosok yang berjuang untuk menciptakan kebagiaan sesama manusia. Dengan keterbatasan yang ada, ia berani menyuarakan kedudukan perempuan pada kancah internasional.
“Sekiranya undang-undang negeri saya mengizinkan, saya tidak ingin dan berbuat lain dari pada menyerahkan diri untuk pekerjaan dan perjuangan Wanita baru di Eropa,” tulis Kartini kepada Stella (Surat Kartini kepada E.H. Zeehandelaar, 25 Mei 1899). Sejalan dengan umur beliau, Kartini pernah menempuh pendidikan di benua biru Eropa, ia tetap menyuarakan kalimat-kalimat yang menyerukan perlindungan dan keadilan kaum perempuan.
Sosok Kartini sebagai inspirator perempuan, tidak melupakan tugas mulia sebagai seorang istri dan ibu. Seorang istri yang tidak kenal lelah melayani suami bernama K. R. M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang kesehariannya bekerja sebagai Bupati Rembang.
Kartini dan K. R. M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat hidup bersama memikirkan segala sesuatu yang tidak hanya berguna untuk kepentingan keluarganya, melainkan kepentingan rakyat. Melalui kehidupan tersebut, Kartini dapat menghayati seluruh hidupnya, baik itu pekerjaan dan peranya sebagai pelayan masyarakat.
Hal itu terungkap dari kutipan surat Kartini kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri. “Di rumah orang tua saya dulu, saya sudah tahu banyak. Tetapi di sini, di mana suami saya bersama saya memikirkan segala sesuatu, di mana saya turut menghayati seluruh kehidupannya, turut menghayati pekerjaannya, usahanya, maka saya jauh lebih banyak lagi menjadi tahu tentang hal-hal yang mula-mula tidak saya ketahui. Bahkan tidak saya duga, bahwa hal itu ada”, tulis Kartini kepada Nyonya Abendanon yang menjadi sahabat penanya (Surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri, 10 Agustus 1904).
Sebagai seorang ibu, Kartini melahirkan seorang putra bernama Soesalit Djojoadhiningrat pada 13 September 1904. Namun berselang empat hari setelah kelahiran, Kartini tutup usia. Meskipun Soesalit tidak mengenali ibu sebagai inspirator perempuan dunia, namun karakter-karakter Kartini semasa hidup tertanam kuat pada diri Soesalit. Soesalit mewarisi karakter lemah lembut dan rendah hati Kartini. Saat Soesalit dewasa, ia dapat menjadi perwira tinggi berpangkat Mayor Jenderal pada tubuh kepolisian.
Cerita ini membuktikan bahwa Kartini sebagai ibu yang berhasil mendidik seorang putra, meskipun tidak mendidik secara langsung. Keteladanan Kartini seperti ini perlu di contoh oleh ibu-ibu kekinian masa kini.
Sosok Kartini sebagai role model kaum ibu era ini. Ibu adalah permata kehidupan bagi putra putrinya. Tidak ada yang tergantikan dari peran ibu yang melahirkan seorang anak selama sembilan bulan lebih dari sepuluh hari dan membesarkan hingga dewasa.
Perjuangan ibu sebagai perempuan luar biasa patut diperjuangkan dan di hargai. Sebab, perjuangan kaum ibu sebagai perempuan tidak berhenti saat Kartini wafat, dilanjutkan oleh generasi penerus yang memiliki semangat yang sama dengan Kartini.
Soejatin, Nyi Hajar Dewantara, Ny.Soekanto, Siti Walidah sebagai pelopor untuk melanjutkan semangat Kartini dalam memperjuangkan kaum perempuan. Perempuan-perempuan hebat ini bertekad untuk memperjuangkan kehidupan kaum perempuan ke arah yang lebih luas.
Semangat Kartini pada jiwa ibu-ibu pejuang nasional ini menghasilkan suatu gagasan untuk mengadakan kongres perempuan. Berkat usaha keras dari ibu-ibu pejuang nasional, kongres perempuan I-IV pada tahun 1928-1941 berhasil diselenggarakan dengan menghasilkan agenda penting sebagai landasan masa depan Indonesia.
Beberapa hasil kongres I-IV yang menjadi cacatan penting sejarah Indonesia adalah didirikan Kowani (Kongres Wanita Indonesia), keterlibatan kaum perempuan untuk memilih dan dipilih dalam pesta demokrasi, dan penetapan hari ibu setiap 22 desember yang selalu menjadi momen bahagia dari seorang anak kepada ibunya.
Sangat disayangkan, perjuangan R.A Kartini dan perkumpulan perempuan untuk memperjuangkan kedudukan kaum perempuan tidak dipertahankan oleh generasi penerus sekarang. Pejuang-pejuang perempuan yang sukarel mengobarkan jiwa dan raga untuk nasib perempuan di masa depan, luntur begitu saja, karena terpengaruh dengan era globalisasi yang telah mengubah tatanan hidup globhal.
Sehingga globalisasi dapat masuk ke Indonesia dengan cepat dan tanpa batas. Akibatnya beberapa teknologi dapat berkembang secara masif. Penggunaan teknologi yang tidak tepat guna dapat berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, maraknya info hoax dari berita-berita bohong yang tidak diklarifikasi terlebih dahulu oleh pihak penerima.
Dampak dari perilaku ini, pelaku dikenakan hukuman pidana dan korban merasa tertipu. Lebih ironisnya, penyalahgunaan teknologi dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab untuk menyerang, mengganggu kedudukan atau status kaum perempuan. Kita masih ingat dengan kasus yang pelecehan seksual secara verbal yang dialami seorang mantan pegawai tata usaha SMAN 7 Mataram bernama Baiq Nuril.
Baiq Nuril adalah korban dari kasus pelecehan seksual yang seharusnya mendapat perlindungan hukum. Putusan kasasi Makamah Agung justru menvonis Nuril hukum enam tahun penjara dan denda R 500 juta dengan dakwaan melanggar pasal 27 ayat 1 UU ITE (tempo.com). Perjuangan Baiq Nuril utntuk mendapatkan hak atau kedudukannya sebagai perempuan harus di dukung penuh.
Kasus Baiq Nuril menggambarkan perlindungan terhadap kaum perempuan minim. Terlebih banyak pihak yang berusaha menjatuhkan kedudukan, martabat, atau kodrat dari seorang perempuan. Sebagai langkah preventif, perempuan-perempuan masa kini dibekali dengan pendidikan moral dan karakter yang baik, sehingga perempuan memahami dirinya sendiri sesuai dengan garis kodrat yang telah Alloh berikan kepada perempuan.
Selain itu, peran ibu sebagai perempuan juga dapat menanamkan pendidikan moral kepada putra-putrinya. Ibu- ibu masa kini harus mampu mencontoh pejuang-pejuang perempuan terdahulu dalam mendidik putra putrinya.. Ibu masa kini dapat memulai langkah awal dengan menanamkan karakter baik kepada putra-putrinya sejak usia dini. Sehingga saat seorang putra beranjak dewasa dapat menebarkan kebaikan dan bermanfaat kepada orang lain.
Sebagaimana Soesalit yang tumbuh menjadi orang besar dan mendedikasikan diri kepada bangsa dan negara. Sosok Soesalit yang tetap tegar menuruskan dan mewarisi karakter mendiang Kartini untuk berbuat baik kepada orang lain.