Selasa, April 16, 2024

Demokratisasi Anggaran Publik

Janwan Tarigan
Janwan Tarigan
Peneliti Malang Corruption Watch

Fenomena penyelewengan anggaran publik massif terjadi di daerah. Korupsi disinyalir sudah terjadi sejak dalam perencanaan anggaran yang melibatkan banyak pihak (Fitra, 2015). Di Jawa Timur, sebanyak 16 kepala terjerat korupsi daerah dalam kurun waktu 2004-2022. Jika ditelaah jenis dan modus korupsinya, rerata kasus tersebut berkaitan dengan anggaran publik (MCW, 2021). Artinya, anggaran publik menjadi pos rentan dikorupsi. Tak pelak anggaran publik yang sedari awal bertujuan sebaga instrumen mewujudkan kesejahteraan bersama, justru dipakai untuk kepentingan pribadi dan golongan.

Para ilmuan sosial politik mendiagnosa fenomena ini sebagai kemunduran demokrasi, di mana demokrasi dijalankan tanpa demos (rakyat). Proses demokrasi dimulai dengan pemilihan pemimpin (elektoral), namun pasca terpilih para pejabat kemudian membelakangi masyarakat sipil (LP3ES, 2022). Pemerintah sewenang-wenang menjalankan pemerintahan dan mengabaikan kehendak rakyat yang ditandai minimnya partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan. Padahal demokrasi adalah sistem pemerintahan oleh demos. Rakyatlah yang empunya kedaulatan sebagaimana termaktub dalam konstitusi kita.

Fenomena ini disebut pembajakan demokrasi, yang harus direspon serius oleh demos untuk merebut kembali hak kedaulatan rakyat. Beragam strategi-taktis pendekatan bisa dilakukan, termasuk memulai dari anggaran publik (MCW, 2022: 53).  Dalam sistem pemerintahan demokrasi, pastisipasi dimaknai roh demokrasi.  Namun, mengupayakan demokrasi-partisipatif bukanlah pekerjaan yang mudah, singkat, dan behenti di titik tertentu. Melainkan, pejruangan demokratisasi dengan segala macam subtansinya memerlukan ikhtiar terencana dan berkelanjutan.

Kini, tantangannya jauh lebih besar. Ketika demokrasi dibajak segelintir elite penguasa. Para elite penguasa mempergunakan kuasanya atas sumber daya publik untuk mengakumulasi kapital (oligarki). Liciknya, mereka seolah mengikuti aturan main demokrasi tapi nyatanya mengkhianati nilai demokratis. Pada titik itu, demokrasi berjalan secara tidak demokratis.

Di mana ketiadaan partisipasi rakyat merupakan kesengajaan yang didesain oleh oligarki. Bagi oligark, partisipasi dapat mengganggu aktivitas mereka berburu rente, maka harus dipadamkan, dilumpuhkan hingga tak berdaya. Kala partisipasi tiada, oligark leluasa mengeruk keuntungan dengan cara-cara korup yang tercermin dari semakin tingginya jurang kesenjangan sosial-ekonomi di Indonesia.

Demokrasi Prosedural Vs Demokrasi Partisipatif

Anggaran publik atau uang rakyat yang tertuang dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) memuat seluruh kebijakan-program pemerintah. Demokrasi dan anggaran publik memiliki hubungan erat. Tafsir kita terhadap demokrasi menentukan cara pandang kita menyoal anggaran pubik. Itu pula yang membuat pemaknaan anggaran publik begitu beragam di tengah masyarakat. Ada yang berpandangan anggaran publik cukup menjadi urusan pemerintah dan dewan perwakilan yang sudah dipilih rakyat. Begitulah pandangan yang mendasarkan pada demokrasi sempit, prosedural belaka.

Pendapat lainnya, anggaran publik dinilai sebagai uang rakyat yang dikelola pemerintah untuk kepentingan masyarakat. Karena itu, rakyat sangat perlu terlibat aktif dalam pengelolaanya termasuk memberi kontrol sosial. Pandangan demikian berdasar konsep demokrasi substansial-partisipatif. Melihat partisipasi sebagai roh demokrasi. Demokrasi tidak hanya sebatas representasi, tapi juga ada keterlibatan langsung.

Demokrasi subtantif mengakui penting proses elektoral tapi bukan menjadi inti demokrasi, hanya sebagai prasyarat awal untuk mewujudkan substansi demokrasi saat penyelenggaraan pemerintahan berlangsung secara partisipatif (Lutfi J. Kurniawan, 2022: 6).

Partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan berarti keterlibatan masyarakat dalam kebijakan pembangunan dan pelayanan publik. Dapat dimaknai partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan akan selalu berkaitan dengan pengelolaan anggaran publik Kekinian, partisipasi dalam pengelolaan anggaran publik terbilang sangat minim. Demokrasi yang berlanagsung masih bekutat pada demokrasi prosedural-elektoral. Semarak saat pemilihan pemimpin, tapi partisipasi redup di kala penyelenggaraan pemerintahan.

Tantangan ke depan adalah mendemokratisasi anggaran publik. Mengingat, anggaran publik adalah instrumen politik teknis dari seluruh kebijakan dan cita-cita bernegara. Berbicara tentang politik teknis, sering kali disalahartikan pemaknaanya dalam arti sempit tanpa mampu menelaah jauh nilai filosofinya. Tak jarang kita berkesimpulan anggaran hanyalah sekumpulan angka dalam satu dokumen yang rumit. Padahal anggaran bukan saja berbicara tentang uang tapi perencanaan program yang sesuai kebutuhan dan mampu mejawab persoalan, alat pengawasan rakyat, dan wujud pertanggungjawaban pemerintahan kepada rakyat.

Aktivasi Partisipasi Rakyat

Aneka persoalan anggaran publik tersebut sehari-hari dapat kita lihat di lingkungan pemerintahan daerah.  Sayangnya, tidak ada upaya serius untuk melawan dan membenahinya. Inilah kesadaran masyarakat “bisu”. Paulo Freire menamai kesadaran semacam itu dengan kesadaran “naïf”. Kesadaran yang memahami persoalan tanpa diikuti tindakan pemecahannya, sebab ketidakberdayaan masyarakat (Mi’raj Dodi, 2021: 90).

Budaya masyarakat “bisu” penanda demokrasi tidak sehat. Hanya orang-orang tertentu pemilik akses kekuasaan dan informasi saja yang bersuara. Tentu demokrasi tidak menghendaki dominasi dan diskriminasi semacam itu. Alih-alih demokrasi merindukan kesetaraan dan kemerdekaan.

Tantangan ke depan, menumbuhkan partisipasi dan mengembalikan kedaulatan rakyat. Kesadaran masyarakat “bisu” harus “diaktivasi” atau dihidupkan kembali mengarah pada kesadaran kritis-kreatif. Gagasan Freire tentang kesadaran kritis ini diartikan sebagai kemampuan masyarakat memahami akar masalah sosial yang adanya di lingkungannya. Tidak berhenti pada tahap itu, kesadaran kritis akan melahirkan tindakan kreatif menjawab masalah sosial yang ada dengan berbagai cara.

Mengingat penyelewengan anggaran publik sudah terjadi sejak dalam perencanaan, maka kontrol sosial juga harus meliputi seluruh proses pengelolaan anggaran. Keterlibatan masyarakat mesti dimulai sejak dalam perencanaan anggaran, dan seterusnya pada pelaksanaan hingga pertanggungjawabannya.

Keterlibatan aktif masyarakat akan berdampak baik pada diakomodirnya kepentingan masyarakat dalam kebijakan pembangunan dan pelayanan publik yang tertuang dalam APBD. Selain itu, ruang korupsi juga semakin sempit seiring meningkatnya kesadaran kritis dan partisipasi masyarakat. Pada titik itulah demokrasi yang sesungguhnya. Masyarakat memiliki kedaulatan yang secara praksis dapat diamati dalam kebijakan anggaran publik. Oleh Arnstein dalam kajian teori partisipasi menyebutnya dengan “kekuasan berada pada otonomi rakyat”.

Janwan Tarigan
Janwan Tarigan
Peneliti Malang Corruption Watch
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.