“Kekuasaan yang tidak memiliki kehormatan, tidak akan pernah mampu menghadirkan keadilan.”
Ungkapan yang keras, menohok hati itu diucapkan oleh Bung Daniel Dhakidae awal tahun 2020 ketika ia hadir dalam diskusi terbatas yang diadakan ELSAM. Bung DD memang sengaja diajak ulang untuk berbincang dan menyusun ulang pemikiran mengenai bagaimana semestinya negara bersikap dan bertindak untuk mengoreksi kesalahan dan sekaligus mempertanggungjawabkan terjadinya seluruh pelanggaran hak asasi manusia yang serius di masa lalu.
Di awal reformasi, lembaga tempat saya aktif, ELSAM, mengajak Bung DD dengan beberapa tokoh senior rembukan bersama merumuskan konsep dan metode pertanggungjawaban atas berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang rezim militer Orde Baru.
Upaya untuk mengoreksi kesalahan rezim militer Orba itu telah macet selama 20 tahun. Ketika Menkopolhukam, Mahfud MD, awal tahun 2020 menyatakan bahwa Presiden Jokowi berkehendak untuk mencari jalan penyelesaian untuk pelanggaran HAM yang serius di masa lalu, semangat yang telah redup itu kembali menyala. Bung DD begitu bersemangat mengingatkan rumusan-rumusan yang telah disusun dulu.
Ungkapan yang disampaikan dengan sepenuh hati oleh Bung DD, dengan intonasi yang tegas, dengan mimik muka yang menahan emosi, menyentakan kesadaran saya. Hal itu membuat saya terpaksa memeriksa ulang seluruh jalan nalar saya selama ini dalam melihat dan mengupayakan penyelesaian masalah-masalah hak asasi manusia dan menghadirkan keadilan bagi yang berhak. Sebab keadilan adalah “bukan urusan tetek-bengek teknis dan prosedur hukum, melainkan adalah masalah sikap kekuasaan”, pungkas Bung DD.
Perhatian dan komitmen Bung DD pada keadilan, terutama kepada wong cilik yang menjadi korban kebengisan penguasa rezim Orba sungguh sangat kental. Hal itu bisa disimak dalam berbagai tulisannya. Dalam konferensi yang diadakan ELSAM tahun 2001 tentang Proses Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Bung DD menyampaikan pokok-pokok pikirannya yang tajam dan bertenaga.
Bung DD menegaskan bahwa dalam membentuk KKR sangat ditentukan oleh “paham” tentang kesalahan masa lampau dalam suatu negara. Ketika “paham” akan kesalahan di masa lalu tidak pernah tumbuh, maka upaya mengoreksi kesalahan itu tidak akan pernah ada. Pada gilirannya, upaya untuk meminta maaf dari pemerintah kepada rakyatnya tindak akan pernah terjadi.
Saya rasa, apa yang diutarakan Bung DD 20 tahun lalu itu, kini masih relevan. Mungkin karena mengingat sikapnya itu, Bung DD di awal 2020 mengeluarkan pernyataan yang menohok seperti dikutip di awal tulisan ini. Kutipan itu saya maknai, penguasa yang tidak pernah mengakui kesalahannya di masa lalu, dan meminta maaf atas kesalahan itu, maka ia adalah penguasa yang tak lagi memiliki kehormatan.
Makanya, ketika Jokowi melalui Menkopolhukamnya menyampaikan akan merancang jalan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang serius di masa lalu, sosok yang membayang dalam pikiran saya adalah Bung DD. Bung DD lah orang yang paling kompeten pemikirannya untuk dijadikan rujukan bagi kerja pengungkapan dan pertanggungjawaban atas terjadinya serangkaian pelanggaran HAM yang serius di masa lalu itu. Pemikiran Bung DD dibutuhkan agar keadilan benar-benar mewujud bagi tiap-tiap orang hadir.
Sayangnya Bung DD pergi, sebelum Jokowi dan Menkopolhukamnya benar-benar bisa mengambil langkah untuk mengkoreksi “kesalahan” di masa lalu yang disebut sebagai pelanggaran HAM yang serius. Bung DD menyatakan kesalahan dan kejahatan rezim militer Orba di masa lalu melalui Kopkamtibnya, hanya bisa ditandingi oleh kejahatan rezim Hitler dan rezim Polpot.
Si Nandi Berkaki Empat
Jika diselami lebih dalam melalui tulisan-tulisannya, tampak Bung DD adalah seorang pemikir yang merenungkan pelik-melik kekuasaan dan sosok penguasanya. Bung DD menyigi dan menggeledah seluruh relung kekuasaan dan sosok manusia yang menggenggamnya.
Dalam seluruh sejarah makhluk bernama manusia, penguasa dengan segala atributnya di mata Bung DD hanyalah manusia biasa, namun selalu berhasrat menjadi dewa di bumi. Hasrat berubah menjadi dewa itu lah yang mendorong manusia bertindak melampaui perbuatan-perbuatan yang mampu dibayangkan oleh akal sehat.
Menjadi tidak mengherankan jika Bung DD selalu menyuarakan kecurigaan pada kekuasaan. Di mata Bung DD ketika rakyat tidak lagi mencurigai kekuasaan, maka rakyat itu telah memberi penguasa bertumbuh menjadi monster. Pengalaman di masa rezim militer Orba telah menunjukkan itu. Rezim militer Orba bisa bertumbuh menjadi begitu kejam adalah karena rakyat Indonesia setelah peristiwa 65 tidak lagi mencurigai penguasaan.
Rakyat Indonesia bisa menjadi begitu, pertama karena telah terjadinya tindakan yang maha dahsyat kepada rakyat, yaitu gross violation of human rights. Yang ditandai dengan terjadinya most murder for wrong reason yang menjadi tragedi kemanusiaan. Kedua berjalannya hegemonik meaning tentang pembangunan. Hal itu tanpa disadari menjadikan rezim militer Orba seakan-akan benar telah membangun Indonesia. Bahkan untuk itu bagi Soeharto disematkan gelar bapak pembangunan.
Bung DD dalam menilik watak kekuasaan dan penguasa begitu benderang ketika ia mengulas kisah Ken Arok yang di novelkan oleh Pramoedya Ananta Toer dan membandingkan kisahnya dalam Pararaton. Arok si manusia biasa, yang merampas kekuasaan Tunggul Ametung, menjelma menjadi manusia setengah dewa di tangan Dang Hyang Lohgawe.
Arok sebagai penguasa berdiri ditas empat kaki Nandi, yaitu teman, kesetiaan, harta dan senjata. Dengan memanfaatkan empat kaki Nandi itu Arok bisa menguasai Tumapel, mengenyam kekuasaan. Arok memulainya dengan menabur kerusuhan dan pemberontakan, kemudian memadamkannya, agar ia tampak di mata Tunggul Ametung. Dengan demikian Arok bisa masuk lingkaran Istana Tunggul Ametung. Kemudian mengudeta Amteung melalui sandiwara tangan Kebo Ijo dengan keris buatan Mpu Gandring.
Melalui analisanya pada Arok, Bung DD seakan berpesan, jika ingin mengenal watak kekuasaan dan penguasa di nusantara ini, selami lah watak Ken Arok yang bertopang pada empat kaki Nandi itu. Nandi adalah pralambang akan mahkluk suci, yang hanya mungkin bisa tegak jika memiliki empat kaki.
Oleh karenan itu kalimat Bung DD di awal tulisannya tentang “Paham Kekuasaan Timur dan Barat: Kesamaan dan Perbedaannya” yang saya kutip sebagai penutup tulisan ini, layak dicerna lebih dalam dalam melihat gejala kekuasaan kini.
“Kekuasaan begitu nyata, sekaligus begitu misterius.”