Senin, April 29, 2024

Bunuh Diri

Paramaputra Adiwangsa
Paramaputra Adiwangsa
Mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Brawijaya, tapi sering "icip-icip" bidang lainnya seperti filsafat, sastra, linguistik, politik, sosiologi, ekonomi, hingga geografi.

Bunuh diri masih menjadi topik diskusi yang tabu di beberapa negara, terutama di Indonesia, meskipun itu merupakan salah satu bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern saat ini.

Namun akhir-akhir ini, Indonesia mulai terbuka dalam membahas masalah ini seiring peningkatan kasus bunuh diri dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya saja kasus dugaan bunuh diri yang baru-baru ini terjadi, melibatkan satu keluarga di Dusun Boro Bugis, Kabupaten Malang, dengan motif berupa hutang yang digunakan untuk memenuhi biaya hidup dan sekolah.

Sekeluarga yang tewas tersebut terdiri dari sang ayah berinisial WE (44), sang ibu berinisial SU (40), dan seorang anak berinisial ARE (12). Tak hanya itu, aksi bunuh diri juga sempat dilakukan seorang pria paruh baya berinisial F (58) di Plaza Medan Fair yang berada di Jalan Gatot Subroto, Kota Medan. Menurut penyelidikan polisi, korban diduga melakukan tindakan nekatnya akibat stres atau depresi karena usaha yang dimilikinya hancur dan meninggalkan banyak hutang.

Sebenarnya kasus-kasus tersebut hanyalah sebagian kecil dari 1.214 kasus bunuh diri yang tercatat oleh Pusiknas Polri pada tahun 2023. Meskipun begitu, kedua kasus ini telah menunjukkan bahwa bunuh diri bukanlah sebatas perkara mental saja; itu adalah masalah serius yang dipicu oleh kompleksitas sosial di masa modern.

Kasus tragis seperti keluarga di Malang dan pria di Medan menunjukkan hubungan erat antara tekanan ekonomi dan sosial dengan keputusan drastis untuk mengakhiri hidup diri sendiri. Kemudian kita mulai bertanya-tanya, seperti “Apakah bunuh diri menjadi satu-satunya cara untuk melarikan diri dari kehidupan yang terasa absurd ini?” atau “Apakah kita benar-benar tidak bisa melawan balik ketika tidak mampu menghadapi beratnya beban hidup?”

Tentang bunuh diri

Bunuh diri, atau suicide, berasal dari bahasa Latin, yakni suicidium yang dapat dipecah menjadi dua kata berupa sui (of oneself) dan cidium (a killing). Dengan demikian, bunuh diri dapat didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk menimbulkan kematian pada diri sendiri. Fenomena ini sudah ada dalam sejak lama, bahkan sempat memainkan peranan penting dalam sejarah. Misalnya, aksi bunuh diri oleh Lucretia pada 510 S.M. memulai pemberontakan yang berujung pada berdirinya Republik Romawi.

Individu memiliki risiko lebih tinggi untuk bunuh diri jika memiliki gangguan mental atau gangguan fisik yang dimilikinya maupun melakukan penyalahgunaan zat, seperti alkohol maupun narkoba. Tindakan-tindakan impulsif yang diakibatkan oleh tumpukan stres berat, masalah percintaan, ataupun efek pelecehan maupun penindasan akan bertindak sebagai katalis bagi seseorang untuk melakukan bunuh diri. Melansir dari Suicide Fact Sheets yang disusun World Health Organization (WHO), mereka yang sebelumnya pernah mencoba bunuh diri memiliki risiko lebih tinggi untuk mencoba bunuh diri di masa depan.

Mengenai bentuk bunuh diri, seorang ahli sosiologi Prancis yang hidup pada awal abad ke-19, Emile Durkheim, menuliskan pemikirannya dalam karyanya, Le Suicide: Étude de sociologie (Suicide: A Study in Sociology). Durkheim, dalam bukunya tersebut, menyampaikan bahwa selain faktor individual ataupun psikologis, faktor sosial juga berpengaruh kuat terhadap kecenderungan individu untuk mengakhiri hidupnya sendiri. ia juga mengidentifikasi adanya tiga jenis bunuh diri berdasarkan motivasi sosial, yaitu egoistik, altruistik, dan anomik.

  • Egoistik: Bentuk bunuh diri yang dipengaruhi oleh tingkat integrasi sosial individu yang rendah, membuat mereka merasa kurang terikat dengan masyarakat dan terjebak dalam isolasi sosial.
  • Altruistik: Bentuk bunuh diri yang bisa terjadi apabila individu terlalu terikat pada norma-norma sosial atau kelompok tertentu sehingga membuat dirinya rela mengorbankan diri.
  • Anomik: Bentuk bunuh diri yang terjadi pada individu yang merasa tidak memiliki arah karena adanya ketidakseimbangan sosial, salah satunya krisis ekonomi, dalam masyarakat.

Selain itu, ada satu lagi jenis bunuh diri yang tidak banyak dibahas oleh Durkheim, yakni bunuh diri fatalistik yang terjadi apabila individu merasa tertekan oleh tatanan nilai sosial dalam masyarakat.

Mitos Sisifus dan bunuh diri

Sebagai salah satu filsuf eksistensialis dan absurdis terkemuka dari Prancis, Albert Camus menyajikan pendapatnya mengenai bunuh diri melalui sejumlah karyanya, terutama dalam esainya berjudul The Myth of Sisyphus (Mitos Sisifus). Dalam karyanya tersebut, ia memaparkan kisah Sisifus, tokoh dalam mitologi Yunani yang dihukum oleh para dewa untuk mendorong sebuah batu besar ke puncak bukit, hanya untuk melihat batu itu jatuh kembali ke bawah dalam siklus yang tak berkesudahan.

Melalui kisah itu, Camus mencoba menyampaikan idenya mengenai absurditas dengan menyoroti pertentangan antara keinginan manusia untuk mencari makna dalam kehidupan dan realitas bahwa alam semesta sendiri tidak memberikan makna yang jelas. Ia memang menyadari ketidaknyamanan dan keabsurdan dalam hidup, namun Camus tetap menentang bunuh diri dijadikan sebagai satu-satunya solusi. Menurutnya, bunuh diri tak hanya sebatas tindakan melepaskan diri dari keabsurdan hidup, tetapi juga merupakan penghindaran diri dari tanggung jawab individu untuk menciptakan makna hidup masing-masing.

Meskipun kehidupan dianggap absurd, Albert Camus, dalam bukunya The Myth of Sisyphus, menawarkan beberapa sikap filosofis untuk melawan balik dan menghadapi keadaan tersebut, tanpa perlu melibatkan tindakan bunuh diri. Berikut beberapa prinsip kunci dari Camus yang dapat diambil sebagai perlawanan balik terhadap absurditas dalam hidup.

  • Menerima absurditas dalam kehidupan, tanpa mencoba menyembunyikan atau mengabaikan ketidaknyamanan yang dirasakan
  • Menciptakan makna sendiri pada setiap tindakan yang dilakukan dan setiap momen yang dilewati, tanpa terkekang akan ide-ide dari luar, seperti agama atau filsafat tradisional
  • Menjalankan “revolusi absurditas” dengan menolak untuk menyerah pada keputusasaan dan malah memilih untuk hidup dengan penuh kesadaran, salah satunya dengan menolak bunuh diri
  • Menghayati setiap kebahagiaan kecil yang ditemukan dalam tindakan-tindakan sederhana dan keindahan sekitar.

Dengan mengadopsi sikap-sikap tersebut, seseorang diharapkan mampu melawan balik absurditas kehidupan dengan menemukan makna dalam tindakan-tindakan mereka sendiri dan lebih menghayati kehidupan dengan penuh kesadaran dan kebebasan.

Dengan demikian, bunuh diri dapat dianggap sebagai sebuah alternatif ketika seseorang menghadapi beban hidup yang dirasa absurd. Namun, ini bukan berarti bunuh diri merupakan pilihan yang tepat karena tindakan tersebut menunjukkan betapa tidak bertanggungjawabnya seseorang sebab ia memilih untuk menghindar dari tanggungannya untuk menciptakan makna dalam hidupnya tersebut.

Sebagai gantinya, ada beberapa sikap yang bisa diambil untuk menghadapi keabsurdan hidup, salah satunya dengan mengadopsi “revolusi absurditas,” sebuah upaya perlawanan yang digaungkan Camus dalam rangka menolak penyerahan akan keputusasaan hidup.

Paramaputra Adiwangsa
Paramaputra Adiwangsa
Mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Brawijaya, tapi sering "icip-icip" bidang lainnya seperti filsafat, sastra, linguistik, politik, sosiologi, ekonomi, hingga geografi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.