Rabu, April 24, 2024

Birokrasi Negara dan Pelayanan Publik

Arsi Kurniawan
Arsi Kurniawan
Minat pada isu Agraria, Pembangunan, Gerakan Masyarakat Sipil, dan Politik Lokal

Siapapun yang pernah berurusan dengan pemerintah pasti juga berurusan dengan birokrasi. Setiap keputusan pemerintah selalu dibahas dalam meja birokrasi. Sementara itu, fungsi birokrasi antara lain melayani kepentingan masyarakat, baik dalam pengurusan administratif maupun mendesain suatu kebijakan publik. Karena itu, birokrasi sangatlah penting dan memiliki fungsi yang besar bagi kemajuan suatu intansi pemerintah dan khususnya bagi kepentingan masyarakat.

Dalam pandangan birokrasi Weberian menganggap birokrasi secara teknis merupakan organisasi yang paling efisien bagi kehidupan bersama manusia (Yogi Sugandi, 2011). Sementara itu mengikuti kerangka berpikir birokrasi Hegelian berpendapat bahwa, birokrasi sebagai jembatan yang menghubungkan antara negara (pemerintah) dengan masyarakatnya (Sugandi, 2011).

Sudah menjadi jelas bahwa fungsi kerja birokrasi pada intinya selalu mengedepankan kepentingan masyarakat. Namun jika kita bandingkan dengan kerja birokrasi negara masa Orde Baru Soeharto, watak birokratisnya selalu melekat dengan kepentingan korupsi, kolusi dan nepotisme. Tidak heran masyarakat memandang birokrasi pada rezim Soeharto menjadi lahan subur praktik perburuhan rente (rent seeking). Kejengahan masyarakat yang berkepanjangan karena terbelit oleh urusan birokrasi, mendorong gelombang demonstrasi menuntut reformasi birokrasi negara.

Demokratisasi yang berlangsung tahun 1998 berharap membawa angin segar bagi birokrasi negara. Lantas bagaimana watak birokrasi pasca reformasi?Pasca reformasi, watak birokrasi masih melekat dengan praktik KKN yang dalam bentuk pungutan liar (pungli). Sementara itu, catatan lain menunjukan bahwa pelayanan birokrasi kerap berbelit-belit yang menyebabkan meningkatnya ketidakpercayaan publik (public distrust) kepada lembaga pemerintah. Birokrasi yang mestinya mendorong pelayanan bermutu, alih-alih kerap menyulitkan masyarakat. Bahkan lebih parahnya lagi, unsur nepotisme dan pengutan liar masih berurat-akar dalam birokrasi di Indonesia pasca reformasi.

Harapan akan terwujudnya birokrasi yang efektif, efisien, akuntabel dan transparan ternyata masih jauh panggang dari api. Fakta menunjukan birokrasi negara pasca reformasi masih bercokol elit predator yang menyebabkan birokrasi berjalan ditempat dan bahkan mundur. Kasus korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan praktik yang tidak asing dalam birokrasi negara pasca reformasi.

Sementara itu, pelayanan publik yang mengedepankan kualitas pelayanan dan akses informasi publik kerap dikooptasi dibawah karangkeng kepentingan para birokrat korup. Hal ini semakin menegaskan mekanisme kerja birokrasi negara di Indonesia semakin tidak bermutu bagi kepentingan masyarakat.

Di Kabupaten Manggarai Timur, misalnya, saat saya melakukan pengurusan Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran, proses pengurusan sangat berbelit-belit dan terkesan tidak mendapat prioritas pelayanan yang bermutu. Hal ini tentu tidak hanya berlaku di salah satu instansi ataupun daerah, namun di berbagai instansi dan daerah lain pun masyarakat menghadapi persoalan serupa, yakni dirumitkan dengan pelayanan birokrasi negara yang menjengkelkan.

Bukannya membawa perubahan bagi kepentingan masyarakat, birokrasi di Indonesia malah mensegregasi dan meminggirkan kepentingan masyarakat. Kita mesti mengakui dan terbuka bahwa reformasi birokrasi masih mengalami masalah, yakni masih bercokolnya para birokrat dengan watak korup, kolusi dan nepotisme dalam tubuh birokrasi negara. Alhasil, setiap kebijakan dan pelayanan publik kerap bermasalah, menjemukan, kehilangan kepercayaan publik dan berwatak oligarkis.

Akar Masalah

Hemat saya, pelayanan birokrasi yang masih berbelit-belit lahir dari suatu keadaan dimana watak korup masih melekat dalam tubuh birokrasi negara. Sementara itu pada aspek lain saya melihat, masalah ini lahir dari relasi kuasa yang terjadi dalam birokrasi negara yang kerap dimanfaatkan oleh birokrat korup untuk memanfaatkan dan melicinkan kepentingan mereka.

Pada sisi yang lain, saya melihat ada kecenderungan predator korup untuk menggembosi dan mempreteli reformasi dalam tubuh birokrasi. Analisis ini bisa dibuktikan dengan semakin meningkatnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang terjadi dalam birokrasi negara. Disisi yang lain juga menunjukan adanya kemunduran kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah, sebab mekanisme kerja birokrasi kerap merumitkan masyarakat.

Pelayanan publik mesti menghadirkan keramahan, senyum, santun dan berinovasi, alih-alih itu semua hanya formalitas belaka. Jika kita mengunjungi sebuah instansi pemerintah, di berbagai dinding kantor tertulis melayani dengan hati, tanpa pungli, mengedepankan keramah-tamahan, dan lain-lain. Semua itu jelas menunjukan bahwa praktik birokrasi tidak boleh melekat dengan kepentingan apapun yang dapat melemahkan birokrasi.

Namun sayangnya hal ini kerap disabotase oleh birokrat korup dan oligark. Alhasil inilah yang tampak belakangan pasca reformasi. Reformasi birokrasi yang menjadi tuntutan masa tahun 1998 justru tidak dijalani dengan serius. Praktik di lapangan justru menunjukan birokrasi negara kerap menegasikan tuntutan reformasi birokrasi. Karena itu, kita mesti mendorong birokrasi negara mesti dievaluasi dan direformasi.

Perbaikan Kedepan

Birokrasi merupakan jantung bagi kinerja pemerintah. Apabila jantung ini bermasalah dan keropos, tentu mengganggu dan menurunkan stamina tubuh dan mati. Begitu pula dengan kerja birokrasi, apabila birokrasi negara masih dikooptasi oleh kepentingan predator korup dan dimanfaatkan sebagai sapi perah, maka kinerja pemerintah selalu buruk. Karena itu, mesti ada perbaikan dan reformasi serius dari pemerintah terhadap mekanisme kerja birokrasi.

Mengikuti pendapat Sugandi (2011), pembenahan birokrasi mengarah pada penataan ulang aspek internal dan eksternal. Menurut Sugandi, pembenahan internal birokrasi harus diterapkan pada level puncak (top level bureaucrats), level menengah (middle level bureaucrats) dan level pelaksana (street level bureaucrats). Sementara pada aspek eksternal pembenahan birokrasi dimaksudkan untuk menghidarkan subordinasi birokrasi dalam politik atau kekuasaan, dengan kata lain mewujudkan netralitas birokrasi (Yogi Sugandi, 2011).

Jika pembenahan ini dilaksanakan dengan baik, hemat saya memungkinkan dua hal terjadi. Pertama, memungkinkan pelayanan publik itu optimal dan melahirkan kinerja bagus bagi pemerintah. Kedua, memungkinkan kepercayaan publik terus meningkat kepada pemerintah. Sebab dalam demokrasi, kepercayaan dari pemberi kuasa itu sangatlah penting, sebab hal ini berurusan dengan moralitas penerima kuasa. Apabila penerima kuasa mengingkari dan mengangkanginya, maka beban moral itu melakat dalam dirinya.

Arsi Kurniawan
Arsi Kurniawan
Minat pada isu Agraria, Pembangunan, Gerakan Masyarakat Sipil, dan Politik Lokal
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.