Sabtu, April 27, 2024

Benarkah Tuhan Ada Di Atas?

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.

Saya meletakkan tiga buah buku di sebelah kanan laptop yang sekarang saya gunakan untuk menulis. Buku itu sendiri terletak di atas meja. Di bawah meja ada beberapa buah keramik yang membangun satu-kesatuan lantai.

Di sebelah kanan keramik ada sebuah tembok yang menjadi dinding penghalang. Di sebelah kiri keramik ada sebuah kipas. Dan saya sendiri berada di depan laptop yang sedang saya gunakan. Di belakang laptop juga masih ada beberapa buku yang belum sempat saya baca.

Kalau kita cermati dengan baik, penggunaan kata di atas, di bawah, di kanan, di kiri, di depan, dan di belakang dalam ilustrasi di atas, semuanya adalah kata-kata yang menunjukan makna arah (dalam bahasa Arab arah itu disebut dengan jihah).

Dan arah itu sendiri sejujurnya hanyalah makna yang ditangkap oleh nalar kita yang terlahir dari berbagai sudut pandang. Meminjam istilah ilmu kalam, arah itu hanyalah amrun ‘itibariy, yang tidak ada wujud konkretnya di alam luar.

Buku yang ada di samping laptop bisa dikatakan berada di sebelah kanan jika kita kaitakan dengan laptop yang terletak di sebelah kiri. Tapi dia juga bisa dikatakan di atas kalau kita kaitkan dengan meja yang berada di bawahnya.

Buku dikatakan berada di atas meja, tapi dalam saat yang sama dia juga bisa dikatakan berada sebelah kanan kalau kita kaitkan dengan posisi laptop yang berada di sebelah kirinya.

Alhasil, di atas, di bawah, di kanan, di kiri, dan ungkapan-ungkapan sejenisnya itu hanyalah makna-makna yang dilahirkan oleh nalar kita berdasarkan sudut pandang tertentu terkait kebertempatan barang-barang itu. Di alam luar tidak ada yang namanya arah.

Di alam luar tidak ada yang namanya atas, bawah, depan, kanan, maupun kiri. Arah itu sendiri hanya sekedar makna, yang terlahir dari berbagai sudut pandang kita atas sesuatu yang bertempat.

Arah hanya berlaku bagi sesuatu yang bertempat. Tidak mungkin ada arah kalau tidak ada tempat dan sesuatu yang bertempat. Karena arah hanya ada dengan adanya tempat, maka sesuatu yang tidak bertempat tidak mungkin memiliki arah, baik itu di atas, di bawah, di kanan, di kiri maupun arah-arah lainnya.

Saya mengatakan buku ini ada di atas meja, karena dia bertempat di atasnya. Saya mengatakan dia ada di sebelah kiri tembok, karena tembok—yang juga merupakan sesuatu yang bertempat—berada di sebelah kanan buku. Dan semuanya adalah sesuatu yang bertempat.

Alhasil, di mana ada tempat maka disitu ada arah. Tidak ada tempat, maka tidak ada arah. Jika kita bersepakat bahwa Tuhan bukan sesuatu yang bertempat, seperti yang sudah kita kemukakan dalam salah satu tulisan yang lalu, maka konsekuensinya Tuhan juga tidak bisa kita yakini berada dalam suatu arah tertentu. Baik itu di atas, di bawah, di kanan, di kiri, maupun arah-arah yang lain.

Penafian akan kebertempatan berkonsekuensi pada penafian keberarahan. Kita menafikan keberarahan karena kita menafikan kebertempatan dari Tuhan. Karena itu, Tuhan tidak bisa dikatakan di atas, jika yang kita maksud dengan kata di atas ialah arah sebelah atas. Seperti di langit, misalnya, sebagaimana yang diyakini oleh sebagian kalangan.

Tapi bukankah dalam percakapan sehari-hari kita kerap menggunakan kata itu? Sering orang berkata, “serahkan saja pada yang di atas”, “semuanya bergantung pada takdir yang di atas”, “kalau kamu punya keinginan, mintalah sama yang di atas”, “jangan takut sama setan, takutlah sama yang di atas”, dan ungkapan-ungkapan sejenisnya.

Apakah ungkapan-ungkapan seperti itu salah? Apakah ungkapan-ungkapan seperti itu menyalahi akidah? Sebetulnya tidak salah, juga tidak menyalahi akidah, kalau kata di atas yang dimaksud ialah di atas dalam arti maknawi, bukan keatasan jasadi-inderawi. Yang dimaksud dengan di atas bukan keatasan dalam makna arah (jihah), melainkan kedudukan (makânah) yang tak berkaitan dengan arah.

Memang Tuhan berada di atas segala-galanya. Dalam arti bahwa kedudukan Dia lebih tinggi, lebih agung, lebih mulia, dan lebih dari berbagai aspek lainnya ketimbang makhluk-makhluk-Nya.

Untuk lebih memahami maksud tersebut, Anda bisa bedakan dua ungkapan ini: “Nurdina berada di atas kasur.” Dengan ungkapan: “Nurdina jauh lebih unggul di atas teman-temannya.” Apa perbedaan yang bisa Anda tangkap dari dua ungkapan tersebut?

Kedua-duanya sama-sama mencantumkan kata di atas. Tapi makna di atas yang satu berbeda dengan makna di atas yang kedua. Jika di atas pertama mengindikasikan makna kebertempatan, maka di atas yang kedua menunjukan makna kedudukan.

Suatu ketika, misalnya, Anda bilang, “Farida ada di dalam kamar”. Di kali lain Anda bilang: “Sejujurnya, Farida berada di dalam lubuk hatiku yang paling terdalam.” Dua-duanya sama-sama mencantumkan kata di dalam.

Tapi, apakah di dalam yang pertama sama dengan di dalam yang tercantum dalam ungkapan kedua? Jawabannya jelas beda. Yang satu berkaitan dengan penisbatan sesuatu kepada tempat, sementara yang kedua merupakan ekspresi kelebayan yang menunjukkan tingginya kedudukan orang yang disebutkan.

Ini contoh lain untuk memahami maksud utama yang saya sebutkan di atas. Bahwa kata di atas itu bisa kita maknai dengan kedudukan yang bersifat maknawi, bukan kebertempatan yang bersifat inderawi.

Jadi, manakala kita mengatakan “serahkan pada yang di atas”, “berdoa sama yang di atas”, “jangan lupa sama yang di atas”, dan lain sebagainya, ungkapan-ungkapan tersebut hendaknya kita maksudkan sebagai isyarat akan kedudukan Tuhan yang maha tinggi dan maha kuasa yang tidak dikuasai oleh makhluk-makhluk-Nya.

Tuhan di atas artinya Tuhan yang melampaui makhluk-makhluk-Nya. Dia tidak tunduk pada sesuatu, tapi justru segala sesuatulah yang tunduk pada diri-Nya. Jika makna demikian yang kita maksud, dari sudut teologis sebenarnya ungkapan tersebut tidak menjadi soal.

Keyakinan yang bermasalah ialah keyakinan yang memaksudkan kata di atas dalam arti arah. Tuhan di atas artinya Tuhan ada di langit, atau bertempat di atas ‘Arsy, misalnya. Keyakinan seperti ini jelas keliru, berdasarkan dalil-dalil yang sudah kita kemukakan dalam salah satu tulisan yang lalu.

Dengan demikian, seluruh argumen yang menafikan kebertempatan Tuhan bisa kita gunakan untuk menafikan keberarahan. Karena keduanya saling terkait satu sama lain. Menafikan yang satu berarti menafikan yang lain.

Jika kita bersepakat bahwa Tuhan tidak bertempat, maka Tuhan tidak mungkin kita katakan berada di atas dalam arti arah. Karena arah merupakan makna yang terlahir dari sesuatu yang bertempat.

Jika Tuhan ada di atas—dengan pemaknaan seperti itu—maka Tuhan berada dalam tempat. Dan kebertempatan merupakan sesuatu yang ternafikan dari Tuhan. Karena kalau Tuhan bertempat, maka Dia butuh kepada tempat. Dan kebutuhan bertentangan dengan ketuhanan. Demikian, wallâhu ‘alam bisshawâb.

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.