Senin, April 29, 2024

Uncle Tom’s Cabin: Nelangsa Perbudakan

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Uncle Tom’s Cabin, yang diterbitkan pada tahun 1852, adalah novel anti-perbudakan yang ditulis oleh Harriet Beecher Stowe. Novel ini berpusat pada sosok Paman Tom, seorang budak yang baik hati dan sangat religius, serta karakter lain yang hidupnya terdampak oleh perbudakan.

Novel ini menggambarkan realitas pahit perbudakan, termasuk terpisahnya keluarga, kekerasan fisik dan psikologis, serta dehumanisasi terhadap budak. Cerita ini juga mengeksplorasi tema seputar agama, kemampuan untuk bertahan, dan perjuangan akan kebebasan.

Uncle Tom’s Cabin menjadi sensasi dalam dunia sastra. Ia menjadi novel terlaris abad ke-19 di Amerika Serikat (hanya kalah dari Alkitab). Novel ini dipuji karena membangun kesadaran terhadap ketidakadilan perbudakan dan dianggap memainkan peran penting dalam mendorong gerakan abolisionis yang mengarah ke Perang Saudara.

Meskipun memiliki dampak positif, novel ini juga dikritik karena penggambaran karakter tertentu, terutama Paman Tom sendiri. Beberapa orang berpendapat bahwa Paman Tom digambarkan terlalu pasrah dan tidak melawan dalam menghadapi penindasan, sehingga melanggengkan stereotip yang merugikan.

Hubungan antara kulit putih dan kulit hitam dalam Uncle Tom’s Cabin amat kompleks dan banyak lapisan. Pokok dari hubungan ini terletak pada ketimpangan kuasa yang melekat pada perbudakan. Tokoh-tokoh kulit putih memegang kendali penuh atas tokoh-tokoh kulit hitam, yang tidak memiliki hak atau kebebasan secara hukum.

Stowe menggambarkan tokoh-tokoh kulit putih dengan berbagai pandangan tentang perbudakan. Ada pemilik budak yang kejam seperti Simon Legree, yang menunjukkan kebrutalan sistem perbudakan. Ada juga pemilik budak yang berwatak baik tetapi pada akhirnya memilih berdiam diri, seperti Augustine St. Clare. Dia memperlakukan budak mereka dengan baik tetapi tetap saja melanggengkan institusi perbudakan.

Sedikit tokoh kulit putih, seperti Quaker, digambarkan sebagai sosok yang bersimpati dengan gerakan abolisionis dan secara aktif membantu para budak. Sementara sejumlah budak, seperti Paman Tom, digambarkan pasrah pada nasib mereka. Tokoh lain, seperti Eliza Harris, secara aktif melawan dan memperjuangkan kebebasan. Hal ini menggambarkan pelbagai spektrum tanggapan terhadap penindasan.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, penggambaran sosok Paman Tom sendiri menjadi titik perdebatan. Ada yang melihatnya sebagai simbol penerimaan pasif, yang pada gilirannya hanya memperkuat stereotip negatif. Meskipun sarat kompleksitas, novel ini menyuarakan kecaman terhadap perbudakan dan seruan untuk kesetaraan ras. Novel ini juga mengeksplorasi bagaimana perbudakan mempengaruhi karakter kulit putih, khususnya wanita kulit putih.

Stowe menggunakan sentimentilitas untuk membangkitkan simpati terhadap tokoh-tokoh budak dan penderitaan mereka. Penting untuk diingat bahwa novel ini ditulis dalam konteks sejarah tertentu. Meskipun beberapa aspek mungkin dianggap ketinggalan zaman saat ini, Uncle Tom’s Cabin tetap menjadi karya penting yang menantang status quo pada masanya.

Tak kalah menarik, aspek keagamaan memegang peranan sentral dan kompleks dalam Uncle Tom’s Cabin. Tokoh-tokoh pro-perbudakan seringkali memutarbalikkan Kitab Suci untuk mendukung klaim mereka bahwa orang kulit hitam lebih rendah dan ditakdirkan untuk menjadi budak. Kemunafikan ini terungkap melalui iman sejati para karakter budak, yang menyoroti kontradiksi antara nilai-nilai Kristiani dan praktik perbudakan.

Banyak tokoh budak, seperti Paman Tom, menemukan penghiburan dan harapan dalam iman Kristen mereka. Iman ini memungkinkan mereka untuk menanggung penderitaan dengan martabat, mempertahankan kemanusiaan mereka, dan bahkan secara tidak langsung melawan sistem melalui tindakan kebaikan dan pengampunan.

Karakter seperti Eliza Harris dan para Quaker menunjukkan bagaimana iman yang tulus dapat memotivasi individu untuk secara aktif memperjuangkan kebebasan dan kesetaraan. Ini menantang gagasan bahwa agama Kristen secara pasif menerima status quo, bahkan ketika dihadapkan pada ketidakadilan.

Novel ini tidak menghindar untuk menggambarkan bagaimana iman bisa menjadi mekanisme solusi bagi sebagian budak, yang berpotensi mengarah pada kepasifan dan penerimaan terhadap keadaan yang mereka hadapi. Hal ini memunculkan pertanyaan rumit tentang keterbatasan iman dalam menghadapi penindasan sistemik.

Tokoh-tokoh yang berbeda, baik kulit putih maupun kulit hitam, memiliki interpretasi yang beragam tentang iman Kristen. Kompleksitas ini mencerminkan realitas agama pada abad ke-19, di mana individu dan kelompok menafsirkan Kitab Suci dengan cara yang sesuai dengan kepercayaan dan posisi sosial mereka masing-masing.

Meski menggambarkan kekuatan dan daya tahan yang ditemukan dalam keimanan, novel ini dikritik karena melanggengkan stereotip “budak yang bahagia”, terutama melalui penggambaran Paman Tom. Penggambaran ini, meskipun kompleks dan dimaksudkan untuk membangkitkan simpati, dapat dilihat sebagai sikap meremehkan kebrutalan perbudakan yang sebenarnya dan upaya perlawanan para budak.

Aspek keagamaan dalam Uncle Tom’s Cabin memiliki banyak segi dan memainkan peran penting dalam pesan anti-perbudakan. Di saat kompleksitas dan ragam interpretasi yang berbeda tetap perlu dipertimbangkan, eksplorasi iman dalam novel ini berfungsi untuk mengekspos kemunafikan penggunaan agama untuk membenarkan penindasan dan menyoroti potensi nilai-nilai agama untuk menginspirasi terjadinya perubahan.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.