“Tiadalah empat orang Muslim bersaksi bahwa seorang jenazah itu orang baik, maka Allah masukkan ia ke surga.” Maka kami berkata: “Bagaimana jika cuma 3 orang yang bersaksi?” Beliau Saw bersabda: “Walau tiga!” Lalu, kami berkata: “Jika cuma dua?” Beliau bersabda: “Walau dua.” Lalu kami tak bertanya jika hanya satu.”
Begitu sabda Nabi Muhammad Saw yang dimuat dalam Shahih Bukhari. Dan saya dapatkan, di Twitter saja, pada hari wafatnya, ada lebih dari 3.000 tweet kesaksian bahwa almarhum Ahmad Taufik (selanjutnya “Ate”, sebagaimana ia akrab disapa) adalah orang baik. Belum lagi di Facebook, Instagram, Whatsapp, media sosial lainnya, atau yang disampaikan langsung pada keluarga Ate.
Tak terkecuali Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang datang langsung ke pemakamannya dan menyampaikan sepatah kata terakhir untuk Ate. Ya! Saya juga bersaksi bahwa Ate adalah orang baik.
Meminjam cara Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam bersaksi atas kebaikan Ali Audah dalam salah satu tulisannya, maka kali ini, jika saya mengucapkan “Asyhadu an-la ilaha ilallah, wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah”, perkenankan saya meneruskan “wa asyhadu anna Ahmad Taufik ya’malu ‘amalan shalihan wa ya’malu ‘amalan shalihan wa ya’malu ‘amalan shalihan.” Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah, dan aku bersaksi bahwa Ahmad Taufik beramal saleh dan beramal saleh dan beramal saleh.”
Apa saja amal saleh Ate? Buat Anda yang kenal beliau, pertanyaan itu pasti takkan relevan. Sebab, Anda pasti akan merasakannya sendiri. Setiap yang pernah berinteraksi, bahkan sekadar bertemu di mana ia selalu senyum dan ramah sejak pertemuan pertama dengan siapa saja, pasti merasakan kebaikannya.
Adapun buat Anda yang belum sempat kenal atau berinteraksi, mungkin sebagian catatan di bawah ini bisa jadi pengantar. Tapi, saya tegaskan lagi: “pengantar”. Artinya, selanjutnya Anda baca saja jejak tulisan dan sepak terjangnya yang sangat mudah Anda dapatkan melalui “Mbah” Google.
Saya baca di Twitter bahwa semua kesaksian yang jumlahnya ribuan itu bukan muncul tanpa dasar, sekadar bentuk belasungkawa. Namun, tweet-tweet itu dilengkapi dengan fakta sesuai pengalaman mereka masing-masing yang menyaksikan langsung bagaimana kebaikan Ate. Bukan hanya dalam konteks aktivisme dan jurnalismenya, tapi hingga dalam hal-hal paling pribadi dan “kecil”.
Kebaikannya tanpa batas dan tak mesti “besar” memang. Salah satunya, banyak yang bersaksi bagaimana Ate memilih dan mampu tetap senyum dan berkelakar di tengah ancaman (risiko aktivisme dan tulisan-tulisannya) atau kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Ia seolah tak ingin siapa saja yang di sekitarnya ikut menjadi “korban” bagi jalan perjuangan yang dipilihnya.
Dan memang begitu Ate, ia kerap tak peduli walau harus berdiri sendiri atau bersama segelintir aktivis saja dalam berjuang, misalnya dalam menggugat ke pengadilan agar akses ke Ancol digratiskan sebagai pantai publik atau yang terakhir adalah menentang kedatangan Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz karena kedigdayaan dan penindasannya terhadap rakyat Yaman.
Saya pribadi, punya pengalaman “kecil” tersendiri dengan Ate. Buku saya, yang tak lain adalah bocah semester 5 saat itu, diresensi oleh Ate yang merupakan jurnalis ternama. Bagaimana bisa? Begitulah Ate! Tak ada gengsi dalam kamus hidupnya. Ia menulis apa saja yang menurutnya perlu ditulis karena baik untuk publik. Buku saya yang terbit 2015 lalu, ia juga yang meresensinya.
Seperti ia tulis dalam resensi itu, ia suka pada apa yang saya tulis, yang menampilkan Islam yang moderat, toleran, segar, dan “renyah”. Islamnya sungguh proporsional: garang pada kezaliman, toleran pada perbedaan. Dalam konteks jurnalisme, kita semua tahu bagaimana ia menjadi salah satu jurnalis di barisan depan dalam menuntut kebebasan pers hingga harus dipenjara lebih dua tahun. Prinsipnya, seperti pernah ia katakan: “Memberitakan informasi apa adanya adalah kewajiban saya, dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi itu.”
Ia berjihad dengan pena. Karenanya, terminologi yang dipakainya sakral: “hak” dan “kewajiban”. Baginya, menulis itu sakral, ibadah. Ketika ia dipenjara oleh Orde Baru, alih-alih menghentikan perjuangannya, ia justru seolah bertemu lahan perjuangan baru lantaran melihat kezaliman bahkan menyelinap ke sana. Sehingga, ia menggugat dengan menulis khusus sebuah buku berjudul Penjara: The Untold Stories.
Ia menggugat: “Penjara bukan lagi hotel prodeo, tapi menjadi lahan bisnis. Segala taktik licik pun dipraktikkan dalam setiap proses hukum, mulai dari penangkapan, penempatan dalam ruang tahanan sampai pembebasan.” Entah apa yang ada di benak dan dadanya, sehingga di mana ia ada, seolah ia tak ingin ada ketidakadilan di sana. Ia memperjuangkannya. Ate juga tak pernah berhenti di sekadar menulis, meskipun “sekadar” menulis pun bisa jadi sudah cukup untuk seorang jurnalis sepertinya.
Ia mau untuk belajar lagi dan lagi untuk misi perjuangannya, idealismenya. Karenanya, seperti ditulisnya pada pertengahan 2015 di Koran Tempo, ketika ia ikut dalam seleksi “tukang sapu” (istilah yang populer saat itu dan digunakan Ate untuk menyebut “KPK”), ia membuka tulisannya dengan kisah: “Bunda Teresa, seorang biarawati Katolik Roma di India. Selama hampir 20 tahun menikmati profesi sebagai pengajar di sekolah. Namun, pada 10 September 1946 saat bepergian dengan kereta api ke biara Loreto di Darjeeling, Kalkuta, melihat banyak orang miskin, yatim piatu, sakit dan sekarat. Kesaksian itu mengubah hidupnya dari sekadar mengajar di sekolah, menjadi melayani orang-orang melarat sepenuh jiwa. Bunda Teresa terpanggil.”
Lalu, Ate melanjutkan: “Bukan mau menyamakan diri dengan Bunda Teresa yang mulia itu, selama lebih dari 20 tahun, penulis (Ate, pen) menikmati profesi sebagai jurnalis. Melihat banyaknya ketidakadilan dan orang-orang miskin yang terabaikan tanpa pembelaan, mulailah merambah dunia hukum (kepengacaraan/advokat) empat tahun belakangan ini.
Lalu, melihat semakin maraknya korupsi, seolah pelakunya tak jera melihat banyak koruptor ditangkapi. Penulis merasa pemberantasan korupsi berjalan di tempat, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti ‘kelelahan’. Itulah membuat penulis terpanggil, ikut dalam pencalonan menjadi komisoner KPK.”
Saat hidup, Ate belum mendapatkan penghargaan sesuai jasa perjuangannya. Termasuk dari saya pribadi. Ia telah banyak memberi pada saya, tapi saya belum pernah sempat membalas. Karenanya, saya ingin kita berikan penghargaan dengan doa tulus untuk ruhnya. Dan, yang juga tak kalah pentingnya, kita abadikan ruhnya di sini dengan melanjutkan gagasan dan perjuangannya. Dia benar-benar ingin kita terlepas dari segala penindasan dan kezaliman.