Bagaimanakah Anda mengingat Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto? Apakah Anda mengingatnya dengan Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC)? Satu badan pimpinannya yang merampas berlimpah-limpah pendapatan petani cengkeh? Apakah Anda mengingatnya dengan Timor? Satu perusahaan tanpa pengalaman miliknya yang tiba-tiba dimandati menjadi produsen mobil nasional?
Saya yakin, mengingat kancah lincah Tommy, Anda pasti memiliki pusparagam cara untuk mengingatnya. Anda bisa mengingatnya sebagai petaruh bila Anda mau—almarhum George Junus Aditjondro mencatat ia muncul beberapa kali di kasino asing dan merogoh proyek-proyek di negara bersangkutan untuk mengganti rugi kekalahannya. Anda pun bisa mengingatnya sebagai seseorang yang bisa melakukan apa saja untuk memperoleh tujuannya. Apakah Anda masih ingat dengan kasus yang akhirnya menempatkannya dalam bui tahun 2002-2006? Bila tidak, saya sarankan Anda mulai menjelajahinya.
Dan tentu saja Anda mendengar namanya pada bocoran berkas-berkas keuangan—sinyal bahwa ia masih mempunyai kekayaan berlimpah yang ditimbun di luar sana.
Namun, di antara sekelumit citra yang terbersit ketika namanya tersebut, saya tak yakin ada yang bisa membayangkannya sebagai figur terhormat. Mungkin segelintir orang yang dibawanya menanjak tangga sosial—dan mengurus “pekerjaan-pekerjaan sampingannya”—dapat membelanya mati-matian. Mungkin sebagian lagi ada yang mengatakannya ganteng dan mengagumi kerupawanannya. Persoalannya, sebanyak apa para koleganya ini dibandingkan mereka yang dimelaratkannya dan apa urusan ketampanan dengan catatan kelam masa silam?
Terlebih, bagaimana mengatakan bahwa ia adalah figur yang layak kembali memimpin Anda ke hadapan para petani yang dibangkrutkannya dan, jelas, jumlahnya tak sedikit? Ke hadapan para warga yang tanahnya digaruk dalam proyek pembebasan lahan pimpinannya? Bagaimana, bahkan, mempertanggungjawabkannya sebagai insan manusia ke depan semua warga yang negaranya diaduk-aduk tepat di hadapan mereka dan tak berdaya kecuali menatapnya?
Kendati demikian, selalu ada satu strategi pencitraan yang masih bisa dipakai ketika manuver-manuver lainnya kandas. Satu pencitraan yang menebus dosa dan dapat melontarkannya kembali menjadi figur yang relevan dalam perbincangan politik nasional.
Benar: mendekatkan diri dengan agama. Dan kebetulan, hari-hari ini, kalau nama Suharto tak mengemuka berbarengan Tommy yang menampilkan kedekatan-kedekatan ganjil dengan kelompok Islam, ia muncul dalam haul yang menjadikan sosok presiden kedua kita nampak lebih Islami dibandingkan citranya sepanjang hayatnya. Pada tahun 1970-an, Suharto adalah sosok yang identik dengan kebatinan. Tahun 1980-an? Kalau ingatan Anda baik, peristiwa Tanjung Priok pecah pada medio dasawarsa ini.
Rezimnya menindas kelompok Islam dengan asas tunggal Pancasila yang ditegakkan melalui laras peluru. Tahun 1990-an, namanya serta-merta berganti menjadi Haji Muhammad Suharto. Dan, reaksi pertama orang-orang adalah mencibirnya. Di mata mereka, ia secara telanjang tengah memainkan kartu politik Islam. Hubungannya dengan militer renggang dan, menjelang Pemilu 1992, ia memerlukan bantalan politik baru.
Suharto, intinya, tak pernah selekat itu dengan Islam. Setidaknya, tak pernah selekat bagaimana aplikasi Photoshop menempatkannya di poster “dzikir dan shalawat untuk negeri” seakan ia merupakan cahaya bagi para ulama paling kondang di negerinya.
Tommy sendiri? Satu dari sedikit keterpautannya dengan Islam adalah ketika Suharto mulai meminta seorang pendakwah kondang, Kyai Haji Qosim Nurseha, untuk mengajar anak-anaknya agama pada awal 1980-an. Tommy mungkin salah satu yang diajar agama saat itu. Sementara, pada hari-hari lain di kurun Orde Baru, ia dikenal sebagai seorang jetsetter yang tak pernah menampik kesenangan-kesenangan duniawi paling mahal.
Lantas, pada hari-hari ini, ia terlihat dalam Rapimnas salah satu organisasi Islam terbesar dan diperlakukan layaknya seorang penggawa di dalamnya. Ia menunjukkan kedekatan berarti dengan para pemimpin agama dan keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan mereka. Ayahnya, yang nama dan bayang-bayangnya akan selalu disandangnya, menjadi sosok yang seakan kepemimpinannya punya raison d’être menyelamatkan Islam dari bahaya komunisme di masa silam.
Masuk akal? Masuk akal.
Bila modal sang mantan oligark untuk meruwat reputasinya adalah segala dalih yang wajar, ia jelas akan kesulitan melakukannya. Perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukannya adalah kesewenangan yang sukar dibenarkan dengan logika apa pun. Ia sudah mengempaskan kehidupan tak sedikit orang. Melanggar satu-persatu norma yang mungkin untuk ditetapkan dalam kehidupan bernegara. Seorang raja sekalipun, yang acap dibayangkan punya kekuasaan tak terbatas, akan melanggar batas dan digunjingkan sebagai raja yang lalim bila melakoni apa yang dilakukannya.
Dan ingat: raja-raja masa silam tak pernah punya bekingan teknologi yang memungkinkannya mengisap kekayaan dari satu ujung Indonesia ke ujung Indonesia lainnya sebagaimana yang dimiliki para oligark modern kita.
Tetapi, bila apropriasi agama selama ini terbukti ampuh memalingkan mata orang-orang dari kenyataan tepat di hadapannya, maka Tommy berada pada jalur yang paling tepat untuk menyelamatkan apa yang masih tersisa dari reputasinya—bahkan, membangunnya kembali menjadi lebih terhormat dari yang sudah-sudah katakanlah ia berhasil.
Apa yang dapat menghentikan Anda bertanya dan mulai bertindak, menaati, mengidolakan seseorang kalau bukan dalih sakralitas? Apa yang memungkinkan Anda mematuhi satu sosok tanpa mempedulikan perbuatannya kalau bukan kepercayaan bahwa pesan yang dibawanya religius?
Dan dari preseden-preseden yang ada, pencitraan religius, memang, menjadi pilihan paling logis bagi para oligark. Bolehlah kita singgung di sini fakta-fakta figur-figur yang tertangkap dengan tuduhan korupsi tempo hari menjadi martir nan mulia. Mereka menjadi martir sesederhana dengan menimpali bahwa ia merupakan korban konspirasi anti-Islam yang tengah menyasar satu-persatu pejabat yang menjadi pancaran sinar ketuhanan di tengah-tengah negara dalam ancaman krisis moral.
Dengan demikian, terungkapnya skandal-skandal memalukan sang figur tak berarti akhir dari karier politiknya. Ia, toh, tetap akan memiliki konstituen yang diperlukannya untuk mobilisasi-mobilisasi politik.
Dan bagaimana tepatnya Suharto sendiri mencoba merasionalisasi kelengserannya di tengah hari-hari lowongnya selaku seorang pensiunan presiden? Dengan menegaskan, ia merupakan korban dari konspirasi Zionis yang berkepentingan agar Indonesia tumbuh menjadi pusat kebangkitan Islam dan bukan karena karma penzaliman rakyat demi penzaliman rakyat yang ditumpuknya sendiri.
Saya bukan seorang teolog. Namun, saya cukup yakin, agama tidak pernah absen dari asas keadilan. Dan yang paling pertama dinistakan ketika ia dieksploitasi untuk menebus dosa para oligark—yang tak pernah teradili oleh korban kezalimannya—tak lain dari agama itu sendiri. Ia direndahkan menjadi milik para penguasa cum raja bisnis cum penikmat hidup yang sanggup membelinya. Singkat kata, milik para oligark. Dan ia, akhirnya, justru tak pernah menyediakan tempat untuk kawula yang lebih membutuhkan haknya diadvokasi dari kelaliman-kelaliman sosok-sosok ini.
Tafsir agama yang ramah terhadap watak korup oligarki. Satu perkakas penindasan yang sempurna. Apa yang lebih mengerikan dibanding itu?
Kolom terkait:
Ongkos-Ongkos “Aksi Bela Islam”