Jumat, April 26, 2024

Politik Orang Minang

Israr Iskandar
Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas IImu Budaya Universitas Andalas Padang

Sebagaimana masyarakat-masyarakat lain di Nusantara, tingkah laku politik masyarakat Sumatera Barat dalam konteks dinamika politik nasional mutakhir menarik dicermati. Gejala tingkah laku politik warga Sumbar sejak beberapa tahun belakangan bahkan terkesan berbeda dengan spektrum politik orang Minang masa-masa sebelumnya.

Apakah tingkah laku politik masyarakat Sumbar dewasa ini telah mengalami perubahan tertentu ataukah justru masih terdapat sejumlah kelanjutan dari corak dan orientasi politik orang Minang pada masa-masa sebelumnya?

Perspektif Historis

Corak perpolitikan masyarakat Sumbar atau Minangkabau dalam sejarah modern Indonesia bisa ditelusuri dari zaman kolonial, khususnya awal abad 20. Manifestasinya diwakili eksistensi sejumlah kaum cerdik cendekia yang terlibat dalam kancah pergerakan kebangsaan dalam konteks perjuangan politik maupun kebudayaan secara umum.

Dalam lapangan politik, tokoh-tokoh pergerakan hasil pendidikan modern (Barat dan Islam) itu memiliki idiologi perjuangan berbeda-beda, namun tetap saling menghormati satu sama lain. Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Yamin, Natsir, dan Chaerul Saleh, misalnya, memiliki paham politik saling berlainan, namun mereka memiliki mimpi bersama, yakni Indonesia merdeka, suatu mimpi yang melampaui batas imaji kultural asalnya.

Barulah pascakemerdekaan, corak politik Minang pada tataran popular behavior lebih definitif. Hasil Pemilu 1955 menunjukkan orang Minang di Sumbar khususnya condong pada partai Islam. Sekalipun penduduknya tidak sebanyak Jawa, tapi Sumbar adalah salah satu basis politik Islam terpenting di Indonesia. Kemenangan Masyumi sebesar 49 persen, diikuti Perti 28 persen di Sumbar menjelaskan relasi keberagamaan dengan preferensi mayoritas Minang pada politik Islam.

Yang cukup menarik, PKI bertengger di urutan ketiga di Sumbar dengan perolehan suara 7 persen. Sementara PNI yang unggul secara nasional, di Sumbar hanya memperoleh 1 persen suara. Begitu pula NU yang masuk tiga besar se-Indonesia, di Minangkabau mendapatkan 1 persen saja (Zed, Utama, Chaniago, 1997). PSI yang terkenal sejak awal kemerdekaan, bahkan banyak tokohnya berasal dari Minang dan juga menduduki banyak posisi birokrasi saat itu, tetap tidak populer di kalangan akar rumput di daerah.

Namun awal dekade 1960-an, ekspresi politik Minang seolah “tenggelam” menyusul keterlibatan sebagian (besar) rakyat Sumbar dan tokoh-tokohnya dalam Pemberontakan PRRI (1958-1961), gerakan politik dan militer yang awalnya terutama bertujuan mengoreksi penyimpangan Konstitusi. Penumpasan PRRI diikuti pembubaran Masyumi dan PSI oleh pemerintahan Soekarno, karena pemimpin kedua partai dianggap terlibat dalam pemberontakan “setengah hati” itu, seolah menjadi “titik balik” bagi peran politik, intelektual dan bahkan sosial budaya suku bangsa Minang di pentas nasional.

Memasuki masa Orde Baru, pasca kudeta PKI yang gagal pada pertengahan 1960-an, tingkah laku politik orang Sumbar mengalami perubahan penting. Kegagalan rehabilitasi Masyumi di awal Orde Baru memaksa sebagian elit Minang dan massa-rakyat memilih berlabuh ke Golkar, partai penguasa yang tak mengaku sebagai partai itu. Sebagian lagi (khususnya sejak Pemilu 1977) memilih PPP, partai hasil fusi empat partai Islam; dan sisanya memilih PDI, partai hasil “metamorfosis” kekuatan nasionalis lama dan Kristen yang (seperti PPP) juga sudah “dibonsai” rezim sejak awal.

Hal cukup menarik, untuk konteks pengalaman Sumbar, Orde Baru yang berkuasa secara otoritarian-militeristik selama tiga dekade lebih justru dianggap berjasa tak hanya menumpas PKI dan meminggirkan secara sistematis kekuatan “Orde Lama” — corak kekuasaan yang meninggalkan “luka” dan bahkan “dendam politik” di sebagian kalangan Minang, tetapi juga memulihkan kondisi daerah yang babak belur akibat “perang saudara” dan pendudukan tentara pusat di era sebelumnya. Dukungan maksimal masyarakat Sumbar pada Golkar selama enam kali pemilu era Soeharto dalam batas tertentu dianggap sebagai refleksi pilihan “masuk akal” kala itu.

Namun resikonya, sejak saat itu, dalam lapangan politik khususnya, terjadi perubahan orientasi politik Minang (juga beberapa daerah lainnya) dari sebelumnya condong pada “politik Islam” yang idiologis menjadi “politik pembangunan” bercorak pragmatis. Di tengah proyek “deideologisasi” semua kekuatan politik dan “depolitisasi” atas rakyat, Golkar justru kemudian juga menampilkan wajah Islamisnya. Tidak heran, PPP yang pernah menyebut diri sebagai “rumah besar” umat Islam sekalipun kalah telak dari Beringin, termasuk di Sumbar, terlepas adanya rekayasa penguasa masa itu.

Datangnya era reformasi, corak tingkah laku politik masyarakat Sumbar menunjukkan beberapa pergeseran dan kesinambungan tertentu. Dalam memilih partai maupun tokoh pemimpin nasional, tingkah laku politik mereka tak hanya dipengaruhi corak politik warisan “semangat” Orde Baru yang “berjasa” dalam pembangunan daerah atau “mambangkitkan batang terendam”, tetapi (dalam batas tertentu) juga politik warisan “semangat” Islam idiologis era 1950-an dan juga corak Islam baru.

Tidak heran, dalam Pemilu Legislatif 1999, Golkar yang masih unggul di Sumbar ditempel ketat PAN dan PPP. Begitu juga Pileg 2004, 2009, 2014, dan 2019, di mana secara keseluruhan partai-partai yang punya “tali darah” dengan Orde Baru, yakni Golkar, Demokrat dan Gerindra selalu unggul (silih berganti) dan kemudian disusul partai-partai Islam atau berbasis ormas Islam, termasuk bercorak baru, khususnya PKS.

Seiring makin kaburnya perbedaan platform antarpartai, kelanjutan corak tingkah laku politik warga Sumbar tercermin juga kemudian dari hasil Pilpres langsung. Pada Pilpres 2004 di Sumbar, putaran pertama dimenangkan Amien Rais-Siswono Yudohusodo (36,1 persen), disusul Wiranto-Salahuddin Wahid (29,8), Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (25,3), Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi (5,9) dan Hamzah Haz-Agum Gumelar (2,8). Keunggulan Amien di Sumbar tak hanya karena ia tokoh reformasi, tapi juga mewakili corak Islam berkemajuan (“modernis”), sekalipun gagal melaju ke putaran kedua.

Pada putaran kedua yang mempertemukan SBY-JK versus Megawati-Hasyim, dalam konteks dinamika politik yang terpolarisasi, preferensi masyarakat Sumbar condong kepada pasangan pertama karena dianggap relatif “dekat” dengan spektrum politik mereka. SBY-JK bahkan memperoleh 84 persen suara berbanding 16 persen untuk Megawati-Hasyim.

Hasil Pilpres 2009 di Sumbar juga dapat kembali menjelaskan kelanjutan orientasi politik masyarakat Sumbar. Pasangan SBY-Boediono unggul 79,91 persen suara, disusul JK-Wiranto 14,2 persen dan terakhir Megawati-Prabowo Subianto 5,9 persen. Terlepas dari pasangannya, minimalnya elektabilitas Megawati di Sumbar kembali menunjukkan bahwa spektrum politik yang berakar dari aliran (meminjam kategori Feith & Castles, 1988) “nasionalisme radikal” memang tetap kurang populer di kalangan Minang.

Namun Pilpres 2014 dan 2019 seolah mewartakan corak politik yang beda lagi di kalangan Sumbar. Pilpres 2014 yang mempertemukan Prabowo-Hatta Radjasa versus Jokowi-JK dan bahkan Pilpres 2019 yang mempertemukan (kembali) Jokowi-Maruf Amin versus Prabowo-Sandiaga Uno seolah mengubah orientasi politik warga Sumbar. Rivalitas yang diharubiru antagonisme politik dan diamplifikasi lewat penggunaan media sosial mengkristalisasi pilihan mayoritas warga Sumbar pada figur yang dipersepsikan dekat dengan aspirasi dan ekspresi politik mereka.

Inilah yang turut menjelaskan mengapa Prabowo-Hatta (meskipun kalah di tingkat nasional) menang besar di Sumbar dengan raihan sekitar 77 persen suara berbanding 23 persen perolehan Jokowi-JK pada Pilpres 2014, meskipun JK sendiri beristrikan orang Minang dan Jokowi sendiri sebelumnya dianggap sukses memimpin Solo dan Jakarta. Pada Pilpres 2019, kemenangan Prabowo itu makin besar lagi yakni 86 persen berbanding 14 persen. Kekalahan Jokowi di tanah Minang (namun menang secara nasional) juga berpengaruh pada partai-partai pengusungnya di Sumbar, yang sebagian harus kehilangan suara dan kursi di Senayan seperti dialami PDIP.

Padahal untuk Pilpres 2019, Jokowi sebenarnya punya modal politik lebih besar dibandingkan Prabowo. Jokowi-Amin juga didukung partai-partai yang memiliki tokoh-tokoh politik yang memiliki basis cukup kuat di bawah. Selain itu selama menjabat, Jokowi sering berkunjung ke daerah ini dengan sejumlah program pembangunan, seperti Kawasan Wisata Mandeh, kereta api Bandara Minangkabau, proyek jalan tol Padang-Sicincin dan lainnya.

Namun memang di tengah kecenderungan politik “hitam putih” yang berkembang di negara kita belakangan ini, yang antara lain memanfaatkan secara masif isu SARA, spektrum politik orang Sumbar sendiri juga seolah tak beranjak maju, bahkan malah sebaliknya. Tak heran ketika kontestasi memilih pemimpin nasional hanya menghadap-hadapkan dua pilihan politik dalam oposisi biner, masyarakat pun cenderung menyokong salah satunya secara “mutlak” dan monolitik.

Tidakkah perkembangan mutakhir ini mengindikasikan suatu kemunduran tertentu dalam peradaban politik kita, terutama jika dibandingkan dengan peradaban politik generasi Perintis Republik?

Israr Iskandar
Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas IImu Budaya Universitas Andalas Padang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.