Sabtu, April 27, 2024

Pancaran Sinar Ketuhanan untuk Yang Mulia Patrialis Akbar

Ferena Debineva
Ferena Debineva
Pendiri dan Ketua Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC).
Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar masuk kedalam mobil tahanan KPK usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/1). KPK menahan Patrialis Akbar bersama tiga tersangka lain yakni Pengusaha Basuki Hariman dan sekretaris Ng Fenny serta perantara Kamaludin terkait dugaan suap "judicial review" uu tentang peternakan dan kesehatan hewan dengan mengamankan dokumen pembukuan perusahaan, voucher penukaran mata uang asing serta draft putusan perkara. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/pras/17.
Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar masuk ke mobil tahanan KPK usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/1). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/pras/17.

Kabar penangkapan Patrialis Akbar yang terkait kasus suap judicial review impor hewan ternak yang terjadi pada 26 Januari 2017 bagi saya adalah the jokes of the year. Sebuah pembuka awal tahun yang amat menyenangkan. Bagaimana tidak, operasi tersebut bagaikan mendapat pancaran sinar ketuhanan, sebuah istilah yang dipinjam dari Hakim Ketua Arief Hidayat, yang juga Ketua Mahkamah Konstitusi, dalam konsep pengadilannya yang religius dan ironi dari sistem peradilan di Indonesia.

Kabar mengenai Yang Mulia dan yang terhormat, Dr. H. Patrialis Akbar, S.H, M.H, Hakim Mahkamah Konstitusi dan Mantan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, diringkus dalam operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di sebuah hotel berlokasi di Taman Sari bersama seorang wanita saat sedang bertransaksi suap.

Patrialis Akbar, yang belakangan dikenal juga karena ceramah keagamaannya, seakan-akan lupa dalam pernyataan-pernyataan sebelumnya, saat dirinya mengemukakan bahwa lembaga-lembaga negara yang tersedia harus diisi orang-orang berakhlak dan berakidah kuat, dan bahwa masalah yang dihadapi bangsa Indonesia, mulai dari pemerintah pusat sampai daerah, berawal karena lembaga negara tidak diisi orang-orang yang berakhlak mulia.

Selain itu, Patrialis yang terkenal dengan klaim-klaimnya yang keras pada LGBT dan perilaku seksual konsensual di luar nikah, dalam sidang permohonan judicial review pasal 284, 285, dan 292 KUHP, selalu berbasis penegakan moral dan kesucian akhlak. Salah satunya ketika dalam salah satu sidangnya Yang Mulia Patrialis membacakan al-Qur’an surat An-Naba 21-30 yang berbicara mengenai ancaman neraka jahanam bagi orang-orang yang melampaui batas.  Ruang sidang di gedung Mahkamah Konstitusi pun berubah menjadi pengajian mingguan.

Mungkin penyuapan bukan sebuah keadaan yang betul-betul menjadi ancaman kemuliaan, kesucian nilai moral agama, dan ketertiban, seperti yang pernah digaungkannya. Tidak mungkin demikian, apalagi belakangan ini Patrialis disibukkan dengan pengajian digital YouTube dan memberikan nasihat-nasihat religius, membangun pesantren di kawasan Puncak, Bogor. Kemunculan pernyataan-pernyataan yang religius semacam ini seringkali menjadi tameng moralitas seseorang, yang sekarang berbalik menjadi sebuah bumerang.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa justru orang yang dianggap religius terjerat pada kasus sedemikian rupa? Bukankah individu religius adalah individu yang amat bermoral?

Moralitas, Agama, dan Korupsi

Berbeda dengan yang diyakini individu pada umumnya, moral tidak berkaitan dengan agama. Studi menunjukkan bahwa individu yang religius tidak lebih mungkin melakukan hal-hal yang baik dibandingkan individu yang tidak religius. Pun afiliasi dengan agama (atau politik) tidak selalu mampu mendikte pemahaman individu terhadap yang benar dan salah secara moral.

Lawrence Kohlberg (1981) menjelaskan bahwa religiusitas dan penalaran moral tidak terkait satu sama lajn karena keduanya berada di dua wilayah yang berbeda: pembuatan keputusan moral didasarkan pada argumen rasional tentang keadilan dan dipengaruhi oleh perkembangan tingkat kognitif dan paparan pengalaman sosial-moral, sedangkan penalaran agama merujuk berdasarkan wahyu oleh otoritas keagamaan.

Karenanya, dasar kaitan antara religiusitas agama dengan korupsi berasal dari argumen bahwa agama mengajarkan keadilan dan kejujuran bagi semua orang seharusnya tidak dapat digunakan. Klaim religius tersebut biasanya digunakan untuk memicu asumsi bahwa pemimpin agama dapat direkrut untuk memerangi korupsi, pemimpin haruslah yang mempunyai agama (dan kuat memegang teguh agamanya), dan bahwa tindak kejahatan (termasuk korupsi) dilakukan oleh orang yang tidak religius atau tidak beragama. Padahal, banyak negara-negara yang paling korup di dunia, termasuk Indonesia, juga termasuk dalam peringkat negara dengan tingkat religiusitas tertinggi.

Pernyataan mengenai religiusitas dan moral yang lebih tepat merujuk pada penelitian Prof. Jean Decety, yang memaparkan kenyataan bahwa individu yang religius justru cenderung kurang bermoral karena adanya “moral licensing”. Artinya, individu akan membenarkan sesuatu perlakuan/tindakan yang buruk atau tidak bermoral karena individu tersebut sudah melakukan sesuatu yang “baik”, seperti berdoa, atau dalam kasus Patrialis, membangun pesantren, memelihara jenggot, dan hal hal yang dianggap baik sesuai kriteria agama.

Hal ini terjadi karena adanya unconscious bias yang tidak mampu melihat bahwa pelanggaran yang dilakukan tidak sesuai dengan apa yang mereka pelajari dalam ajaran agamanya. Bias ini juga yang mendistorsi kepercayaan individu bahwa tindak korupsi adalah hal yang tidak atau tidak religius, melainkan sebatas nasib sial atau ujian semata.

Dalam hal ini pula seharusnya kita tidak heran jika penjara kita dipenuhi oleh orang-orang yang awalnya dianggap religius, terutama untuk kasus-kasus korupsi, dan keluar penjara dengan penghormatan yang sama akan religiusitasnya. Pencegahan korupsi, dalam sistem yang korup, tidak lebih dari lip service yang digunakan untuk mendulang simpati yang sudah basi.

Maka, seperti yang sudah-sudah, dengan memetik hikmah dan pembelajaran dari Patrialis Akbar dan mantan Presiden Republik Indonesia yang mengangkatnya, pancaran sinar ketuhanan dan keprihatinan saja, apalagi simbol-simbol agama, tidak pernah cukup untuk menyelesaikan masalah bangsa yang senantiasa menggerogoti kita.

Ferena Debineva
Ferena Debineva
Pendiri dan Ketua Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.