Saat kita bersiap menyambut tahun baru dengan harapan dan semangat baru, pemerintahan Xi Jinping di Tiongkok justru disibukkan dengan drama politik yang menegangkan. Alih-alih fokus pada resolusi dan perubahan positif, Xi Jinping justru melanjutkan ‘tradisi’ pembersihan di tubuh militer yang sudah dimulai sejak tahun 2012-2013.
Bayangkan, di saat sebagian besar dunia merayakan momen pergantian tahun, para petinggi militer di Tiongkok justru dihantui ketakutan akan pencopotan jabatan secara tiba-tiba. Dua tahun belakangan ini, pembersihan semakin gencar dilakukan, dan para jenderal serta perwira tinggi di Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) menjadi sasaran empuk.
Baru-baru ini saja, dalam kurun waktu dua hari, tiga pejabat tinggi militer diberhentikan dari jabatannya. Dua di antaranya adalah Yoo Yi Taa dan Li Pang Chung, keduanya jenderal di PLA yang juga memegang peran penting di Parlemen Tiongkok. Tugas mereka adalah merumuskan undang-undang militer, namun tiba-tiba saja mereka dicopot dari keanggotaan parlemen dan dipecat dengan tuduhan ‘melanggar hukum dan disiplin partai’.
Tentu saja, tuduhan tersebut hanyalah sebuah kode untuk menyembunyikan tuduhan sebenarnya, yaitu korupsi. Pemerintah Tiongkok memang cenderung menghindari kata ‘korupsi’ ketika berurusan dengan pejabat tinggi. Mereka lebih suka menggunakan istilah-istilah yang samar dan multitafsir untuk menghindari publisitas negatif.
Praktik pembersihan ini menimbulkan berbagai pertanyaan dan spekulasi. Ada yang menduga bahwa pembersihan ini merupakan upaya Xi Jinping untuk memperkuat cengkeramannya atas militer dan menyingkirkan lawan-lawan politiknya. Ada juga yang berpendapat bahwa pembersihan ini benar-benar ditujukan untuk memberantas korupsi di tubuh militer. Apapun motifnya, yang jelas pembersihan ini telah menciptakan atmosfer ketakutan dan ketidakpastian di kalangan petinggi militer Tiongkok.
Seringkali, pihak berwenang di Tiongkok bahkan tidak berusaha memberikan alasan yang jelas ketika memecat seorang pejabat tinggi. Mereka mengambil tindakan drastis tanpa penjelasan, seolah-olah tidak ada kewajiban untuk melibatkan transparansi. Salah satu contoh terbaru terjadi dua hari lalu, ketika seorang jenderal penting dipecat dari posisinya di Tentara Pembebasan Rakyat (PLA). Jenderal tersebut adalah Qin Wei Tong, yang menjabat sebagai komisaris politik untuk angkatan darat PLA. Jabatan ini memiliki arti strategis yang sangat penting bagi Partai Komunis Tiongkok.
Tugas utama seorang komisaris politik adalah menanamkan doktrin partai ke dalam militer, memastikan bahwa kesetiaan tentara tidak tergoyahkan terhadap Partai Komunis. Namun, ironisnya, sosok yang seharusnya menjadi penjaga kesetiaan ini justru diberhentikan dari posisinya. Meskipun Beijing belum memberikan pernyataan resmi, banyak yang menduga bahwa Jenderal Qin dipecat karena pelanggaran hukum partai.
Pengganti Jenderal Qin telah diumumkan, tetapi proses transisi ini menimbulkan berbagai pertanyaan. Biasanya, pergantian jabatan penting seperti ini akan diiringi oleh sebuah upacara formal, di mana komisaris politik yang baru diresmikan, dan pejabat yang digantikan akan hadir untuk menyerahkan posisi tersebut secara simbolis. Namun, kali ini tradisi tersebut tidak dilakukan. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Jenderal Qin dalam proses ini, dan ketidakhadirannya semakin memicu spekulasi publik tentang nasibnya.
Situasi ini menjadi semakin rumit karena hingga kini belum ada kabar mengenai penugasan baru untuk Jenderal Qin. Ketidakpastian ini memperkuat dugaan bahwa ia mungkin sedang menghadapi masalah serius. Kasus ini sejalan dengan pola yang sering terjadi di Tiongkok, di mana pejabat-pejabat tinggi tiba-tiba menghilang dari pandangan publik tanpa penjelasan, sering kali diduga terlibat dalam pengadilan rahasia. Dalam dua tahun terakhir saja, setidaknya 30 kasus serupa telah dilaporkan. Jumlah ini hanya mencakup kasus-kasus yang diketahui publik, sehingga tidak menutup kemungkinan ada banyak insiden lain yang sengaja dirahasiakan.
Beberapa contoh profil tinggi memperlihatkan bagaimana Beijing menangani pejabat yang disingkirkan. Li Shang Fu dan Wei Feng He, misalnya, adalah dua menteri pertahanan Tiongkok yang menjabat pada 2012-2013. Keduanya dicopot dari posisi mereka dengan tuduhan korupsi dan kemudian dikeluarkan dari Partai Komunis. Setelah itu, mereka menghilang dari pandangan publik. Hingga kini, tidak ada informasi yang jelas tentang nasib mereka. Apakah mereka masih hidup? Apakah mereka dipenjara? Atau nasib lain yang lebih buruk? Tidak ada yang benar-benar tahu. Yang jelas, mereka telah absen dari dunia publik selama lebih dari dua tahun, meninggalkan misteri yang tak terjawab.
Hal yang sama juga menghantui Menteri Pertahanan Tiongkok saat ini, Li Shang Fu. Namanya telah menjadi sorotan setelah laporan-laporan menyebutkan bahwa ia tengah diselidiki atas tuduhan korupsi. Tuduhan ini bukan hal baru di jajaran pejabat tinggi Tiongkok, tetapi kemunculannya bulan lalu menarik perhatian internasional. Financial Times, sebuah media berpengaruh, melaporkan kemungkinan bahwa Li Shang Fu sedang menghadapi penyelidikan internal terkait dugaan korupsi.
Namun, seperti biasa, Beijing dengan cepat membantah laporan tersebut. Juru bicara pemerintah Tiongkok menggambarkan berita itu sebagai “bayangan yang dikejar-kejar,” menyiratkan bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar. Terlepas dari penolakan resmi itu, status Li tetap penuh teka-teki. Ia sempat menghilang dari pandangan publik, hanya untuk muncul kembali dua minggu lalu. Kemunculannya, bagaimanapun, tidak disertai dengan klarifikasi apa pun terkait tuduhan yang diarahkan kepadanya, menambah lapisan misteri pada kasus ini.
Di tengah upaya Beijing untuk meredam dampak dari berita negatif ini, operasi pembersihan besar-besaran terhadap militer yang dipimpin oleh Xi Jinping terus berjalan tanpa henti. Situasi ini memunculkan pertanyaan mendasar yang sulit diabaikan: seberapa dalam akar korupsi di tubuh militer Tiongkok? Awal tahun ini, Xi Jinping sendiri membuat pengakuan yang jarang terjadi. Dalam sebuah pernyataan yang mengejutkan, ia mengakui bahwa militer Tiongkok menghadapi “masalah yang mendalam”—masalah yang, menurut pengakuannya, tidak berhasil ia atasi meskipun telah bertahun-tahun melakukan kampanye pembersihan dan investigasi. Pernyataan ini menggarisbawahi kenyataan pahit bahwa Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) adalah institusi yang sudah terkompromi.
Ambisi Xi Jinping untuk menjadikan PLA siap tempur pada tahun 2027 tampaknya menghadapi hambatan besar. Pada kecepatan ini, ia mungkin akan mendapati dirinya terlibat dalam “perang internal” dengan para pejabat militernya sendiri, alih-alih mempersiapkan tentara untuk konfrontasi eksternal. Bahkan, ada kekhawatiran bahwa tindakan keras yang sedang berlangsung ini dapat mengikis struktur kepemimpinan PLA hingga titik di mana hampir tidak ada jenderal yang tersisa untuk memimpin pasukan. Jika Xi terus melanjutkan kampanye tanpa henti ini, kesiapan militer Tiongkok mungkin akan menjadi masalah yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan tantangan yang dihadapi dalam mempertahankan stabilitas internalnya sendiri.