Jumat, Februari 7, 2025

Angsa Emas China Terancam Diburu

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Mari kita beralih ke China, negara yang dengan bangga menyebut dirinya komunis namun memiliki realitas yang jauh berbeda. Sebuah laporan mengejutkan dari media pemerintah mengungkapkan bahwa sektor swasta China menyumbang 50% pendapatan pajak negara, 60% PDB, 70% inovasi teknologi, dan 80% lapangan kerja perkotaan. Angka-angka ini menunjukkan betapa besarnya peran para pengusaha dalam mendorong pertumbuhan ekonomi China. Mereka adalah angsa-angsa emas yang menghasilkan kekayaan bagi negara.

Namun, di tengah pengakuan ini, muncul pertanyaan besar: mengapa pemerintah China seakan ingin “memasak” angsa-angsa emasnya? Bukti terbaru adalah kasus Renaissance Holdings, sebuah perusahaan investasi terkemuka yang tiba-tiba runtuh minggu ini. Harga sahamnya anjlok hingga 73%, menghapus dua pertiga nilai perusahaan. Renaissance, yang pernah menjadi pemain utama dalam merger besar dan IPO ternama, kini berada di ambang kehancuran. Apa yang menyebabkan kejatuhan dramatis ini?

Kejatuhan Renaissance Holdings bermula ketika Beijing ikut campur tangan. Pada Februari tahun lalu, pendiri perusahaan, Bao Fan, tiba-tiba menghilang dan kemudian diketahui sedang diselidiki oleh pemerintah China. Saham perusahaan pun dibekukan, perdagangan dihentikan. Bao Fan akhirnya mengundurkan diri pada Februari tahun ini, setelah hampir setahun menghilang.

Renaissance berjuang selama berbulan-bulan untuk mengatur keuangannya, dan baru minggu lalu mereka berhasil merilis laporan keuangan untuk tahun 2022 dan 2023. Setelah itu, pemerintah China mengizinkan saham perusahaan untuk kembali diperdagangkan, dan saat itulah terjadi kejatuhan dramatis harga saham pada hari Senin.

Apakah Beijing peduli dengan keruntuhan Renaissance? Tampaknya tidak, karena mereka telah mengambil bagian mereka tahun lalu. Perusahaan dipaksa membayar denda sekitar $1 juta, hanya karena pemerintah China menginginkannya. Begitulah, $1 juta, jumlah yang mungkin kecil bagi perusahaan sebesar Renaissance, namun cukup untuk menunjukkan kekuatan Beijing dan menghancurkan reputasi perusahaan.

Kisah Sun Dawu, miliarder berusia 70 tahun yang membangun kekayaannya dari peternakan babi, menjadi contoh lain dari pola yang semakin umum di China. Sun dipenjara sejak 2021 dengan tuduhan “memicu pertengkaran,” “menghasut massa untuk menyerang badan-badan negara,” dan “pendudukan lahan pertanian secara tidak sah.” Tuduhan-tuduhan ini sebenarnya mengarah pada satu hal: kritiknya yang vokal terhadap Partai Komunis China.

Selama bertahun-tahun, Sun berhasil bertahan meskipun sering melontarkan kritik tajam. Namun, era Xi Jinping membawa perubahan drastis. Sun, seperti banyak pengusaha lain yang berani bersuara, menjadi salah satu “angsa emas” yang “dimasak” oleh rezim.

Kasus seperti ini semakin sering terjadi. Miliarder China yang berani mengkritik pemerintah akan ditangkap dan dipenjara. Beberapa menghilang untuk sementara waktu, lalu muncul kembali dengan sikap yang jauh lebih penurut. Contohnya adalah Jack Ma, pendiri Alibaba Group, salah satu pengusaha paling terkenal di China. Pada Oktober 2020, Jack Ma mengkritik sistem keuangan China, dan tak lama kemudian ia menghilang dari publik.

Tiga bulan kemudian, ia muncul kembali, namun Alibaba Group harus membayar denda sebesar $2,8 miliar kepada pemerintah. Sejak saat itu, Jack Ma memilih untuk tidak menonjolkan diri. Ia mungkin beruntung karena tidak berakhir di penjara, namun pengalaman ini tentu meninggalkan bekas yang mendalam.

Sun Dawu, di usia 70 tahun, dijatuhi hukuman 18 tahun penjara. Hukuman yang pada dasarnya merupakan hukuman mati bagi seorang pria seusianya. Ini menunjukkan betapa kerasnya pemerintah China terhadap mereka yang dianggap melawan. Kasus serupa terjadi pada Ren Zhiqiang, mantan taipan properti yang mengkritik penanganan pandemi oleh pemerintah, dan Wu Xiaohui, mantan ketua perusahaan asuransi yang dituduh melakukan penggelapan. Keduanya juga dijatuhi hukuman 18 tahun penjara.

- Advertisement -

Pola ini sangat jelas: setiap pengusaha China yang mencapai kesuksesan besar atau berani mengkritik pemerintah akan menjadi target. Sektor swasta, meskipun diakui sebagai tulang punggung ekonomi China, tetap dianggap sebagai kambing hitam yang bisa dikorbankan kapan saja. Pemerintah China mungkin berusaha menampilkan citra ramah bisnis, namun kenyataannya jauh berbeda. Perusahaan asing semakin menyadari risiko berbisnis di China, karena jika perusahaan dalam negeri saja tidak aman, bagaimana dengan mereka?

Pemerintah China mengklaim tindakan keras ini sebagai upaya memberantas korupsi, namun banyak yang melihatnya sebagai upaya membungkam perbedaan pendapat. Siapa pun yang berani bersuara atau memiliki pengaruh yang cukup besar akan disingkirkan oleh Xi Jinping, dan kekayaan mereka seringkali disita. Ini bukan hanya terjadi pada pengusaha, tetapi juga pada aktor, atlet, bahkan pejabat pemerintah. Beberapa dari mereka mungkin muncul kembali, namun seringkali dalam kondisi yang jauh berbeda, kehilangan semangat dan kebebasan mereka.

Jadi, apakah semua orang yang dipenjara atau “menghilang” ini benar-benar korup? Atau mereka hanya kebetulan membuat marah penguasa China? Antara keadilan sejati dan ego Xi Jinping, kita semua tahu siapa yang akan menang pada akhirnya.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.