Jika kualitas pembangunan sumberdaya manusia menjadi ukuran kemakmuran, Indonesia jauh ketinggalan dari negeri-negeri Amerika Latin. (Lihat Tabel). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia kurang-lebih sama dengan Bolivia, negeri di peringkat paling bawah meski minim investor.
Mengapa Amerika Latin relevan kita bicarakan? Ini kawasan yang mengalami gejolak besar di masa lalu akibat liberalisasi ekonomi dan investasi asing, isu aktual berkaitan dengan Visi Indonesia dalam Pidato Presiden jokowi yang mengundang investor datang.
Bersama Orde Baru Indonesia, Amerika Latin adalah “kelinci percobaan” Washington Consensus pada 1970-an. Inilah konsensus yang dibuat oleh Pemerintah Amerika Serikat, Bank Dunia dan IMF (Dana Moneter Internasional) untuk meliberalisasi ekonomi dan menjadikannya satelit politik Washington. Motif lain: membebaskannya dari jerat komunisme.
Eksperimen itu meliputi pemberian utang dan pembukaan investasi besar-besaran bagi perusahaan multinasional. Ini dibarengi dengan “stabilitas politik” lewat kediktatoran serta keterlibatan militer.
Jika Indonesia punya Jenderal Soeharto, Chile punya Jenderal Agusto Pinochet, dan Peru punya Jenderal Juan Velasco Alvarado. Hal serupa terjadi di Ekuador, Brazil, dan Argentina.
Didukung Amerika Serikat, Jenderal Pinochet mengkudeta Salvador Allende, pemimpin sosialis yang terpilih secara demokratis. Operasi penggulingan Allende dinamai “Operasi Jakarta”.
Sama seperti di Indonesia, alih-alih membebaskan, eksperimen Washington Consensus itu menciptakan ketergantungan baru; lepas dari mulut buaya Soviet masuk ke mulut harimau Amerika. Dari sinilah “teori ketergantungan” muncul: utang dan investor asing menindas kemandirian, baik sosial, ekonomi maupun politik.
Era 1965-1990 sering disebut “Era Kegelapan” Amerika Latin, ketika ketimpangan ekonomi, pembelahan sosial (kaya vs miskin), dan keresahan politik akhirnya memicu pemberontakan serta perang saudara.
Negeri-negeri Amerika Latin juga disebut sebagai “banana republics” (republik boneka), karena pengaruh dan penguasaan dominan perusahaan swasta multinasional dalam kehidupan politik.
Setelah dua dasawarsa gejolak politik berdarah, pada 1990-an, Amerika Latin membalikkan arah. Dari sini muncul antara lain Revolusi Bolivarian ala Hugo Chavez (Venezuela) dan Gerakan “Pink Tide” di hampir seluruh negeri Amerika Latin yang memuncak populer pada tahun 2000, persis di pergantian abad. Itu sebabnya sering disebut “Sosialisme Abad 21”.
Di era baru sejak 1990-an, Amerika Latin mengadopsi pembangunan ekonomi-sosial ke corak yang lebih sosial-demokratis, meninggalkan Amerika tapi juga tidak membebek ke Soviet. Mereka menasionalisasi ekonomi, membatasi investasi asing, memperkuat modal sosial (social capital) lewat partisipasi dan pengorganisasian komunitas, buruh, petani serta masyarakat adat tradisional.
Tingginya nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mereka sekarang adalah berkat revolusi itu.
Tapi, tidak semua berhasil dan bukan tanpa hambatan. Di samping problem korupsi di kalangan politisi, ketimpangan ekonomi di Amerika Latin yang diwarisi dari eksperimen Washington Consensus masih cukup tinggi, dan senantiasa memicu ketegangan kaya vs miskin sampai sekarang.
Sebelumnya saya pernah menulis apakah kita layak sedemikian rindu investasi asing sampai harus menelanjangi diri sedemikian rupa? Apakah kita tidak sedang merendahkan martabat untuk sesuatu yang sebenarnya tidak penting?
Bertentangan dengan propaganda sejumlah ekonom, investasi asing ke sebuah negara bukan faktor terpenting dalam membangun ekonomi, apalagi dalam mencapai kesejahteraan menyeluruh bagi masyarakat.
“Mantra tentang pentingnya investasi asing disandarkan pada sejumlah mitos,” kata Dierk Herzer, ekonom dari Goethe University, Jerman.
Herzer cs mengkaji data 28 negara berkembang yang menonjol menerima investasi asing (FDI – foreign direct investment), termasuk Indonesia.
Pada sebagian besar negara tadi, menurut Herzer, tak ada kaitan antara FDI dengan pertumbuhan ekonomi, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hanya 4 negara (dari 28) yang memperoleh manfaat jangka panjang pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, tak ada kaitan sama sekali antara FDI dengan peningkatan income per kapita maupun tingkat pengetahuan (tranfers pengetahuan, teknologi dan ketrampilan manajemen).
Venezuela salah satu paling menonjol. Negeri ini terlalu bertumpu pada satu unggulan ekonomi, yakni minyak, dan gagal melakukan diversifikasi. Ketika harga minyak jatuh, plus embargo Amerika, krisis ekonomi menemukan bentuknya.
Krisis bertambah parah karena imbas ke wilayah politik: oposisi kelompok menengah kaya yang didukung Amerika Serikat (termasuk oleh Donald Trump belum lama ini) terus menggerogoti pemerintahan sosialis. Itulah yang dulu memaksa Chavez makin diktatorial, corak yang dilanjutkan oleh penggantinya sekarang, Nicolas Maduro.
Venezuela sering disebut sebagai “negara gagal”. Dalam beberapa tahun terakhir IPM-nya turun dramatis. Namun, dengan penurunan itupun, IPM Venezuela masih tetap lebih tinggi dari Indonesia.***