Kelas 2 SMA belajar morfologi? Jangan. Itu Berat. Biar Dilan saja yang melakukannya. Dilan yang serba bisa. Dilan yang begitu ajaib.
Sayangnya, Dilan bersama kawan-kawannya belajar morfologi hanya dalam biologi seperti adegan dalam filmnya. Andai saja mereka juga belajar morfologi bahasa. Jika dalam biologi, morfologi itu cabang ilmu biologi yang membahas tentang tata bentuk luar atau sruktur dari suatu organisme. Lain halnya dengan morfologi bahasa. Ini murni soal seluk beluk kata.
Jika saja anak zaman sekarang juga belajar morfologi (bahasa) sejak SMA, mungkin Dilan akan dikloning secara sempurna. Mungkin Dilan bukan pujangga satu-satunya. Mungkin juga Dilan tidak istimewa, sebab banyak Dilan lain juga melakukannya. Sebab, permainan kata akan menjadi hal yang biasa dilakukan oleh anak SMA zaman old maupun zaman now.
Yang sudah menonton film Dilan 1990 pasti tahu adegan ini. Adegan seorang guru yang meminta jangan lupa makan ikan, biar tidak lupa ingatan. Seharusnya adegan ini juga dinasihatkan pada terdakwa di persidangan yang tiba-tiba lupa ingatan. Atau pada mantan yang tiba-tiba lupa pernah menggombali, pernah berjanji, juga mengibuli. Juga pada Dilan yang seolah lupa bagaimana berlaku romantis pada mantan kekasih yang tak bisa dimilikinya sebagai seorang istri. (Ini bocoran untuk film Dilan seri 3).
Saya merasa terjebak di antara penonton Dilan 1990 yang kebanyakan anak baru gede (ABG). Tapi, saya tidak sendiri; ada puluhan remaja lanjut usia yang juga terjebak seperti saya. Namun, saya menikmati menjadi muda lagi. Tertawa cekikikan sendiri. Merasa dibawa ke masa 1990-an di mana masa itu tidak sepenuhnya indah seperti yang terjadi antara Dilan dan Milea. Jika hujan begitu romantis saat Milea dibonceng Dilan, justru hujan tahun 90-an petaka bagi saya yang sekolah jalan kaki.
Mengawali Februari sepertinya tampak sempurna jika kita bicara yang manis-manis, semanis Dilan. Saya belum tua-tua amat, namun pernah merasakan bagaimana menjadi remaja generasi 90-an yang jauh berbeda dengan sekarang. Zaman ketika buku menjadi satu-satunya sumber ilmu, zaman saat guru adalah penentu masa depan, kadang juga guru merasa paling benar, kala cinta adalah soal prahara.
Jika pada zaman itu remaja bicara cinta, maka akan selalu dikaitkan dengan perkawinan dini, hamil di luar nikah. Ah… suasana tahun 90-an memang pantas disebut salah satu masa terbaik bagi yang sempat melaluinya.
Ada baik-buruknya masa silam, begitu juga masa sekarang. Bisa saja membandingkan, namun jangan pernah menghakimi sebelum mengenal. Itulah yang ingin disampaikan Dilan dalam filmnya. Menjadi bad boy, bergaul dengan motor, dan pada masa yang bersamaan bergaul dengan buku, agama, dan kehidupan jalanan bukanlah aib.
Begitu juga menjadi seorang yang melulu akademis (sosok Kang Adi), monoton, yang pada saat bersamaan hanya membacakan price tag tidak selalu dipandang baik. Kadang hal paradoks membuat hidup seseorang lebih berdinamika. Seperti yang dilakukan Dilan, ia yang dijuluki panglima tempur geng motor, setidaknya masih ingat Allah saat ujian agama.
Film yang sudah tembus 2,2 juta dalam hitungan minggu ini sangat sukses. Getir suara Dilan juga lirih Milea masih mengawang-ngawang di hati penontonnya. Mereka membayangkan bertemu Dilan juga Milea yang asli atau memaksa kekasihnya agar sepuitis dan sebad boy Dilan. Namun, untuk saat ini, cukup kita menikmati Dilan dalam buku maupun filmnya dulu.
Suami saya yang memaksa saya menonton Dilan (padahal sebaliknya). Lalu, di tengah-tengah penayangan film, suami berujar, “Sayang, aku telat jadi bad boy.” Saya tiba-tiba memicingkan setengah alis saya.
“Ya, jelaslah telat. Sekarang kamu sudah tua. Saat waktunya bad boy tobat.”
Lalu, kami tertawa renyah. Masing-masing merasakan jatuh cinta lagi tapi tidak kami lanjutkan karena film Dilan masih diputar. Untunglah kami bukan Milea dan Dilan, sebab kami ingin cinta yang memiliki.
Ternyata, penting bagi seorang laki-laki untuk bisa “nakal” pada waktunya. Mereka akan melakukan hal-hal yang mereka sukai meski sedikit melanggar norma, lalu kembali tobat pada waktunya juga. Daripada “nakal”-nya telat?
Dilan dalam filmya sama persis dengan Dilan dalam bukunya. Jadi, tidak usah khawatir jika Dilan tiba-tiba berubah arah, bahkan ketika menonton filmnya Dilan seperti hidup, sebab senyum Iqbal Ramadhan sebagai aktornya sukses menaklukan nyinyiran netizen.
Sastra Indonesia patut berbangga, setelah Lupus, Rangga, pujangga lain yang tercipta bernama Dilan. Sayang, dalam hal pembacaan kalimat-kalimat puitis, Iqbal Ramadhan harus berguru lebih keras, lebih kuat pada Nicholas Saputra. Ini berat, Iqbal. Jika tidak kuat, biar aku saja. (lagi-lagi).
Perihal Dilan dan Milea naik motor keliling kota Bandung begitu mesra hingga lupa memakai helm, jangan ditiru. Kepala tak akan seharga dengan puisi-puisi Dilan yang meluluhkan hati ini. Atau jika ditilang, puisi-puisi Dilan tak bisa merayu polisi maupun membayar sanksi.
Film Dilan sukses di mata saya. Sebab, 4 orang lelaki yang ngikut bersama saya nonton Dilan, yang tidak diragukan kelaki-lakiannya ini, setelah menonton Dilan antri ingin membaca ketiga bukunya. Dilan…dia adalah Dilanku tahun 1990, Dilan…dia adalah Dilanku tahun 1991, dan Milea (Suara dari Dilan).
Mereka membaca serius, ingin memastikan puisi-puisi Dilan untuk dimodifikasi sesuai dengan tipe cewek-cewek incaran mereka. Ya…Pidi Baiq, Dilan, juga sang sutradara, sukses mendukung program literasi. Setidaknya, 4 orang lelaki yang saya sebutkan, bahkan seseorang yang lain yang telah menonton Dilan 1990 ini tergerak untuk membaca. Setidaknya, bisa meningkatkan indeks prestasi membaca Indonesia (yang sejauh ini masih memprihatinkan).
Percakapan Dilan dan Milea bukanlah percakapan seperti film Indonesia kebanyakan. Percakapan langsung. “Jam berapa sekarang” jawabannya “jam 12”, “Dimana kita melihat langit?” jawabannya “Ya..di tempat ini”. Ini percakapan biasa, percakapan langsung, yang sama sekali tidak membuat penonton maupun pembacanya berpikir.
Film Dilan 1990 ini menjawab pertanyaan saya tentang belum adanya film Indonesia yang menggunakan dialog tidak langsung (implikatur percakapan). Dilan 1990 melakukannya dengan baik, bak film-film luar. Saya contohkan yang mampu saya ingat.
- “Dilan…aku rindu”
Jangan rindu. Berat. Biar aku saja”
- “Sudah sembuh? (setelah dikecup)?”
“Langsung”
- “Kamu mau nganterin Susi ke rumah sakit?
“Tidak mencintai, bukan berarti membenci, kan?”
- “Kamu cemburu?”
“Cemburu itu buat orang yang tidak percaya diri”
“Trus?”
“Ya..aku sedang tidak percaya diri”
Harapan saya sebagai penikmat film Indonesia, kekuatan film itu salah satunya pada dialog. Dialog macam begini yang saya nanti. Ada jawaban juga pertanyaannya yang membuat berpikir, mengingat, lalu tidak mudah lupa.
Banyak hal rasional yang justru lucu dalam film maupun novel Dilan ini. Mirip seperti menyaksikan kuis Teka-Teki Sulit dengan pembawa acaranya Cak Lontong yang sableng itu. ketika Dilan mengirim TTS lengkap dengan kresek hitam putih yang jauh dari romantis untuk hadiah ulang tahun, kemudian memberi Milea makan malam dengan pecahan kerupuk yang sama sekali tak bergizi, bahkan memberi Milea kecemasan lewat teror teleponnya. Atau memberi Milea bibi pijit yang langsung menyembuhkan. Hanya satu yang rasional, yaitu puisi-puisi Dilan.
Lelaki menulis puisi bukanlah banci. Meski lelaki menulis puisi tak sepenuhnya bisa menghadirkan sepiring nasi, namun lelaki penulis puisi bisa meluluhkan hati. Nasi atau hati? Yang mana lebih abadi?
Sekali lagi, puisi dan lelaki bisa hidup berdampingan. Yang pandai menulis puisi bukanlah dia yang tukang gombal. Puisi itu bukan hanya kuat dalam kata, namun peka juga dalam rasa.