Selasa, April 30, 2024

Trotoar dan Kemalasan kita

Dede Kurnia
Dede Kurnia
Pemuda Tasikmalaya. Senang mengamati. Mahasiswa Pascasarjana di UPI Bandung. Bergiat di Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Priangan Timur (LPMP) dan Komunitas RSBS ometlit

Selain sebagai kelengkapan jalan raya, jalur pedestrian sejatinya merupakan ruang vital di kota, pasalnya tempat tersebut menjadi tempat sosialisasi antar warga sehingga dapat meningkatkan kepekaan sosial itu sendiri. Semakin banyaknya pejalan kaki, maka akan semakin banyak eyes on the street yang diyakini oleh banyak pihak dapat mengurangi risiko kriminalitas.

Ihwal trotoar ini, warga Tasikmalaya perlu berbahagia, pasalnya trotoar di kota ini sedang dibenahi. Penulis lupa kapan tepatnya perbaikan trotoar itu di mulai, yang jelas perbaikan trotoar tersebut hampir selesai sepenuhnya. Perbaikan trotoar di kota ini, sejatinya perlu disyukuri. Penulis berasumsi; langkah ini sebagai bentuk kepedulian Pemerintah Kota. Tidak hanya peduli terhadap hak-hak para pejalan kaki, tapi mungkin hal ini juga sebagai langkah untuk mempercantik Tasikmalaya yang konon sudah tak resik lagi.

Trotoar merupakan salah satu persoalan yang njelimet tidak hanya di Tasikmalaya, tapi di seluruh Indonesia. Persoalan trotoar ini, tidak hanya mengenai fisik trotoarnya, namun juga prilaku pengguna trotoar itu sendiri. Kita semua mafhum bahwa selain masalah kuantitas yang belum sepenuhnya memadai, di Indonesia dan secara khusus di Tasikmalaya trotoar banyak dialihfungsikan menjadi lapak pedagang kaki lima, tempat parkir, bahkan jalur alternatif ketika macet.

Di dalam beberapa hal mungkin kita adalah bagian dari pelakunya atau paling tidak berkontribusi dalam prilaku-prilaku demikian, sehingga kebiasaan-kebiasaan semacam itu tetap langgeng serta menjadi hal yang dimaklumi.

Jika diidentifikasi lebih jauh, permasalahan trotoar sebagaimana penulis telah sebutkan di atas, bisa jadi merupakan sebuah persoalan yang rumit. Kadangkala, kita senantiasa mengutuk para pedagang kaki lima yang menjajakan dagangnnya di jalur pedestrian kota, atau memaki pengendara yang melaju di jalur yang semestinya steril.

Di sisi lain, tanpa rasa bersalah dan dengan santainya kita berbelanja atau duduk manis menikmati kuliner yang jual di tenda kaki lima dengan mengambil ruang berjalan orang lain. Kita mengutuk, tapi tanpa disadari kita juga menikmati apa yang kita kutuk.

Hal Menarik

Tahun 2017 lalu, periset dari Stanford University mempublikasikan hasil penelitian yang menunjukkan Hong Kong menempati urutan teratas sebagai negara yang paling rajin berjalan kaki dengan rata-rata 6.880 langkah per hari, sementara Indonesia menempati poisisi juru kunci.

Mengindikasikan bahwa kita merupakan negara paling malas berjalan kaki, dengan hanya 3.513 langkah per hari. Hasil penelitian ini semakin menegaskan bahwa masyarakat Indonesia bahkan tak mampu melewati rata-rata langkah kaki penduduk dunia, yaitu sebanyak 4.961 langkah per hari.

Hasil riset tersebut dengan sangat jelas menunjukkan bahwa kebiasaan berjalan kaki kita begitu rendah, tentu sangat wajar apabila apabila penyerobotan trotoar masih terus berjalan. Hal ini tentu aneh, kita kerap menuntut trotoar agar stertil dari pengendara dan oknum pedagang nakal, namun pada realitanya kita termasuk sekumpulan orang yang malas berjalan kaki.

Trotoar di Tasikmalaya

Ihwal perbaikan trotoar di Tasikmalaya, semoga tujuan utamanya bukan “asal cantik”, namun dapat benar-benar memfungsikan trotoar sebagaimana awal pembuatannya oleh Haussman di Paris, Prancis, yakni sebagai simbol moralitas dan higienitas. Hal yang tak kalah penting, perbaikan trotoar ini bisa menyentuh eleman dasar, yaitu mempengaruhi prilaku berjalan kaki dan menggunakan public transit itu sendiri.

Di dalam hal ini, kita perlu mengapresiasi langkah pemerintah kota dengan merevitalisasi trotoar di Tasikmalaya. Hal lain yang perlu ditunggu adalah keberanian pemerintah menertibkan tenda-tenda kaki lima agar tidak menempati jalur-jalur yang tidak semestinya. Penertiban pedagang liar merupakan langkah substantif yang harus sesegera mungkin dilakukan agar trotoar dapat kembali dinikmati oleh oleh individu yang benar-benar berhak menikmatinya, yakni para pejalan kaki.

Apabila pemerintah sudah berani melakukan hal yang sebelumnya telah dipaparkan, maka hal tersebut pun perlu diimbangi dengan kultur berjalan kaki yang ditumbuhkan oleh masyarakat itu sendiri.

Sangat disayangkan apabila trotoar yang sudah dibangun dengan memakan biaya besar, oknum pedagang kaki lima telah ditertibkan dengan segala dinamikanya, namun masyarakat masih enggan dan kurang memiliki kesadaran untuk berjalan kaki menggunakan fasilitas yang terlah disediakan. Benar-benar sangat disayangkan.

Dede Kurnia
Dede Kurnia
Pemuda Tasikmalaya. Senang mengamati. Mahasiswa Pascasarjana di UPI Bandung. Bergiat di Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Priangan Timur (LPMP) dan Komunitas RSBS ometlit
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.