Selasa, April 16, 2024

Surat Terbuka untuk Kawan Muhammadiyah-NU Tentang Kabinet

Andriansyah Syihabuddin
Andriansyah Syihabuddin
Editor di sebuah penerbit di Jakarta, CEO Islam-Detik.Com. Kajian Islam bisa di lihat di Youtube Santri Abadi https://www.youtube.com/channel/UC8mAuwvH3gu1bEU1MHLV2Mg

As-salamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Kepada kawan-kawan saya di Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), posisi menteri agama (Menag) yang secara tradisi diberikan kepada NU, dan menteri pendikan dan kebudayaan (Mendikbud) yang juga lazim diamanahkan kepada Muhammadiyah, tak lagi berlaku.

Pengumuman Kabinet Indonesia Maju itu pun menimbulkan riak-riak kecil dalan komunitas Muhammadiyah-NU. Media tak ketinggalan ikut menyantapnya. Komunitas Muhammadiyah-NU kecewa.

Manusiawi belaka, kecewa atas apa yang biasa didapat kini diraba pun tak terjangkau, bukan? Wajar jika Muhammadiyah-NU merajuk dalam hal ini. Apalagi jika menimbang peran kedua ormas Islam terbesar itu bagi bangsa ini.

Merajuknya Muhammadiyah-NU tentu saja beda kelas dengan paguyuban relawan yang mengantarkan presiden ke kursi kepresidenannya. Jangan samakan Muhammadiyah-NU dengan paguyuban relawan yang merajuk karena gak dapat kursi menteri.

Lha memangnya apa jasa relawan seperti itu bagi bangsa ini? Kalau menghitung jasa, paling-paling relawan seperti itu cuma bantu-bantu kampanye yang kita tahu dalam Pilpres kemarin sangat bar-bar karena tak sepi dari ujaran kebencian, hoaks, dan menjual politik identitas. Relawan kedua pihak yang bertarung dalam Pilpres kemarin melancarkan jurus yang sama, bukan?

Kepada kawan-kawan saya di Muhammadiyah dan NU.

Bagi saya, “ngambeknya” Muhammadiyah-NU tak membuat khawatir. Ini bukan perkara serius. Saya haqqul yakin Muhammadiyah-NU jauh lebih besar ditimbang dengan pemberian 2-3 kursi menteri. Lha iya, wong sejak republik ini belum proklamasi, Muhammadiyah-NU sudah ada kok, ngemong rakyat & umat. Jadi “ngambeknya” itu pasti cuma sesaat. Saya yakin tak lama lagi juga bakal tawar.

Saya justru lebih mengkhawatirkan belakangan ini seolah-olah ada yang menginginkan Muhammadiyah-NU tak kompak dan saling nyinyir satu sama lain, bahkan bermusuhan, menyusul pengumuman kabinet baru.

Mudah-mudahan firasat saya ini keliru. Namun, agak disayangkan pula melihat masing-masing kader kedua ormas ada yang turut terpancing, kalau tak mau dibilang larut bersikap reaktif, dan mengikuti gendang dan tari yang ditabuh dan digerakkan orang lain.

Kepada kawan-kawan saya di Muhammadiyah dan NU.

Merunut sejarah kelahirannya, NU memang antitesis Muhammadiyah. Saling rundung antara kedua umat pengikutnya memang tak pernah sepi. Pada masa-masa awal sejarah, kampanye anti-TBC (Takhayul-Bid’ah-Khurafat) Muhammadiyah mendapat perlawanan keras dari kaum Nahdliyyin. Namun, itu dulu. Itu cerita lama. Jika melihat hari ini, lain cerita. Kok bisa? Ya bisa saja, setidaknya menurut amatan subjektif saya.

Jadi begini. Sependek pengetahuan saya, hanya Muhammadiyah-NU, ormas Islam yang sudah selesai dengan konsep Indonesia sebagai negara bangsa seperti sekarang. Jika NU pernah mengatakan bahwa NKRI ini Darul Islam (sudah Islami dan memenuhi tuntutan syariat), demikian pula Muhammadiyah menegaskan bahwa Indonesia adalah Dar al-Ahdi wa asy-Syahadah (Negeri tempat konsensus nasional).

Bagi keduanya, NKRI sudah dianggap pilihan terbaik (final). Prinsip Muhammadiyah-NU inilah yang membuatnya selalu kompak mengerek Islam moderat di tengah-tengah umat.
Makanya, kader-kader Muhammadiyah-NU sudah tak penasaran lagi, tidak cawe-cawe menginginkan bentuk lain negara-bangsa seperti Indonesia yang sekarang ini.

Kader NU-Muhammadiayah pun dapat langsung fokus membuat karya dan menggarap kerja, kerja, kerja keumatan dan kerakyatan. Boleh dikata, Muhammadiyah-NU berbeda dengan kebanyakan ormas Islam lain yang sampai saat ini masih disibukkan dengan persoalan ideologis, bahkan teologis, mengenai bentuk negara terbaik yang diinginkan, yang hingga hari ini belum selesai dalam diri mereka sendiri.

Kepada kawan-kawan saya di Muhammadiyah dan NU.

Rivalitas dan saling rundung antara kader Muhammadiyah-NU memang kerap terjadi, tapi bukan soal TBC lagi. Sekali lagi, itu cerita lama. Pengalaman saya di Ciputat membuktikannya. Barangkali perlu disampaikan bahwa saya kerap merasa bersyukur (beruntung) karena merasa dekat secara emosional baik dengan NU maupun Muhammadiyah.

Saya lahir di lingkungan NU yang kental. Saya lahir, tumbuh, dan dibesarkan di lingkungan kultural NU. Cirinya, ada tahlilan, maulidan, dan shalat Subuh pakai qunut. Hal-hal inilah yang tak terdapat di Muhammadiyah, yang di masa lalu (ya, masa lalu!) sebagiannya dianggap bid’ah (tuduhan yang sangat serius secara teologis).

Saat menginjak lantai kuliah, saya ingin suasana baru. Saya pun masuk IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Tentu setelah melalui Masta (Masa Taaruf Anggota) yang diadakan IMM Cabang Ciputat, Komisariat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Kalau tak salah ingat, saat itu saya terpilih sebagai Raja (peserta terbaik laki-laki) Masta di akhir masa orientasi. Sementara yang jadi Ratu adalah perempuan.

Soal nama sepertinya tak perlu disebut ya, soalnya jika keliru berisiko, kalau ingat lebih berisiko. Nah uniknya, selama menjadi keluarga IMM, saya sempat beberapa kali mengikuti tahlilan bersama teman-teman IMM Cabang Ciputat. Tahlilan bahkan diadakan di asrama sebelah Aula Fascho, gedung resmi milik IMM.

Saat itu, tak ada sama sekali soal bid’ah-membid’ahkan yang mengemuka di antara kami. Mendoa orang yang sudah meninggal, yang dikemas dengan suatu ritual seperti tahlilan, dianggap biasa saja. Setelah mengikuti Masta, saya mengikuti DAD (Darul Arqam Dasar) IMM. Juga sempat ikut-ikutan gabung JIMM.

Mengalami semua itu, saya selalu merasa bungah mengaku diri sebagai seorang MUNU (orang Muhammadiyah yang hidup dengan tradisi NU) atau NUMU (orang NU yang belajar organisasi di Muhammadiyah). Ya, saya seorang MUNU (MU didahulukan lebih karena urutan alfabetis, jangan diartikan yang lain yah).

Meskipun jujur pengakuan ini tak ditopang bukti yang sahih. Saya orang yang tak tertib administrasi. Sampai hari ini saya tak punya Kartanu jika mau mengaku orang NU. Begitu pula, saya tak punya KTA/NBM kalau ingin mengaku orang Muhammadiyah. Tapi secara emosional, sekali lagi saya merasa dekat dengan kedua ormas ini. Sebenarnya banyak juga sih yang konon beruntung seperti saya ini (Mungkin setelah ini banyak yang akan ikut menuliskannya).

Kepada kawan-kawan saya di Muhammadiyah dan NU.

Sebagai MUNU, kadang saya ikut merasakan segala kegelisahan anak NU terhadap anak Muhammadiyah, juga kegelisahan anak Muhammadiyah terhadap anak NU. Keduanya sering merasa keberatan satu sama lain. Hampir semua keberatan yang dialami anak NU dialamatkan kepada anak Muhammadiyah. Begitu pun sebaliknya. Ormas yang lain jarang yang dirasani seperti itu. Barangkali wajar karena kontestasi memang kerap terjadi antara para raksasa.

Namun, saya melihat, anak-anak Muhammadiyah-NU ini bukan hendak saling menjatuhkan satu sama lain. Keduanya hanya sedang berkompetisi secara giat, sama-sama saling mengejar ketinggalan dan berusaha menutupi kelemahan masing-masing. Dalam proses ini, saling nyinyir, rundung-merundung memang kerap terjadi, akan tetapi kemudian hanya dianggap guyon belaka.

Semua hal itu tidak dapat dilepaskan dari kebiasaan di dalam tubuh Muhammadiyah-NU yang memang beda. Kesan saya, umumnya teman Muhammadiyah lebih serius dibandingkan dengan teman NU, bahkan kelewat serius dalam menyikapi apa saja.

Sebaliknya, teman NU, meminjam bahasa anak sekarang, lebih santuy dalam segala hal. Dalam menggarap program misalnya, bagi NU, tanpa rencana lebih sering jadi jaminan bakal suksesnya program. Justru kalau program direncanakan matang-matang di NU, malah tidak jadi tuh barang.

Sementara di Muhammadiyah, kematangan rencana adalah setengah jaminan suksesnya suatu program dijalankan. Karena tradisi yang telah mengakar inilah, sekalipun selalu mendaku ormas Islam terbesar di Indonesia, sampai hari ini NU belum mampu menyodorkan data jumlah anggotanya yang valid, hal mana dengan mudah mampu disodorkan oleh Muhammadiyah.

Klaim soal jumlah itu tak perlu lah dianggap serius juga. Hal yang serius bagi saya adalah ikut merawat khittah Muhammadiyah-NU yang memang sudah jelas dan tak diragukan komitmennya bagi bangsa dan negara Indonesia.

NU selalu ingin mengajak umat dan bangsa Indonesia ke arah yang paling lurus, seperti selalu terucap dalam setiap penutup salam anak NU: “Hanya Allah yang memuluskan jalan yang paling lurus.” Begitu pun Muhammadiyah, selalu ingin mengajak umat dan bangsa Indonesia untuk “meniti jalan kebenaran seraya berlomba dalam kebaikan.” Tentu saja keduanya diucapkan dalam bahasa Arab.

Kepada kawan-kawan saya di Muhammadiyah dan NU.

Muhammadiyah-NU pada tahun-tahun belakangan ini seolah ditakdirkan nasib menjemput panggilan sejarah untuk merawat khittahnya kembali. Keduanya kini disibukkan oleh kutub ideologi dan pandangan teologis kaum islamis yang secara prinsip berseberangan amat jauh dengan mereka.

Menuding kelompok lain sebagai sesat, menyimpang, bahkan kafir, serta menggunakan instrumen kekerasan dalam berdakwah bukanlah prinsip-prinsip yang dipegang Muhammadiyah-NU. Ketika semua itu agaknya mulai merasuki medan dakwah keduanya, Muhammadiyah-NU pun kompak mengambil tindakan yang sama: menyeru umat masing-masing untuk kembali mengopeni masjid. Seruan ini telah lama disuarakan di lingkungan Nahdliyyin. Kini kerap digemakan di tengah-tengah warga Muhammadiyah.

Muhammadiyah-NU adalah tenda dan rumah besar umat Islam Indonesia. Kiranya fakta ini harus terus terawat dan jangan sampai roboh, meskipun wasilah (jalur kekuasaan) yang sebelumnya memudahkan untuk hal itu tidak lagi dalam genggaman.

Keduanya kini dapat lebih serius lagi menggarap persoalan nyata di tengah umat secara kultural, baik itu dalam menyelsaikan persoalan kemiskinan, kebodohan, literasi umat yang rendah, kesetiakawanan sosial yang makin rendah, juga membela kaum lemah (mustadhafin) yang kerap tak berdaya digilas pemegang kuasa.

Kini momentum yang tepat bagi Muhammadiyah-NU untuk meneroka itu semua. Sebab kadang saat duduk di atas kursi tingginya kekuasaan, semua hal itu kadang kabur bahkan tak terlihat.

Billahi fi sabilil haq fastabiqul khairat.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq.

Was-salamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Bekasi, 26-27 Oktober 2019

Andriansyah Syihabuddin
Andriansyah Syihabuddin
Editor di sebuah penerbit di Jakarta, CEO Islam-Detik.Com. Kajian Islam bisa di lihat di Youtube Santri Abadi https://www.youtube.com/channel/UC8mAuwvH3gu1bEU1MHLV2Mg
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.