Senin, Mei 13, 2024

HUT RI 72: Apakah Indonesia Telah Sungguh-Sungguh Merdeka?

Sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memang telah memproklamirkan diri merdeka. Tapi benarkah bangsa Indonesia telah “sungguh-sungguh” merdeka? Untuk menjawab pertanyaan itu diperlukan pengulikan lebih lanjut atas dimensi makna “kemerdekaan” alias “kebebasan”.

Secara teoritis dan praktis, ada kebebasan dari keburukan dan ada kebebasan untuk kebaikan. Di kebebasan pertama, manusia diidealkan menjadi objek kebebasan, sementara di kebebasan kedua, idealitas justru pada posisi manusia sebagai subjek kebebasan. Oleh karena itu, tak berlebihan bila kebebasan pertama disebut dengan kebebasan objektif, sedangkan kebebasan kedua ditandai sebagai kebebasan subjektif.

Kebebasan Objektif

Kebebasan objektif yang paripurna adalah kebebasan yang tak menuntut manusia untuk bertindak meraihnya. Semakin manusia pasif sebagai objek kebebasan objektif semakin sempurnalah kebebasan objektif yang dirasakan manusia itu. Dengan begitu, kebebasan objektif yang ideal berbanding lurus dengan pasivitas manusia.

Namun idealitas itu tak selalu dirasakan manusia. Terkadang manusia harus berjuang untuk meraih kebebasan objektifnya. Ketika kebebasan objektif masih harus digapai, ketika itu pula kebebasan objektif belum ideal.

Lingkungan yang masih mewajibkan manusia berjibaku merengkuh kebebasan objektif dapat diprediksikan sebagai lingkungan buruk. Sementara pasivitas manusia mengalami kebebasan objektif dapat disimpulkan menunjukkan kondisi yang baik, aktivitas manusia meraih kebebasan objektif menandai kondisi buruk.

Kebebasan Subjektif

Sebaliknya, kebebasan subjektif justru menuntut aktivitas manusia. Atribut “subjektif” dalam kebebasan tersebut tidaklah menunjuk pada personalitas individual, melainkan menandai manusia, baik satu maupun banyak, yang berposisi sebagai subjek yang beraksi menindaklanjuti kebebasannya.

Berbeda dari kebebasan objektif yang mengidealkan pasivitas manusia sebagai objek kebebasan dan hanya menuntut aktivitasnya ketika manusia itu belum bebas dari keburukan, kebebasan subjektif malah mendorong manusia untuk aktif menyalurkan kebebasannya untuk kebaikan. Kebebasan subjektif bermanifestasi secara sempurna ketika manusia benar-benar menjadi subjek yang aktif dalam mengembangkan kebebasan untuk hal-hal positif.

Namun, kebebasan subjektif tidak bisa terselengara dengan baik jika kebebasan objektif belum tergapai. Manusia tidak dapat menjalankan kebebasan untuk kebaikan dengan leluasa jika belum meraih kebebasan dari keburukan. Oleh karena itu, kebebasan objektif layak disebut sebagai syarat bagi kebebasan subjektif, sementara kebebasan subjektif adalah perkembangan lebih lanjut dari kebebasan objektif.

Yang jadi persoalan: semacam apakah kebebasan objektif dan kebebasan subjektif di Indonesia? Apakah manusia Indonesia sudah merasakan kebebasan objektif dan kebebasan subjektif secara paripurna? Jika belum, apa yang masih harus diperjuangkan? Jika sudah, apa pula yang perlu dikembangkan?

Kebebasan di Indonesia

Sekitar tiga ratusan tahun sebelum 17 Agustus 1945, manusia Indonesia belum merasakan kebebasan objektif yang ideal. Orang-orang Indonesia masa itu masih harus berjuang melawan pihak-pihak yang merendahkan martabat mereka dan merampas kekayaan mereka. Bangsa Indonesia saat itu tertuntut untuk bebas dari imperialisme/kolonialisme yang dimotori oleh kapitalisme: paham pendorong akumulasi kekayaan yang kadang mengabaikan pihak lain dan lingkungan. Apakah setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, bangsa Indonesia terbebas dari keburukan tersebut?

Orde Lama yang dipimpin oleh Soekarno telah berusaha keras mengusir penjajah dari Timur dan Barat. Tapi kolonialisme berganti baju menjadi neokolonialisme, yang tak lagi secara eksplisit mengatur ekonomi-politik Indonesia, tapi tetap mengawasi bahkan berupaya mengendalikannya secara implisit. Bara kapitalisme juga tidak dapat seratus persen dimatikan oleh bangsa Indonesia. Bahkan, bahan baku (neo)kolonialisme itu justru menyala-nyala di masa Orde Baru yang diketuai oleh Soeharto. Apakah Orde Reformasi ini berhasil menumbangkan neokolonialisme dan kapitalisme?

Sampai tulisan ini dibuat, kapitalisme masih berjaya di Indonesia, tidak hanya di sektor ekonomi dan politik, tapi juga telah merambah ke sektor agama. Biang keladi kemunculan (neo)kolonialisme itu imun dari kritikan. Kritikus kapitalisme kerap dituduh sebagai antek komunis. Padahal, untuk benar-benar bebas dari (neo)kolonialisme, bangsa Indonesia harus kritis kepada kapitalisme; kritikus kapitalisme tak melulu orang komunis; dan mengkritik kapitalisme tak berarti mengamini komunisme.

Sejauh Indonesia masih dibayang-bayangi oleh neo-kolonialisme dan berpelukan mesra dengan kapitalisme, manusia Indonesia belum menikmati kebebasan objektif yang paripurna. Sejurus dengan itu, kebebasan subjektif di Indonesia pun belum sempurna.

Bangsa Indonesia memang telah berusaha mengisi kemerdekaan dengan hal-hal positif. Setelah tak bebas mengatur diri sendiri saat masih dijajah, bangsa Indonesia setelah merdeka membentuk trias politika sendiri untuk menghadirkan kemaslahatan bagi seluruh rakyatnya.

Tapi, seiring dengan belum bebasnya bangsa Indonesia dari kapitalisme,  kebebasan subjektif bangsa Indonesia pun tak berjalan maksimal. Upaya bangsa Indonesia untuk mengisi kemerdekaan dengan positivitas terganjal oleh praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang notabene manifestasi kapitalisme yang laten di jantung Indonesia.

Sesuai paparan di atas, kesempurnaan kebebasan subjektif menghajatkan kesempurnaan kebebasaan objektif. Pengisian kemerdekaan dengan kebaikan akan lancar bila keburukan yang laten dan manifes terhapus. Selama kebebasan objektif belum teraih sempurna, kebebasan subjektif sulit untuk dijalankan dengan baik. Jika kapitalisme masih dianut secara sadar maupun tidak sadar, maka KKN masih mudah untuk merajalela, dan pengisian kemerdekaan dengan positivitas akan terhambat. Beranikah bangsa Indonesia “murtad” dari kapitalisme di era kejayaan kapitalisme ini, untuk benar-benar merdeka menikmati kebebasan objektif dan kebebasan subjektif? Pertanyaan terakhir itu tak cukup hanya dijawab dengan afirmasi, tapi perlu dicarikan solusi, supaya jawaban “ya” dapat menimpali judul tulisan ini.[]

Zainul Maarif adalah dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Jakarta, Indonesia, yang dalam tema “pos-kolonialisme” menulis buku Pos-Oksidentalisme: Identitas dan Alteritas Pos-Kolonial (2013)

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.