Kasus Bali Nine menjadi babak kelam dalam hubungan diplomatik Indonesia dan Australia. Penangkapan sembilan warga negara Australia pada tahun 2005 karena penyelundupan heroin berujung pada eksekusi mati dua anggotanya, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, pada tahun 2015. Eksekusi tersebut sempat menjadikan hubungan antara kedua negara sangat panas.
Kelompok Bali Nine ditangkap pada April 2005 di Bandara Ngurah Rai, Bali, saat mencoba menyelundupkan 8,3 kilogram heroin ke Australia. Mereka dijatuhi hukuman mati pada tahun 2006 setelah melalui proses persidangan yang kontroversial. Kelompok tersebut berpendapat bahwa mereka dipaksa menyelundupkan heroin oleh sindikat kejahatan internasional, namun argumen mereka ditolak oleh pengadilan.
Putusan untuk mengeksekusi dua anggota Bali Nine yakni Sukumaran dan Chan pada tahun 2015 telah menuai kecaman keras dari Australia. Perdana Menteri Australia saat itu, Tony Abbott, menyebut eksekusi tersebut sebagai “penghinaan terhadap keadilan” dan membatalkan kunjungannya ke Indonesia. Pemerintah Australia juga menarik duta besarnya dari Indonesia dan membekukan bantuan pembangunannya.
Hubungan kedua negara menjadi tegang dan komunikasi diplomatik terputus. Ketegangan tersebut semakin diperparah oleh perbedaan pandangan mengenai hukuman mati antar kedua negara. Dalam dialog yang dilakukan di Fakultas Ilmu Budaya pada Jumat, 5 April 2024, Todd Dias, Konjen Australia untuk wilayah Indonesia Timur mengatakan bahwa perbendangan pandangan antara Indonesia yang masih melakukan hukuman mati dengan Australia yang menghapuskan pelaksanaan hukuman tersebut telah menimbulkan perselisihan pendapat yang cukup panas.
Tidak hanya Australia saja, negara-negara lain seperti Brazil menyatakan penentangannya terhadap hukuman mati yang dilakukan oleh Indonesia. Pada bulan Januari 2015, Brazil menolak pelaksanaan hukuman mati terhadap warga negaranya, Marco Archer Cardoso Moreira, dan menarik duta besarnya dari Indonesia. Hal yang sama juga dilakukan oleh Belanda yang menarik duta besarnya dari Indonesia akibat hukuman mati yang diterima warga negaranya pada bulan yang sama.
Hal ini menunjukkan dampak besar dari pelaksanaan hukuman mati terhadap warga negara asing yang dapat mengganggu hubungan diplomatik kedua negara. Agaknya perlu dilakukan pendekatan secara diplomatik terhadap kasus-kasus seperti diatas sehingga hal yang sama tidak terulang. Namun di sisi lain Indonesia juga harus menunjukkan ketegasannya untuk melawan permasalahan narkoba dan menegakkan hukumnya tanpa intervensi dari negara lain.
Pengulangan yang terus dilakukan oleh beberapa warga negara asing asal Australia ini telah menjadi contoh dari ketidakefektifan hukuman mati ini terhadap kasus narkoba. Salah satu contohnya adalah kasus dari Todd Raymond Bradshaw yang tertangkap membawa 25,18 gram ganja pada 2023 kemarin dan juga kasus Graham Welton Jeffrey Huynh yang membawa 8,09 gram heroin dan 0,34 gram sabu pada 2021. Keduanya menjadi contoh dari ketidakefektifan hukuman yang diberikan kepada WNA dalam penanganan kasus narkoba.
Pemerintah seharusnya bekerja sama dengan negara-negara luar untuk memperketat pengawasan terhadap warga negara masing-masing sebelum melakukan pemberangkatan. Apalagi dengan tingginya angka kecanduan terhadap narkoba di Australia yang mencapai 2,8 juta pada 2020 kemarin. Hal ini dapat mencegah kasus-kasus kontroversial seperti hukuman mati ke Sukumaran dan Chan agar tidak lagi terjadi.