Sabtu, April 27, 2024

Warung Kopi, Ruang Publik Tanpa Dominasi Kelas

AhmadShobrianto
AhmadShobrianto
penyandang status mahasiswa Unesa

Budaya cangkrukan atau ngopi sering dapat kita jumpai biasanya di warung kopi. Pelakunya tentu beraneka macam latar belakangnya, seperti pejabat, mahasiswa, bocil-bocil, pengangguran hingga para gamers. Mereka meluangkan waktunya di warung kopi sekedar melepas penat terhadap aktivitas yang dijalaninya setiap hari. Apalagi kehidupan mereka berada di perkotaan yang identik dengan modernitas.

Menurut pandangan teori modernitas, dampak globalisasi ekonomi ke seluruh dunia telah menjadikan kota sebagai pusat akumulasi (Eisenring, 2010:1). Dalam proses ini, sebagian kelompok masyarakat perkotaan menjadi aktor yang lebih aktif dalam melakukan penyesuaian. Terutama terhadap gaya hidup baru yang dibawa oleh globalisasi ekonomi.

Semua yang terkait dengan tradisional tak boleh muncul di bagian geliat perkotaan. Setiap benda haruslah bermakna jual-beli di kota, untuk menghasilkan profit bagi individunya sebagai penunjang kehidupannya. Benarlah jika kaum marxis mengatakan sektor pekerjaan manusia seharusnya menjadi sarana menemukan jatidirinya, tapi justru menhilangkan manusia dari dunia kemanuasiaanya (alienasi).

Akan tetapi, pandangan ini mulai terbantahkan dengan keberadaan budaya ngopi di warung kopi. Hal tersebut memuculkan bahwa warung kopi dijadikan sebagai ruang publik baru. Maksudnya, eksistensi warung kopi sebagai tempat pelampiasan aktivitas yang membuat kehidupan manusia teralienasi terkhusus bagi warga kota. Di warung kopi tak ada sekat pemisah bagi setiap warga didalam kedudukannya yang sama maupun posisi yang setara. Jadi, Ruang publik tanpa adanya dominasi kelas terdapat di warung kopi.

Mengenai ruang publik, dicirikan dengan adanya ruang kesepahaman yang sempit, karena seiring dengan semakin kompleksnya realitas kehidupan sehari-hari manusia. Akibatnya, realitas yang sedang dihadapi saat ini cenderung lebih promblematis dan tersistematis. Ruang kesepahaman yang sempit menjadikan manusia enggan menerima begitu saja realitas di sekelilingnya.

Mereka cenderung berfikir secara kritis terhadap informasi, gagasan, wawasan yang diterimanya. Manusia mempersoalkan apa yang sedang dikonsumsinya, layanan yang diterima, serta kebijakan yang menyangkut kehidupan publik mereka.

Dapat dikatakan manusia lebih mempersoalkan semua hal yang menyangkut kehidupannya. Kondisi seperti ini mengakibatkan perlunya situasi dan kondisi untuk memperluas kembali ruang kesepahaman yang sempit tersebut. Ruang kesepahaman tersebut hanya bisa dilahirkan melalui kehadiran dan penciptaan ruang publik.

Eksistensi ruang publik merupakan wujud kebutuhan masyarakat, didalam memenuhi kepentingan-kepentingan setiap individunya. Adanya ruang publlik dimanfaatkan untuk membahas isu-isu yang terjadi di pemerintahan ataupun permasalahan publik didalam bidang-bidang tertentu seperti ekonomi, sosial-budaya, agama dan sebagainya. Dengan kata lain ruang publik dapat diartikan sebagai wadah sharing opini publik yang dapat mempengaruhi kebijakan sesuai dengan permasalahan masyarakat.

Ruang publik identik sekali dengan institusi atau lembaga yang bersifat formal, yang dapat diartikan dengan ruang-ruang yang ada batasan-batasan atau aturan yang harus dipatuhi didalamnya.

Dalam ruang-ruang yang bersifat formal, kebanyakan orang menyembunyikan citra dirinya yang sebenarnya dengan berperilaku dengan watak yang baik dan formal, bahkan ruang-ruang formal-birokratis dapat melahirkan perilaku yang korup, kebijakan yang hanya menguntukan salah satu pihak (penguasa), tendensi ujaran kebencian dan sebagainya. Hal ini berbeda sekali dengan realitas yang ada di warung kopi.

Di warung kopi, individu tak perlu menjadi sesosok citra yang baik dimata orang lain. setiap orang bebas berekspresi sesuai kehendak hatinya. Bahkan di warung kopi kata-kata bijak seringkali diucapkan seperti halnya cuk, jangkrik, gatheli, goblok koen, ndasmu, dan lain sebagainya. Jika kata-kata tersebut diucapkan ketika berada di ruang publik formal pasti akan terjadi kegaduhan, ketidaksopanan, dan bahkan kursi pun bisa melayang.

Berbicara mengenai sejarah ruang publik tidak dapat dipisahkan dari kemunculan warung-warung kopi pada era kapitalisme pada awal abad ke-13 di eropa. Warung kopi dijadikan arena diskursus bagi masyarakat yang sedang bertumbuh dari masyarakat feodal ke masyarakat borjuis. Dapat dilihat pula pada masa tersebut adanya perbedaan kelas antara kaum bangsawan dengan kaum pedagang atau rakyat kecil.

Eksistensi warung kopi dapat dikatakan pula sebagai ruang publik baru tanpa adanya perbedaan kelas sosial pada setiap individu. Entah itu dari rakyat biasa hingga pejabat tinggi, dari buruh hingga pemilik modal, semuanya dapat berbaur satu sama lain. ciri utama dari interaksi di warung kopi cenderung tidak hirakis, melupakan status sosial yang dipandang, bahkan semuanya sangat cair.

Di warung kopi tak perlu agenda setting sebagaimana yang seringkali terjadi dalam diskusi formal dan perlu difollow up sebelumnya. Pembahasannya pun tak perlu harus monoton satu tema saja. Acapkali menyinggung kehidupan sehari-hari dari cerita nostalgia hingga meramalkan masa depan kita berdua, hehe.

Semua yang dibahas tak perlu terikat oleh pembatasan-pembatasan apapun. Tanpa adanya distori dan manipulasi tersebut, memungkinkan lahirnya masyarakat komunikatif. Artinya komunikasi yang dibangun oleh masyarakat akan menciptakan ikatan yang kuat dan integrasi sosial.

Warung kopi bersifat menyatukan. Semua elemen masyarakat luntur ketika ia berada di warung kopi. Tanpa memandang status yang ia miliki, semua bercengkrama dengan suasana hangat yang menyatukan ditemani kopi sebagai media perbicangan sesama individunya.

Mengutip teori dari Jurgen Habermas yang menjelaskan konsep tentang ruang publik adalah sebagai ruang yang mandiri dan terpisah dari negara (state) atau pasar (market). Hal ini sejalan dengan konsep ruang publik tanpa adanya dominasi kelas terdapat di warung kopi.

Mengapa demikian? Warkop menjadi ruang yang paling netral. Tidak ada lagi sekat-sekat sosial yang membatasi satu sama lain. setiap orang yang berada di warkop memilliki kedudukan yang sama, derajat yang sama sebagai wong sing ngopi dan berpendapat mengenai isu yang sama mejadikannya obrolan sehari-hari. Bahwa sesungguhnya ngopi mencegah perbuatab keji dan mungkar, hehe… 

AhmadShobrianto
AhmadShobrianto
penyandang status mahasiswa Unesa
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.